Liputan6.com, Jakarta Daun-daun kopi muda itu menghitam karena sudah melalui proses penjemuran dan pengasapan. Siap diseduh dan diseruput untuk menikmati rasa khasnya. Penduduk lokal menyebutnya kopi kawo atau seduhan daun kopi.
Akan tetapi, di balik kopi kawo tersebut terselip kisah sedih petani kopi di Kabupaten Kerinci pada zaman penjajahan Belanda. Kala itu petani tidak bisa menikmati tanaman kopinya sendiri karena semua hasil panen diambil penjajah dan menjualnya ke Eropa dan negara lain.
Petani lokal tidak kehilangan akal. Daun kopi muda dan harus dipetik dan dibuang agar buah kopi cepat membulir, kuning lalu memerah untuk kemudian siap dipetik. Daun kopi muda yang terbuang itu lalu dipungut, dirajang, dijemur lalu diasap, kemudian diseduh seperti daun teh.
Advertisement
Ketika Belanda menikmati kopi Kerinci yang ditanam di ketinggian 1.000-2.000 meter di atas permukaan laut (dpl), petani lokal yang menanam, merawat, dan memetiknya hanya bisa menikmati daun muda yang awalnya terbuang sia-sia.
Menurut pemerhati lingkungan dan manajer cafe, Musnardi Munir, seperti dilansir Antara, menyeduh daun kopi muda atau kawo menjadi kebiasaan bagi petani. Petani sebelum ke ladang kopi menyeduh kawo, juga pada siang saat makan di ladang dan sore setelah dari ladang.
Baca Juga
Bahkan, saat sosialisasi kumpul-kumpul dengan tetangga dan kerabat di beranda rumah juga menyeduh kawo. Kebiasaan menyeduh daun kopi itu bertahan hingga kini.
Rasa kawo memang sangat khas, warna air seduhan cokelat, lebih pekat dari teh dan rasa kopi agak ringan dan ada rasa sepet. Umumnya petani minum seduhan air kawo murni tanpa pemanis, tetapi ada juga yang meminumnya dengan gula nira.
Petani meminumnya dari batok kelapa sebagai pengganti gelas. Wadah penyimpan air seduhan berupa bambu dengan penutup dari kumparan dedaunan.
Tradisi minum air kawo tak hanya di Kerinci, tetapi juga di daerah kopi di Sumatera Barat, juga di Kota Bumi, Lampung dan daerah lain. Mereka menyebutnya Kawa. Ada yang mengaitkannya dengan qahwa (kopi) dalam bahasa Arab.
Di Payakumbuh, Sumatera Barat, air kawa (kawo) sudah menjadi ladang bisnis tersendiri. Pengusaha kafe dan restoran berinovasi meramunya dengan campuran lain, seperti kayu manis, susu, lemon, jeruk dan lainnya juga telur seperti halnya teh telur atau teh talua yang populer di resto atau rumah makan Minang.
Generasi muda juga sudah menyukai hidangan minuman ini sehingga menjadi sumber pendapatan baru bagi para pebisnis kuliner. Kafe dan resto yang menawarkan air daun kawa pun menjamur, bahkan pada festival budaya Minang baru-baru ini di jakarta.
Berbeda di Sungai Penuh, minum air kawo belum menjamur dan belum dijadikan peluang bisnis. Masih sangat sedikit kafe atau kedai kopi yang menyajikan kawo.
Salah satu yang memberanikan diri adalah Blue Korintji Coffee Cafe. Mereka tidak menyajikan kawo sebagai menu komersial, tetapi sebagai minuman cuma-cuma untuk menemani sajian utama, yakni beragam minuman kopi dan jus lainnya.
Mengapa tidak dikomersialkan seperti di Payakumbuh? Tidak ada jawaban yang pasti, tapi pengelola menghormati minuman yang muncul karena pahitnya jadi anak jajahan itu sehingga selalu menyediakan daun kawo jika ada pelanggan yang ingin menikmatinya.
Emas Hitam di Sumatera
Belanda masuk ke Kerinci sekitar 1901 dengan tujuan mengejar emas. Sumatera memang dikenal juga sebagai Pulau Emas atau Suwarnadwipa.
Ternyata tidak hanya emas kuning, Belanda juga mengejar emas hitam atau yang dikenal dengan rempah-rempah, termasuk teh dan kopi. Kopi Kerinci merupakan salah satu yang terbaik karena didukung oleh tanah yang subur di daerah vulkanik dan kontur tanah pegunungan di Kerinci dan jajaran Bukit Barisan.
Kopi robusta dan arabica tumbuh baik di daerah ini, yakni di ketinggian 1.000-1.500 meter dpl dan di ketinggian 1500-2000 dpl. Ada perbedaan yang mencolok antara robusta dan arabica. Bagi penikmat kopi akan terasa perbedaan nyata ketika keduanya disesap di pangkal geraham di waktu yang berbeda. Tentu saja setelah dinetralkan dengan air putih.
Pertama, seruput air kopi robusta lalu taruh di pangkal geraham sejenak, lalu telan. Kemudian, minum air putih, sebelum ditelan kumur-kumur untuk membersihkan sisa robusta di rongga. Kemudian seruput air kopi arabica dan kembali taruh di pangkal geraham. Akan terasa perbedaan jelas antara robusta dan arabica. Yang terakhir akan terasa lebih asam, manis dan rasa pahit yang lebih ringan.
Budi daya kopi di Kerinci sudah dilakukan jauh sebelum Belanda datang ke dataran tinggi Sumatera itu. Hal itu terungkap dalam naskah tertua atau Naskah Kuno Tanjung Tanah yang dikeluarkan Kerajaan Melayu pada abad ke-14 yang ditemukan di Mendapo Seleman, sekitar 15 kilometer dari Sungai Penuh, Kerinci.
Dalam naskah itu disebutkan bahwa Kerinci sudah menjadi pusat pertanian dan perkebunan karena kesuburan tanahnya. Komoditas yang menjadi andalan adalah teh, sayur mayur, kayu manis dan kopi.
Masuknya Belanda ditentang oleh penduduk setempat yang dipimpin oleh Depati Parbo. Pada 1904, Kerinci takluk dan Depati Parbo dibuang ke Ternate. Kepahlawanannya diabadikan dalam bentuk jalan dan bandar udara di Sungai Penuh.
Meski hanya dijajah sekitar 40 tahun, tetapi dampaknya sangat besar bagi petani. Belanda mengambil semua hasil panen kopi, hanya tersisa daun-daun kopi.
Advertisement