Nenek 75 Tahun Hidup dengan Sampah-Sampah dari Laut

Nenek ini tinggal di gubuk di pesisir pantai dan mencoba bertahan hidup tanpa meminta-minta atau menjadi pengemis.

oleh Fauzan diperbarui 15 Mar 2017, 07:00 WIB
Diterbitkan 15 Mar 2017, 07:00 WIB
Kisah Inspiratif Nenek 75 Tahun di Sulsel
Nenek ini tinggal di gubuk di pesisir pantai dan mencoba bertahan hidup tanpa meminta-minta atau menjadi pengemis. (Liputan6.com/Fauzan).

Liputan6.com, Pinrang - I Mari nama nenek itu. Hidupnya sebatang kara, tapi tidak berputus asa. Dia menolak berpangku tangan. Di usianya yang tak muda lagi, justru dia menunjukkan semangat hidup yang luar biasa.

Tinggal di gubuk di pesisir pantai Desa Waetuwo, Kecamatan Lanrisang, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, nenek 75 tahun itu mencoba bertahan hidup. Di sana I Mari menjalani kesehariannya yang seorang diri, tanpa harus menjadi pengemis.

Telah berpuluh tahun I Mari tinggal di gubuknya itu, mungkin lebih dari setengah usianya saat ini. Gubuk tempat tinggalnya ia buat sendiri. Ukurannya tak besar, hanya sekitar 2x4 meter. Tapi setidaknya gubuk itu cukup untuk dirinya merebahkan badan dan beristirahat dari aktivitasnya sehari-hari.

"Malu kalau harus tinggal dan menumpang di rumah orang," kata I Mari beberapa waktu lalu ketika ditanya tinggal di gubuk itu.

Dinding gubuk itu terbuat dari bilah-bilah bambu kering. Sementara atapnya terbuat dari anyaman daun kelapa yang sudah mengering karena panas matahari. "Yang penting bisa menghalangi dari panas matahari dan hujan," imbuhnya.

Namun, kadang nenek itu tak jarang dibuat khawatir oleh cuaca ekstrim yang tidak tahu kapan akan datang. Ketika badai laut menerjang pesisir pantai, sudah pasti gubuk kecilnya itu akan terbang terbawa angin.

"Kalau terjadi saya cuma bisa pasrah, mau diapa lagi. Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Keluarga maupun kerabat," ucapnya sedih.

Gubuk Tempat Tinggal Nenek I Mari di Pinggir Pantai

Selama ini ia hidup di gubuk tanpa fasilitas layaknya sebuah rumah pada umumnya. Tak ada kompor, tak ada pula peralatan elektronik karena tak ada aliran listrik.

"Makan saja susah, apa lagi mau bayar listrik segala," tambahnya.

Hidupnya dikeliling gelap saat malam hari tiba. Hanya api kecil dari pelita yang menerangi kesendirian nenek I Mari. Tapi bukan berarti dia menyerah pada keadaan.

Lalu bagaimana dia menghidupi dirinya sendiri yang sebatang kara? Jawabnya ada pada sampah-sampah plastik di laut. Sampah plastik yang terbawa arus lautlah yang jadi sumber penghidupan sekaligus penghasilannya selama ini.

Setiap hari ia memunguti sampah-sampah plastik sepanjang pesisir pantai Desa Waetuwo. Ia lalu menjualnya dengan harga kisaran Rp 4 ribu hingga Rp 7 ribu setiap kilogramnya. Kegiatan itu juga sekaligus untuk membersihkan pantai dari sampah yang berserakan.

"Sehari-hari cuma pungut sampah plastik lalu dijual. Yah sekalian membersihkan (pesisir) pantai," ucap I Mari.

Tak cuma sampah yang jadi berkah penghidupannya, tetapi masih ada juga beras miskin atau raskin. Namanya masih terdaftar sebagai penerima bantuan raskin. Di samping itu, sejumlah tetangganya juga masih ada yang membuka hati dan mengulurkan tangan untuk membantu nenek itu sehari-hari.

"Saya tiap bulan dapat raskin, sesekali juga di bantu sama tetangga sekitar sini," kata I Mari, si nenek hebat ini.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya