Muniyati dan Anak-Anak Autis yang Cakap Menenun Songket

Sulitnya mendapatkan pendidikan bagi anaknya yang mengalami autis, Muniyati akhirnya mendirikan SD-LB inklusi terbalik

oleh Nefri Inge diperbarui 27 Mar 2017, 07:01 WIB
Diterbitkan 27 Mar 2017, 07:01 WIB
Kelas Inklusi SD-LB Harapan Mandiri dibimbing oleh beberapa orang guru (Liputan6.com/Nefri Inge)
Kelas Inklusi SD-LB Harapan Mandiri dibimbing oleh beberapa orang guru (Liputan6.com/Nefri Inge)

Liputan6.com, Palembang - Sekilas seperti kelas-kelas di sekolah pada umumnya. Namun sejatinya itu kelas luar biasa. Seperti terlihat pada Kamis pagi 23 Maret 2017 lalu, aktivitas di dalam kelas di lantai dua di salah satu Sekolah Dasar (SD) swasta tampak riuh.

Sekitar pukul 10.30 WIB adalah jam istirahat para siswa. Karena sedang ada kegiatan bermusik di lantai dasar, para siswa hanya boleh menikmati jam istirahat di dalam kelas. Sebagian tampak asyik bermain dengan teman-temannya, ada juga yang hanya duduk termangu di kursi.

Kelas tersebut berisi campuran anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) dan anak reguler. Mereka bergabung dalam kelas inklusi terbalik di SD-LB Harapan Mandiri, di Jalan Angkatan 45 Palembang.

Jika pada umumnya kelas inklusi diisi oleh ABK dalam jumlah minoritas, lain lagi dengan kelas inklusi SD-LB ini. Justru anak berkebutuhan khusus yang mendominasi kelas ini.

Adalah Muniyati Ismail (54) yang menjadi pencetus ide pembukaan kelas inklusi terbalik bagi ABK. Ibu tiga anak di Palembang ini pertama kali membentuk Yayasan Bina Autis Mandiri karena berdasarkan pengalaman pribadinya. 

Pada 1998, anak bungsunya Muhammad Attar An Nurilla (20) terdeteksi autis. Saat itu mereka tinggal di pelosok kota Lhokseumawe, Banda Aceh di mana fasilitas terapi bagi anak autis masih sangat langka.

“Dulu semua serba terbatas, terapi autis juga hanya ada di Jakarta pada tahun 1999. Kondisi di Aceh waktu itu tidak kondusif, sering kontak senjata. Sulit meninggalkan suami dan kedua anak saya dalam kondisi itu,” ujarnya kepada Liputan6.com di gedung SDLB Harapan Mandiri Palembang.

Suatu sat ada rekannya yang menggeluti bidang terapis sedang melakukan perjalanan dinas ke Aceh. Dari teman itu Muniyati belajar tentang seluk beluk karakter ABK, psikologi, dan penanganan lebih lanjut. Dengan ilmu medis yang sudah ia dalami sebelumnya, pengetahuan tambahan ini membuat Muniyati bertekad untuk mengasah kemampuan anaknya dan para ABK lainnya di Aceh.

Akhirnya pada 2000 Muniyati membuka kelas terapi autis di Lhokseumawe. Dari sinilah ia mengetahui bahwa bukan hanya dirinya yang mendapat titipan anak autis oleh Tuhan, tapi banyak warga Aceh lainnya. Satu persatu warga Aceh membawa anaknya ke terapi ini.

Di tahun 2002, ia sekeluarga harus pindah dinas ke Palembang. Dia pun kembali membuka Terapi Autis bagi ABK di Palembang. Dua metode terapi yang digunakan yaitu Terapi Applied Behavior Analysis (ABA) dan Floor Time digabung untuk mendeteksi tingkat autis anak.

Seiring berjalannya waktu, Muniyati kembali terbentur masalah pendidikan anaknya. Karena di Palembang, masih sedikit sekolah reguler yang mau menerima anak autis, terlebih anaknya yang mengalami autis parah.

“Tahun 2004 saya ingin daftarkan Attar ke sekolah, tapi banyak yang menolak. Akhirnya saya buka sendiri SD di tahun itu. Attar-lah yang menginspirasi saya membuat kelas inklusi ini” aku Muniyati.

“Saya ingin sistemnya dibalik, jadi yang dominan itu ABK dan ini yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan anak autis,” ujarnya.

Alasan lainnya, karena dirinya ingin anak autis merasa sejajar dengan anak reguler pada umumnya dan tidak ada diskriminasi dirasakan anak autis.

Gayung pun bersambut. Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Palembang mengizinkan program ini. SD-LB Harapan Mandiri mendapatkan dua izin sekolah, yaitu sekolah regular dan Sekolah Luar Biasa (SLB).

Perjuangan Cari Murid dan Guru

Untuk menjalankan kelas inklusi terbalik ini, Muniyati bersama para karyawannya harus berjuang keras. Sebab sangat sulit untuk meyakinkan para orang tua agar anaknya mau bergabung dalam kelasnya.

Bahkan, secara door to door Muniyati membujuk orang tua dari anak-anak regular untuk bisa mengenyam pendidikan disekolahnya secara gratis. Baru empat bulan berjalan, 6 dari 10 orang siswa regulernya memilih mengundurkan diri. Anak-anak tersebut merasa aneh dengan perilaku anak autis di dalam kelas inklusi.

Namun Muniyati tidak patah semangat. Dia bahkan mendatangi kepala Rukun Tetangga (RT) di dekat sekolahnya, agar membantu mengajak para orang tua untuk menyekolahkan anaknya di SD-LB.

Tidak hanya siswa, mereka pun kesulitan mencari tenaga pengajar yang mau berbagi ilmu dan kesabaran kepada para anak autis.

“Rekrut guru juga susah. Yang masuk 10 orang, tinggal bersisa 3 orang. Awalnya sangat sulit meyakinkan masyarakat,” ujarnya.

Namun, perjuangan berbuah manis. Kini, banyak para orang tua yang berebut untuk memasukkan anaknya ke SD-LB Harapan Mandiri. Lulusan anak reguler di sekolah ini tak jarang mendapatkan prestasi yang membanggakan setelah melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Bahkan para siswanya juga lebih memahami arti perbedaan, lebih santun, disiplin dan mempunyai rasa empati yang tinggi. Dari sikap juga lebih dewasa dan tingginya rasa saling menghargai antar sesama.

“Ada lulusan dari sini yang juara sains, padahal dia harus bersaing dengan SD reguler unggulan di Palembang,” katanya.

Banyak juga alumni siswa regularnya yang masuk di SMP Negeri unggulan di Palembang, seperti di SMP Negeri 1 Palembang, SMP Negeri 3 Palembang, dan SMP Negeri 18 Palembang. Bahkan, ada beberapa alumni siswa autisnya yang sudah masuk SMP reguler dan bisa berbaur dengan anak reguler pada umumnya.

Prestasi Keren Siswa

Di setiap kelas inklusi, para siswa akan dibimbing oleh tiga orang guru. Satu orang guru utama akan mengajar didepan, sedangkan dua guru lainnya akan mengajar secara face to face kepada murid autis.

“Dua orang guru secara bergantian mendekati murid autis dan menjelaskan pelajaran tersebut dengan sabar dan berulang,” ucapnya.

Kini, Yayasan Bina Autis Mandiri sudah mengembangkan fasilitas pendidikannya. Mulai dari Terapi Autis, SD-LB, SMP-LB, SMA-LB dan Kelas Karya bagi lulusan SMA-LB. Kelas Karya diperuntukkan bagi lulusan SMA-LB yang masih ingin mengikuti aktivitas didalam sekolah.

Karena kelas inklusi hanya diperuntukkan di tingkat Sekolah Dasar (SD), para siswa SMP-LB dan SMA-LB yang terdeteksi autis diajarkan berbagai kegiatan motorik. Sedikitnya 60 persen aktivitas siswa SLB diisi dengan materi keterampilan, baik seni maupun kerajinan. Sedangkan 40 persen diisi dengan pelajaran akademik.

Bukan jadi pemandangan aneh jika siswa autis di sekolah ini lihai menenun kain songket, merajut kain jumputan bahkan memainkan alat musik dengan nada yang teratur dan indah.

Hasil kerajinan tangan para siswanya pun tak kalah dengan para pengrajin kain di Sumatera Selatan (Sumsel). Mereka sering mengikuti pameran kerajinan dan hasil karya siswanya juga banyak diminati para pembeli.

Beberapa hasil kerajinan yang sudah dipamerkan seperti kerajinan kain songket, kain jumputan, kain blongsongan, kain batik, keranjang mainan dan lainnya.

Bahkan Attar, anak bungsunya yang masuk Kelas Karya, sangat antusias merajut kain jumputan yang akan diproduksinya.

“Anak saya itu autis berat, tapi prinsip saya bagaimana merubah dia jadi lebih baik. Dia sudah mandiri, bisa makan dan tidur sendiri. Saya memperlakukannya sama dengan anak saya lainnya,” ujar Muniyati.

Saat ditanya tentang tanggungan pembiayaan anak reguler di kelas inklusi SD-LB yang tidak dipungut biaya, Muniyati pun menjawab dengan santai. Sejak dulu dia memang bertekad untuk membuat keberadaan sekolahnya mendatangkan manfaat bagi lingkungan sekitarnya.

Bahkan, banyak beasiswa yang diberikan kepada para siswa autisnya yang berasal dari kalangan keluarga menengah kebawah. Salah satunya anak tukang becak yang sudah mengikuti terapi autis dan SD-LB secara gratis.

“Saya hanya mencari ridha Allah SWT saja,” ujar Muniyati. 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya