Ada Lafaz Allah di Langit Saat Penjemputan Mbah Fanani

Butuh waktu tujuh bulan untuk membujuk Mbah Fanani meninggalkan pertapaan di Dieng, Wonosobo, Jateng.

oleh Panji Prayitno diperbarui 21 Apr 2017, 07:01 WIB
Diterbitkan 21 Apr 2017, 07:01 WIB
Mbah Fanani
Meski tubuhnya hanya bisa meringkuk sambil berbaring, Mbah Fanani tetap didatangi banyak orang. Namun, tak semua bisa menemuinya. (Liputan6.com/Panji Prayitno)

Liputan6.com, Indramayu - Proses penjemputan Mbah Fanani, lelaki asal Cirebon, Jawa Barat, yang sudah 20 tahun bertapa di Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah, ternyata membutuhkan waktu hingga tujuh bulan lamanya.

Toha, anak dari Abah Rojib sahabat dekat Mbah Fanani, mendapat mandat dari sang ayah untuk menjemput Mbah Fanani. Syekh Fanani atau akrab disapa Mbah Fanani sendiri menyampaikan keinginannya untuk pindah dari Dieng ke Indramayu, Jawa Barat, kepada Abah Rojab melalui pembicaraan yang dilakukan keduanya.

Namun, Toha merasa bingung dan tak serta-merta menjalankan tugas yang diberikan Syekh Rojab atau akrab disapa Abah Rojab itu. Kebingungan Toha menjemput Mbah Fanani karena dirasa tak sanggup.

Kebingungan Toha membuat dia memutuskan berkeliling untuk mencari petunjuk kepada kiai dan wali yang ada di Jawa Tengah. Hingga empat bulan sebelum menjemput, Toha bertemu Mbah Fanani. Hanya saja, penjemputan urung terlaksana karena dia merasa masih tidak mampu.

"Padahal saat itu Mbah Fanani sudah memberi isyarat untuk segera membawanya pergi dari Dieng ke Indramayu," ucap dia, Selasa, 19 April 2017.

Perasaan Toha pun semakin bingung, hingga akhirnya dia mendapat undangan khusus dari Mbah Fanani. Saat dia bersama rekannya datang ke Dieng dalam kondisi hujan deras bahkan sempat banjir dari Dieng hingga Parikesit.

"Saking sibuk dan bingungnya, saya lupa tanggal dan harinya kapan waktu diundang khusus sama beliau," Toha menambahkan.

Lafaz Allah di Langit

Mbah Fanani
Meski tubuhnya hanya bisa meringkuk sambil berbaring, Mbah Fanani tetap didatangi banyak orang. Namun, tak semua bisa menemuinya. (Liputan6.com/Panji Prayitno)

Setelah bertemu, Mbah Fanani pun memberi isyarat kepada Toha untuk menjemput. Ia pun menyanggupinya dan meminta waktu untuk menyusun rencana penjemputan.

"Mbah Fanani bilang ke saya, 'Heh, aku lho disuruh ke sana (Indramayu) sama Abah (Rojab) yang sudah kurang lebih tujuh bulan ada di sana. Saya jawab, 'Iya Mbah, nanti saya susun semuanya dulu dan mohon doa restu'. Mbah Fanani cuma bilang, 'Iya tak tunggu'," sebut Toha.

Setelah bertemu khusus, Toha pun mengaku masih merasa kebingungan, sehingga dia menghubungi tokoh ulama setempat kemudian diajak naik kembali ke atas Telaga Warna, Dieng, Wonosobo. Di Telaga Warna, lanjut dia, Toha pun bermunajat di suatu tempat yang dinamakan Ratapan Angin.

Dalam munajatnya, Toha pun melihat fenomena-fenomena menakjubkan di atas awan tempat dia bermunajat. Toha mengaku melihat lafaz Allah di atas awan secara jelas.

"Itu setelah hujan reda dan banjir surut malam harinya. Kalau tanggalan Jawa sekitar 14 Jawa bulan purnama. Setelah bermunajat paginya saya turun bersama Haji Zaenam tapi masih bingung apakah harus dijemput sekarang atau kapan. Akhirnya saya telepon ponakan Mbah Fanani dan berkata seraya mengizinkan sehingga membuat saya tenang," ujar dia.

Proses penjemputan Mbah Fanani, lanjut Toha, juga diperkuat dengan pengalamannya melalui mimpi didatangi sosok aulia yang kenal dekat dengan Mbah Fanani.

"Saya merasa yakin untuk menjemput Mbah Fanani setelah didatangi juga lewat mimpi. Saat itu juga saya mempersiapkan rencana penjemputan," sambung Toha.

Tangisan Gunung Prau

Mbah Fanani pun sempat membuat Toha terkejut ketika melihat kondisi Dieng. Ketika itu, kata dia, tebing Gunung Prau mengalami longsor.

"Saya sempat teringat perkataan Mbah Fanani, katanya akan pulang naik perahu. Ternyata, ya kejadian longsor dan banjir itu," tutur Toha.

Melihat kondisi Dieng yang terkena banjir dan longsor, Toha pun mengaku teringat dengan tangisan Abah Rojib dan Mbah Fanani. Kala itu, kata dia, ada satu momen di mana sejumlah warga bersama pejabat dan mantan Bupati Wonosobo membuka lebar kesempatan untuk melihat matahari terbit dari atas Gunung Prau.

Sejak saat itulah, banyak wisatawan khususnya pelajar dan mahasiswa beramai-ramai mendaki Gunung Prau hanya untuk menikmati fenomena matahari terbit. Namun, isak tangis Abah Rojib dan Mbah Fanani melihat kondisi Gunung Prau sudah tercemar.

"Wisatawan mahasiswa dan pelajar yang menginap di atas Gunung Prau pakai tenda dan di atas Gunung Prau banyak ditemukan juga alat kontrasepsi," kata dia.

Menurut Toha, Mbah Fanani dan Abah Rojab menangis karena Gunung Prau sudah dicemari perbuatan negatif. "Kata beliau ini peringatan untuk masyarakat Dieng. Tangisan beliau berdua tidak ada yang tahu."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya