Tim Film Dokumenter Banda Luruskan soal Suku Asli

Tim film dokumenter Banda, the Dark Forgotten Trail menanggapi adanya penolakan terhadap film dokumenter tersebut.

oleh Harun Mahbub diperbarui 01 Agu 2017, 22:18 WIB
Diterbitkan 01 Agu 2017, 22:18 WIB
Banda, the Dark Forgotten Trail
Tim Film Banda, the Dark Forgotten Trail, menggelar pertemuan dengan sejumlah perwakilan warga Banda di Jakarta. (Foto: Istimewa/Tim Film)

Liputan6.com, Jakarta - Tim Film Banda, the Dark Forgotten Trail , menanggapi adanya penolakan terhadap film dokumenter arahan sutradara Jay Subyakto tersebut. Tim mengetahui penolakan tersebut dari media mengenai demonstrasi sekelompok orang di Ambon, Maluku, yang menemui DPRD setempat untuk tidak menayangkan film Banda, The Dark Forgotten Trail.

"Hal tersebut terjadi terkait kutipan di sebuah media online yang sempat menyebutkan bahwa suku asli Banda musnah karena genosida yang dilakukan oleh JP Coen pada 1621," ujar Tim Film Banda, the Dark Forgotten Trail dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Selasa (1/8/2017).

Menurut tim film, unjuk rasa tersebut yang kemudian diterima DPRD menyuarakan untuk menunda pemutaran film Banda, the Dark Forgotten Trail. Alasannya, film dokumenter tersebut membuat kesalahan sejarah dan telah menimbulkan keresahan yang akan bisa memicu perkelahian masyarakat.

"Terkait dengan hal tersebut, kami dari tim film Banda, the Dark Forgotten Trail menegaskan bahwa sejak awal dan disebutkan dalam narasi di film, kami tidak pernah memberikan pernyataan bahwa suku Banda asli punah dari muka bumi," tutur tim film.

Tim film menjelaskan, penulis dan tim sejak awal mengetahui dan mengakui eksistensi kelompok masyarakat Banda Eli dan Elat sebagai kelompok masyarakat Banda yang bermigrasi ketika terjadi kolonialisasi di Banda baik sebelum tahun 1621 maupun sesudah tahun tersebut.

"Penulis dan tim bahkan melakukan penelusuran sampai ke Kampung Bandan (Jakarta Utara) dengan kesadaran masih adanya orang asli Banda serta merujuk karya tulis Timo Kaartinen Song of Travel, Stories of Place yang secara spesifik meneliti masyarakat Banda Eli dan Elat," tim film menambahkan.

Tim film memaparkan, fokus film adalah bukan mencari orang asli, melainkan membicarakan apa yang tidak tersampaikan dalam sejarah mengenai Kepulauan Banda sebagai salah satu pusat atau episentrum pencarian rempah dan pala sebagai yang mula-mula endemik di sana.

"Sehingga, fragmen sejarah 1621 yang digarisbawahi adalah bagian pembantaian massal/genosida pertama. Dalam film sendiri dijelaskan bahwa ada dua kelompok masyarakat di Banda, yakni masyarakat sebelum 1621 dan setelah 1621," ujar tim film Banda, the Dark Forgotten Trail.

Saksikan video menarik di bawah ini:

Komentar Sejarawan

Film Banda
Sumber: Instagram/ @lalatimothy

Tim film pun mengutip Usman Thalib selaku sejarawan yang juga narasumber dalam film Banda, the Dark Forgotten Trail, telah menonton filmnya. "Setelah menonton, sebagai pakar sejarah, saya harus mengatakan tidak ada kesalahan sedikitpun terkait dengan sejarah Banda sejak era sebelum kolonialisme sampai dengan saat ini. Sungguh sangat aneh, belum menonton filmnya, tapi sudah menyatakan ada kesalahan sejarah," kata Usman, dikutip tim film.

"Sebagai sejarawan yang berasal dari Banda Neira, saya tahu betul watak dan karakter masyarakat Banda Neira. Mereka bukan tipe masyarakat yang suka berkelahi," Usman menambahkan.

Ia menjelaskan pula, "Film itu sesungguhnya media yang paling efektif bukan saja dalam rangka membangun karakter dan nasionalisme anak-anak di negeri ini, tetapi juga sarana promosi yang paling efektif dalam membangun dunia pariwisata di provinsi Maluku."

"Ancaman boikot terhadap film Banda The Dark Forgotten Trail sama halnya dengan ancaman terhadap pembangunan karakter dan nasionalisme anak bangsa di daerah ini. Demikian pula menjadi ancaman terhadap pembangunan kepariwisataan di Maluku," ucap Usman.

Tim film melanjutkan, klarifikasi untuk meluruskan kesalahpahaman ini juga telah disampaikan melalui media sosial. Termasuk pada acara Rappler Talk, 20 Juli 2017, di mana pada kesempatan yang sama tersebut, sudah bertemu dan berdiskusi dengan perwakilan warga Banda yang ada di Jakarta.

"Dan permasalahan sudah dianggap selesai dan diterima dengan baik. (Salah satu) media (online) juga telah merevisi kesalahan kutip yang mereka lakukan," kata tim film.

Tim film juga sangat menyayangkan bahwa hal ini semua terjadi, sementara mereka yang kontra terhadap film ini justru belum menonton filmnya.

"Kami mengajak semua pihak untuk berkepala dingin dan menonton filmnya dulu yang akan beredar di bioskop pada 3 Agustus 2017 ini. Kami sangat terbuka jika memang akan mendiskusikan lebih lanjut setelah berbagai pihak yang keberatan menonton filmnya," tim film memungkasi.

Sebelumnya, keluarga besar Wandan Banda Eli-Elat dan anak cucu Mboyratan menolak pemutaran film dokumenter Banda, the Dark Forgotten Trail arahan sutradara Jay Subyakto. Film itu dinilai dapat menciptakan instabilitas di Maluku.

"Kami juga mengutuk keras pernyataan yang mengatakan kalau orang asli Banda telah habis dibantai dan punah dalam perang genosida tahun 1621," kata Ketua Dewan Pengurus Ikatan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Wandan, Kamaludin Rery di Ambon, Senin, 31 Juli 2017, dilansir Antara.

Pernyataan Kamaludin disampaikan saat menggelar demonstrasi bersama puluhan warga Banda Eli-Elat di halaman Gedung DPRD Maluku. Para pendemo akhirnya diterima Ketua Komisi A DPRD Maluku, Melkias Frans dan anggota Herman Hattu, serta Raad Rumfor dan Ridwan Elys.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya