Mengapa Panjat Pinang Menjadi Puncak Kemeriahan HUT RI?

Si miskin akan kesurupan melihat hadiah. Efek kesurupan inilah yang akan menjadi tontonan dan diharapkan bisa menghibur.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 19 Agu 2017, 21:00 WIB
Diterbitkan 19 Agu 2017, 21:00 WIB
HUT RI ke 72- Panjat Pinang Kolosal
Ekspresi warga mengikuti panjat pinang Kolosal dalam rangka merayakan HUT ke 72 RI di Pantai Karnaval Ancol, Jakarta, Kamis (17/8). Sebanyak 172 batang pohon pinang disediakan untuk warga dengan berbagai macam hadiah menarik. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Semarang Panjat pinang ternyata sudah eksis sejak zaman Belanda. Fakta-fakta di Museum Tropen, Belanda, menunjukkan bahwa pada tahun 1917 hingga 1930-an banyak foto tentang permainan ini.

Awalnya, permainan panjat pinang untuk memperebutkan benda-benda yang bergantung di atasnya seperti pakaian dan barang mewah lain. Warga Bumiputera atau pribumi saling berebut. Namun dalam proses perebutan itu banyak yang jatuh karena tiang yang harus dipanjat dibuat licin.

Pameran kemiskinan ini sedemikian menghibur elite Belanda, sehingga dimodifikasi oleh industri televisi kita. Budayawan Prie GS dalam bukunya Hidup Bukan Hanya Urusan Perut menyebutkan bahwa kemiskinan ternyata juga sesuatu yang menghibur.

Kalau tidak percaya tontonlah televisi di hari-hari ini. Ada jenis acara yang hobinya mencari orang miskin, untuk tiba-tiba memberinya duit, tak tanggung-tanggung: puluhan juta rupiah

Duit yang butuh dikumpulkan selama bertahun-tahun bahkan oleh pekerja menengah paling keras sekali pun ini, bisa diperoleh dalam sekejap oleh orang yang dilabeli sebagai miskin itu. Kita tentu gembira, melihat bahwa ketika pemberantasan terhadap kemiskinan masih terus digalakkan. Ada acara televisi yang langsung ikut menjadi relawannya. Relawan ini tak butuh imbalan banyak, kecuali satu: ingin kita sama-sama menonton, betapa gugupnya si miskin itu saat menerima setumpuk duit yang datang secara tiba-tiba dan harus dihabiskan secara tiba-tiba pula.

Suasana lomba panjat pinang Kolosal dalam rangka merayakan HUT ke 72 RI di Pantai Karnaval Ancol, Jakarta, Kamis (17/8). Sebanyak 172 batang pohon pinang disediakan untuk warga dengan berbagai macam hadiah menarik. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

"Maka kita akan segera melihat potret kemiskinan yang gaduh. Seseorang yang kemudian akan membeli apa saja, barang-barang yang selama ini cuma berkelebat di televisi, barang yang tak pernah mereka bayangkan akan mereka miliki, dan barang yang boleh jadi kegunaannya tak mereka mengerti," tulis Prie GS.

Orang miskin itu akan membeli apa saja dibutuhkan ataupun tidak. Mengapa? Karena duit ini harus dibelanjakan, dan belanja ini dibatasi jam pula. Pendek kata, mereka tidak sedang bebelanja, melainkan tengah kesurupan. Dan efek kesurupan inilah yang akan menjadi tontonan dan diharapkan bisa menghibur. Penonton TV akan tertawa-tawa melihat si miskin kalap.

Pun demikian dengan panjat pinang. Warga pribumi yang kalap akan bertindak di luar akal. Mereka rela saling injak, saling sikut, agar bisa memenangkan hadiah yang digantung. Perilaku itu oleh kaum elite seperti orang Eropa dianggap sangat menghibur karena hadiah itu sebenarnya sangat remeh.

Budayawan Djawahir Muhammad melihat bahwa panjat pinang sudah bergeser maknanya. Dari awalnya sebagai hiburan kaum elite Belanda, kini didefinisikan ulang oleh kaum pribumi dengan semangat bergotong-royong.

Salah satu peserta panjat pinang menahan beban rekannya saat mengikuti lomba di kawasan Jalan Jaksa, Jakarta, Kamis (17/8). Lomba diadakan untuk memeriahkan HUT RI ke-72. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

"Ketika bergotong-royong saling membantu, ternyata hadiah bisa dibagi. Itu yang kemudian ditangkap dan dijiwai para kaum pribumi," kata Djawahir, Jumat (18/8/2017).

Kemampuan bangsa Indonesia memodifikasi sesuatu tak bisa diragukan. Akan halnya bahwa panjat pinang selalu menjadi momentum puncak kemeriahan perayaan kemerdekaan, menurut Djawahir Muhammad disebabkan karena perasaan senasib saja. Deraan kemiskinan dan ketidakmampuan melawan ketidakadilan, terakumulasi dan terkekspresikan melalui panjat pinang.

"D isana ada gotong royong, ada yang memaki, ada yang memuji, semua larut dalam kegembiraan. Itulah etalase egalitarian yang sebenarnya," kata Djawahir.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya