Liputan6.com, Jakarta Setiap orang tanpa pandang bulu, entah itu uskup, imam, suster, bruder atau awam punya peran menjadi agen kabar baik.
"Ancaman hoaks menjadi urusan semua orang dan tak lagi menjadi urusan negara Asia saja, melainkan juga Amerika Latin, Afrika dan tempat-tempat lain. Jangan takut menjadi agen kabar baik,"ujar Sekretaris Eksekutif Komisi Komunikasi Sosial Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) RD Kamilus Pantus dalam Forum Dialog dan Literasi Media di Lembang, Bandung, Sabtu (14/10).
Mengutip pesan Paus Fransiskus dalam pesannya di Hari Komunikasi Sedunia ke-52, Kamilus menyebutkan bahwa Tuhan Allah tidak pernah meninggalkan manusia sendirian. Dia menemani kita menghadapi realitas kehidupan sepahit dan sengeri apa pun.
Advertisement
Karena itu, kata Kamilus, Paus mengajak semua orang Kristen untuk menggunakan teropong kabar baik atau cara pandang Yesus dalam menghadapi salib. "Sebagai Putera Allah, salib yang pahit, mengerikan, menakutkan, dan menyakitkan tetap harus dihadapi,"ujar Kamilus.
Saksikan video pilihan berikut ini :
Dipanggil bermisi
Kamilus menegaskan kepada ratusan Orang Muda Katolik Keuskupan Bandung yang hadir dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika yang menggandeng Komisi Komsos KWI, Komisi Komsos (Komunikasi Sosial) dan Komkep (Komisi Kepemudaan) Keuskupan Bandung ini bahwa tempat misi kita tidak hanya dunia nyata, tetapi juga dunia internet.
"Kita semua dipanggil bermisi di dunia baru ini. Jangan biarkan orang-orand radikal bermain sendiri di media sosial. Kalau kita biarkan berarti kita membawa banyak orang kepada kehancuran,"tegas Kamilus.
Dalam paparan selanjutnya, Direktur Intelijen Densus 88 Anti Teror Kombes Pol Ibnu Suhendra membeberkan fakta-fakta kuatnya peran media sosial dalam penyebaran ideologi-ideologi radikal di tanah air. Penjelasan ini menguatkan kondisi genting yang harus diwaspadai di media sosial.
"Kebanyakan sasaran mereka ibu-ibu dan anak-anak remaja. Lewat media sosial mereka dijejali dengan seruan-seruan fenomenal yang mengajak membunuh orang lain yang tidak sejalan,"ujar Ibnu.
Seruan untuk melakukan amaliah (amal) di negara masing-masing dengan membuat teror lewat bom bunuh diri ini bahkan sudah masuk kuat dalam pikiran anak-anak. "Ketika mereka melihat polisi berseragam, anak-anak ini sudah bisa berteriak 'ini harus dibunuh',"ujar Ibnu
Advertisement
Bangun narasi positif
Menurut Ibnu, ini merupakan dampak dari seruan Bahrun Naim yang sebenarnya posisinya tidak ada di negara Indonesia. Dia ada di Suriah, kata Ibnu. Namun lewat media sosial, dia berkomunikasi dengan anak-anak dan ibu-ibu ini untuk melakukan tindakan teror.
"Karena itu, Orang Muda Katolik dalam hal ini punya peran penting menghadang gerakan ini dengan narasi-narasi yang baik dan positif,"ujar Ibnu.
Menanggapi kondisi ini, Tenaga Ahli Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Hendrasmo menegaskan pentingnya literasi media. "Literasi media sangat penting, khususnya saat masyarakat kebanjiran informasi,"ujar Hedrasmo.
Literasi ini, kata Hedrasmo menjadikan masyarakat sadar dan kritis terhadap isi yang tersaji dan beredar dalam berbagai media. Masyarakat juga mampu menggunakan media sesuai etika, serta melakukan cek dan recek sebelum menyebarkannya.
Media massa, kata Hedrasmo dalam hal ini sangat potensial membangun dan membentuk karakter bangsa ke arah positif ataupun negatif baik disengaja maupun tidak disengaja. Peran Pers Nasional menurut UU No. 40/1999 tentang Pers, Pasal 3 terungkap jelas, sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. "Karena itu, media (harus) bisa menjadi tempat rujukan informasi valid,"ujar Hendrasmo.
Media sosial jadi paspor
Sebelum latihan merancang dan membuat meme, video blog, Staf Ahli pada Kantor Staf Presiden Aloysius Wisnuhardana yang juga menjadi pembicara dalam forum ini menegaskan bahwa media sosial di masa depan bisa menjadi paspor di masa depan kalau ke luar negeri.
"Kalau kita sering mencaci maki Amerika Serikat sangat mungkin pihak Amerika juga akan memantau hal ini dan menjadi catatan penting sehingga Anda tidak bakal bisa diterima masuk ke Amerika,"ujar Wisnu.
Bahkan dalam dunia kerja, kata Wisnu, media sosial juga menjadi rujukan untuk mengenal calon karyawan. "Meskipun yang tertulis di riwayat hidup semuanya baik, tapi kalau di media sosial dia sering mencaci, bagaimana kita bisa menerima orang seperti ini,?"ujar Wisnu.
Memang bermain media sosial seperti berada di dua sisi, kata Wisnu. Kita bisa melakukan hal-hal buruk di dalamnya atau melakukan hal-hal positif di dalamnya. "Tentu kita tidak ingin negara kita hancur seperti Suriah gara-gara media sosial. Kita nggak mau membiarkannya, kan?"tanya Wisnu.
Kegiatan literasi media ini merupakan yang keempat setelah Jakarta/Bogor, Malang, dan Medan. Setelah Bandung, kegiatan ini akan dilanjutkan ke Manado, Kupang dan Semarang. Hingga Minggu (15/10) siang, anak-anak muda Bandung ini akan melakukan latihan memahami dan mengenal hoaks serta bagaimana mesti mencegah dan melawan peredarannya.
Advertisement