Lilin Duka dan Solidaritas Mahasiswa Purwokerto

Lilin sebagai tanda berkabung, sekaligus solidaritas untuk para pejuang demokrasi yang mengalami kekerasan di berbagai belahan Nusantara.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 29 Okt 2017, 11:01 WIB
Diterbitkan 29 Okt 2017, 11:01 WIB
Mahasiswa Purwokerto menggelar aksi berkabung dengan menyalakan lilin. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Mahasiswa Purwokerto menggelar aksi berkabung dengan menyalakan lilin. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Purwokerto - Ratusan mahasiswa yang dari berbagai Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) perguruan tinggi di Purwokerto, Jawa Tengah, menggelar aksi keprihatinan merespons tindakan represif aparat dalam membubarkan aksi damai atau demonstrasi mahasiswa di berbagai daerah, Selasa malam, 24 Oktober 2017.

Mereka menyalakan lilin sebagai tanda berkabung, sekaligus solidaritas untuk para pejuang demokrasi yang mengalami kekerasan di berbagai belahan Nusantara, akhir-akhir ini.

Secara bertahap, peserta aksi berdatangan ke pusat aksi damai di Alun-alun Purwokerto. Lantas, peserta aksi itu menyalakan lilin secara bersamaan. Sejurus itu, secara bergantian, masing-masing perwakilan BEM berorasi, menyampaikan asprirasi mereka. Sejumlah mahasiswa membacakan puisi yang menyoroti matinya demokrasi di negeri ini.

Seorang peserta aksi, Alfi Nur Janah mengaku turut turun ke jalan lantaran prihatin dengan nasib sesama mahasiswa Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM-SI) Jakarta yang mengalami kekerasan dan ditahan di Polda Metro Jaya. Mereka dibubarkan paksa dan mengalami kekerasan saat berada di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Jumat, 20 Oktober lalu.

"Saya ikut karena merasa prihatin dengan teman-teman yang mengalami kekerasan di Jakarta dan Banten. Juga di Purwokerto, di waktu sebelumnya," ucap dia.

Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unsoed Purwokerto ini hanya satu di antara sekitar 250 peserta aksi yang malam itu memenuhi bagian selatan Alun-alun Purwokerto. Tak hanya berorasi, mereka pun membagikan selebaran kepada pengguna jalan yang melintas di Jalan Jenderal Soedirman.

Sementara, koordinator aksi, Sujada Abdul Malik mengatakan aksi menyalakan lilin ini dilakukan untuk merespons kekerasan yang dialami demonstran di berbagai daerah. Terakhir, empat rekan mereka ditetapkan sebagai tersangka saat menggelar demonstrasi mahasiswa di depan Istana. Empat mahasiswa ini adalah bagian dari 14 orang yang ditangkap dan mengalami kekerasan.

 

Menolak Aksi Represif Aparat

Demonstran membawa berbagai atribut demonstrasi, seperti spanduk, poster, dan selebaran berisi desakan agar negara menghentikan kekerasan yang dinilai membungkam kebebasan berpendapat. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Demonstran membawa berbagai atribut demonstrasi, seperti spanduk, poster, dan selebaran berisi desakan agar negara menghentikan kekerasan yang dinilai membungkam kebebasan berpendapat. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Tak hanya itu, kepolisian juga membubarkan paksa demonstrasi mahasiswa di Serang, Banten, dengan cara serupa, menerapkan pendekatan represif. Padahal, kata Sujada, demonstrasi adalah bagian dari menyampaikan aspirasi di muka umum yang telah dilindungi UUD 1945. Namun, ternyata aparat masih melakukan kekerasan ketika membubarkan massa.

"Aksi represif itu sudah banyak terjadi. Hari ini kita turun di sini juga untuk merespons. Jadi saat Jumat ada pemukulan dan penangkapan, Sabtunya kita langsung turun. Kemudian kita mendengar lagi penambahan tersangka lagi, dua kawan kita, sekarang jadi empat,” kata Sujada.

Menurut Sujada, kekerasan yang dialami mahasiswa di Jakarta dan Banten, adalah catatan buram rangkaian kekerasan aparat dalam merespons aksi damai pada Oktober ini. Sebelumnya, pada 9 Oktober 2017, kekerasan juga dialami oleh puluhan anggota Aliansi Selamatkan Slamet (ASS) yang menggelar aksi damai menolak PLTP Baturraden yang dinilai merusak lingkungan.

Ia juga menyoroti kekerasan aparat terhadap peserta aksi damai menolak PLTP Baturraden. Dalam aksi itu, puluhan demonstran mengalami kekerasan. 24 orang ditangkap dan ditahan kepolisian. Belakangan seorang di antaranya diketahui merupakan korban salah tangkap. Selain itu, terjadi pula kekerasan terhadap wartawan yang tengah meliput.

Dia menilai, represi yang dialami kelompok-kelompok pro demokrasi, termasuk mahasiswa adalah lonceng kematian untuk demokrasi Indonesia. Sebab itu, malam ini adalah malam berkabung untuk demokrasi Indonesia. “Malam ini kita menyatakan hari ini adalah malam berkabung, untuk matinya demokrasi,” dia menjelaskan.

Sementara, dalam aksi damai tersebut, ratusan mahasiswa menyalakan lilin sejak pukul 19.30 WIB. Aksi ini juga diisi pembacaan puisi keprihatinan dan bagi pamflet. Mereka juga menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Pukul 21.30 WIB, aksi massa berakhir dan demonstran membubarkan diri.

Demo hingga Tengah Malam

Sebelumnya, polisi menangkap 14 mahasiswa yang mengikuti demonstrasi di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, pada Jumat, 20 Oktober lalu. Aksi tersebut berlangsung hingga tengah malam dan berujung ricuh.

"Ada 14 yang diamankan. Dibawa ke Polda Metro Jaya, dan belum selesai diperiksa, batas waktu sampai 1x24 jam," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Raden Prabowo Argo Yuwono kepada Liputan6.com di Jakarta, Sabtu, 21 Oktober 2017.

Argo menjelaskan, massa yang berasal dari elemen mahasiswa dan buruh ini tetap bertahan meski sudah melewati pukul 18.00 WIB. Padahal, berdasarkan aturan, penyampaian pendapat di muka umum dibatasi hingga pukul 18.00 WIB.

Polisi, kata Argo, terus berupaya persuasif agar massa bersedia membubarkan diri, sehingga Jalan Medan Merdeka Barat yang semula ditutup untuk aksi, bisa digunakan kembali.

Polisi juga berkoordinasi dengan Sekretariat Negara (Setneg), agar menerima perwakilan mahasiswa. Namun, demonstran tidak mau difasilitasi. Massa tetap bertahan hingga pukul 22.00 WIB.

Masyarakat pun mengeluh, lantaran mengganggu fasilitas umum. Polisi kemudian memberikan waktu hingga pukul 23.00 WIB untuk membubarkan diri.Tapi, demonstran melewati batas waktu yang disepakati. Polisi pun bertindak tegas untuk membubarkan aksi.

Polisi Persilakan Penangguhan Penahanan Mahasiswa

Polda Metro Jaya mempersilakan penangguhan penahanan, terhadap dua mahasiswa pendemo 3 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK.

"Penangguhan penahanan tentunya diperbolehkan karena diatur oleh undang-undang. Dari keluarga maupun pihak tersangka silakan ya ajukan," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono di Mapolda Metro Jaya, Rabu, 25 Oktober 2017.

Argo menuturkan, sampai sekarang, Polda Metro Jaya belum mendapat surat permohonan penangguhan dari pihak keluarga atau pihak lainnya kepada para mahasiswa itu.

Sebanyak 16 mahasiswa ditetapkan polisi sebagai tersangka. Dua di antaranya ditahan, diduga melanggar Pasal 160 tentang tentang delik penghasutan dengan lisan.

Sedangkan 14 mahasiswa lain, tersandung Pasal 216 serta 218 KUHP tentang tidak taat aturan petugas untuk membubarkan diri dalam aksi, dipulangkan.

"Pemeriksaan sudah dilakukan, sesegera mungkin melengkapi berkas perkara. Kalau sudah diperiksa semua dan digelarkan (perkara) dan sudah selesai, kita kirim ke kejaksaan," Argo menjelaskan.

Soal dalang lain, lanjut Argo, polisi masih melakukan pendalaman. "Masih diselidiki. Apakah ada yang nyuruh atau ada yang mengatur, kita masih selidiki," Argo menandaskan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya