Pilkada 2018 Rawan Bikin Calon dan Pendukungnya Depresi, Kenapa?

Psikolog menilai sistem pilkada saat ini dapat memicu rasa stres yang dalam hingga depresi.

oleh Eka Hakim diperbarui 14 Okt 2017, 18:04 WIB
Diterbitkan 14 Okt 2017, 18:04 WIB
Ilustrasi Depresi
Ilustrasi Depresi

Liputan6.com, Makassar - Pengamat Psikologi Universitas Negeri Makassar (UNM), Prof. Syamsul mengatakan, dampak stres hingga depresi berpotensi sangat tinggi dialami para calon Kepala Daerah yang nantinya bertarung dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Sulsel periode 2018-2023.

Tak hanya calon Kepala Daerah, dampak yang sama juga menanti para pendukung atau tim sukses pasangan calon Kepala Daerah yang dimaksud.

"Iya, setidaknya banyak yang akan mengalami stres hingga depresi, terutama bagi calon dan pendukungnya yang kalah dalam Pilkada tahun ini di Sulsel," katanya kepada Liputan6.com, Sabtu (14/10/2017).

Ia berharap, pelaksanaan pilkada dapat berjalan baik dan masing-masing para calon pasangan Kepala Daerah yang akan bertarung dapat mempersiapkan diri dengan baik serta dapat menerima apapun hasilnya dengan besar hati.

"Karena berkaca dengan kejadian sebelumnya, banyak juga yang terjerat kasus hingga menjadi status tersangka oleh KPK. Kasihan kan, sudah kalah jadi tersangka lagi atau bahkan divonis bersalah oleh yang pihak berwajib," terangnya.

Lebih jauh, Syamsul mengungkapkan, banyak faktor yang menjadi penyebab para calon pasangan kepala daerah yang bertarung nantinya rawan terkena dampak stres hingga berujung depresi.

Menurutnya, hal itu disebabkan karena sistem pemilihan secara langsung yang masih memiliki beberapa kelemahan. Di antaranya para calon yang bertarung harus mengeluarkan banyak biaya serta dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat.

Tak hanya itu, dengan sistem yang saat ini, juga bisa berdampak negatif dalam kaitannya dengan jalinan silaturrahim, menimbulkan permusuhan, terutama bagi yang tidak sanggup menerima kekalahan.

"Nah, kondisi seperti ini dapat menimbulkan gangguan psikologis, seperti konflik antar-kelompok, konflik antar-pribadi, gangguan individual seperti stres, depresi, dan lainnya," terangnya.

Ia mengatakan, sistem pemilihan yang ada saat ini tak lagi berorientasi pada azas musyawarah dan mufakat sesuai dengan amanah para perintis dan pendiri negara Indonesia yang menekankan pada hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan sebagaimana tercantum pasa sila ke empat Pancasila.

Untuk meminimalisir dampak negatif tersebut, Syamsul menyarankan agar seyogyanya para calon dan pendukungnya menyadari bahwa menjadi pemimpin itu sesungguhnya adalah amanah yang akan dipertanggung jawabkan di dunia dan di akhirat.

"Tidak didasarkan atas nafsu kuasa, apalagi nafsu mendapatkan keuntungan finansial," tuturnya.

Ia juga berharap kepada para pemilih dalam pilkada tahun ini, hendaknya menjadi pemilih yang cerdas, tidak terpengaruh oleh janji murahan. Apalagi dengan imbalan material sesaat.

"Pemilih yang cerdas harus mampu melihat latar prestasi, keunggulan, dan kompetensi profesional calon yang dibuktikan dengan karya nyata, bukan janji-janji belaka," ungkap Syamsul.

Saksikan video pilihan di bawah ini!

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya