Perjuangan Panjang Wisudawan Bersandal Jepit Menjadi Sarjana

Sandal jepit yang digunakan sarjana itu bukan untuk menjadi alas kaki, tetapi sarung tangan saat berjalan ke atas panggung.

oleh Abdul Karim diperbarui 22 Des 2017, 13:02 WIB
Diterbitkan 22 Des 2017, 13:02 WIB
Perjuangan Panjang Wisudawan Bersandal Jepit Menjadi Sarjana
Sandal jepit yang digunakan sarjana itu bukan untuk menjadi alas kaki, tetapi sarung tangan saat berjalan ke atas panggung. (Liputan6.com/Abdul Karim)

Liputan6.com, Ambon - Suasana wisuda sarjana di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon, Maluku, mendadak penuh haru saat nama Abdul Syukur Rahadat dipanggil ke atas panggung. Mahasiswa Fakultas Syariah itu hanya bersandal jepit saat berjalan. Itu pun bukan untuk kedua kakinya, melainkan pengganti sarung tangan ketika berjalan.

Melihat Abdul Syukur yang merangkak ke panggung utama, sebagian orangtua, mahasiswa, dan dosen yang membina Abdul Syukur tak dapat menahan tangis.

Isak tangis beberapa pengunjung makin tak terbendung ketika Rektor IAIN Ambon Dr. Hasbollah Toisutta berdiri dari kursinya dan menghampiri Abdul Syukur sambil memindahkan tali toga berwarna kuning.

Abdul Syukur adalah mahasiswa yang punya kekurangan fisik. Tulang betisnya bengkok sejak kecil. Untuk berjalan, dia menggunakan tangan sebagai penyangga.

Namun, keterbatasan fisik yang dimilikinya tidak membuat pria asal Maluku Tenggara kelahiran 17 Desember 1988 itu putus harapan untuk menempuh pendidikan. Abdul Syukur bahkan berhasil meraih IPK 3.47, terpaut beberapa angka dengan mahasiswa yang meraih cumlaude.

"Sejak kecil sudah begini, saya sekolah juga begini. Sudah biasalah," kata Abdul Syukur di kediamannya yang terletak di Kompleks STAIN Ambon, Lorong Arema, Desa Batu Merah, Kota Ambon, Kamis, 21 Desember 2017.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Tak Pernah Terima Beasiswa

Perjuangan Panjang Wisudawan Bersandal Jepit Menjadi Sarjana
Abdul Syukur berjalan dengan menggunakan kedua tangan saat mengikuti wisuda IAIN Ambon. Foto: (Abdul Karim/Liputan6.com)

Abdul Syukur tercatat sebagai mahasiswa jurusan Hukum Pidana angkatan 2011, dan menempuh pendidikan selama 13 semester. Semua biaya kuliahnya sejak awal hingga akhir studi ditanggungnya sendiri.

Ia tidak pernah mendapatkan beasiswa pemerintah ataupun dari kampus. Maklum, sebelum mendaftar sebagai mahasiswa, Abdul Syukur sudah lebih dulu membangun bisnis sendiri.

"Saya punya kontrakan ada enam kamar, pendapatan dari situ yang membiayai saya kuliah, jadi tidak pernah mengurusi beasiswa," katanya.

Kontrakan yang berdiri di atas tanah seluas 10x15 meter itu dibangun pada 2007. Waktu itu, harga tanah sangat murah hanya Rp 5.000.000. Uang untuk membeli aset yang kini sangat berharga dikumpulkan sejak duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA).

"Saya nabung sejak lama, dan sebelum kuliah saya membeli tanah dan membangun bilik-bilik kamar kos, jadi tidak mengharapkan orangtua," katanya.

Abdul Syukur sejak awal bercita-cita sebagai pakar hukum. Itulah alasannya, ia memilih Fakultas Syariah saat mendaftar di IAIN Ambon.

Di tengah keterbatasan fisik dan ekonomi, Abdul Syukur ternyata masih tetap bermimpi agar dapat melanjutkan studi ke jenjang lebih atas. Selain ingin mendapatkan gelar magister hukum, dia ingin terus belajar hingga tak ada gelar lagi yang harus diambil.

Mimpi Jadi Pakar Hukum

Perjuangan Panjang Wisudawan Bersandal Jepit Menjadi Sarjana
Sandal jepit yang digunakan sarjana itu bukan untuk menjadi alas kaki, tetapi sarung tangan saat berjalan ke atas panggung. (Liputan6.com/Abdul Karim)

Kecintaannya terhadap ilmu hukum bukan karena ingin mendapatkan pekerjaan. Ia ingin ilmu yang diperoleh selama menempuh pendidikan S1, S2, atau S3 diharapkan bisa membantu dirinya dan juga orang lain yang membutuhkan.

"Pertama-tama agar saya tahu hukum, saya harus tahu keadilan itu seperti apa, dan bagaimana kita dapat memberikan rasa keadilan bagi yang lain," ujarnya.

Selain itu, di mana pun manusia tinggal ,sangat membutuhkan sebuah aturan, Indonesia sendiri negara hukum, semua warga negara harus tunduk pada aturan yang berlaku. Maka, ia berpendapat ilmu tentang hukum sangat penting.

Alasan itulah yang mendorong Abdul Syukur memberanikan diri untuk mengambil tema penelitian tentang pemalsuan dokumen. Penelitian yang dilakukan selama tiga bulan di Polres Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease itu bertujuan untuk mengetahui sejauh mana warga Kota Ambon berlaku adil terhadap sesamanya.

Berdasarkan laporan yang diterima pada 2004-2006, kasus pemalsuan dokumen banyak terjadi. Pemalsuan dokumen itu juga bentuk kejahatan yang sangat berbahaya karena menghilangkan hak hukum orang lain atas barang dan jasa miliknya.

"Misalnya saja pemalsuan tanda tangan, itu kejahatan yang tidak disadari banyak orang, kita telah menghilangkan hak orang lain. Atau ada perubahan nama seseorang secara tidak sah pada sebuah dokumen, ini hal-hal kecil yang sangat merusak dan tidak memberikan keadilan bagi yang lain," katanya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya