Liputan6.com, Mataram - Ende adalah sebuah dusun suku Sasak yang eksotis. Dusun ini terletak di Desa Rambitan, Kecamatan Pujung, Kabupaten Lombok Tengah. Lokasinya sekitar 40 menit dari Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Dikatakan eksotis karena semua bangunan, mulai dari rumah, kandang, lumbung, hingga dapur masih berbentuk asli rumah tradisional Sasak, suku asli Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Selain Ende, ada kampung Sade, yang juga terletak di Desa Rambitan dan masih melestarikan rumah tradisional Sasak.
Advertisement
Pantauan Liputan6.com ketika mengunjungi Kampung suku Sasak Ende pada 24 Desember 2017, jarak Ende dan Sade tidak terlalu jauh, sekitar 500 meter. Ende di kanan jalan raya Pujung, sedangkan Sade di kiri jalan.
Baca Juga
Ende memiliki daya tarik tersendiri karena belum tersentuh modernisasi. Maksudnya, lantai rumah di Ende masih dari tanah liat, sedangkan di Sade sebagian rumah tradisional telah diganti lantai semen.
Pemprov NTB menetapkan Dusun Ende sebagai objek wisata sejak 1999, tetapi baru ramai dikunjungi wisatawan dalam sepuluh tahun terakhir seiring pesatnya perkembangan wisata di Pulau Lombok.
Dusun Ende dihuni sekitar 30 keluarga, dengan total penduduk 138 jiwa. Pekerjaan kaum pria rata-rata sebagai petani, sementara kaum wanita sebagai penenun. Sejak ramai dikunjungi wisatawan, pemuda Sasak Ende beralih menjadi pemandu wisata.
Mereka bergantian memandu tamu berkeliling kampung seluas satu hektare itu. Mereka juga menerangkan secara detail rumah adat Suku Sasak, mulai dari bahan yang digunakan dan filosofinya.Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
Lantai Rumah Sasak Dilapis Kotoran Sapi
Akip, 27 tahun, pemuda Sasak yang ramah, menjadi salah seorang pemandu wisata saat Liputan6.com berkunjung ke dusun tersebut. Dia mengatakan, rumah adat Sasak disebut Bali Tani artinya 'rumah petani'. Tulisan Bali Tani juga terpampang di muka kantor Gubernur NTB di Mataram.
Zaman dahulu, kata Akip, rangka utama Bali Tani dari pohon asam atau pohon timus. Karena asam dan timus mulai jarang ditemukan, penduduk beralih memakai kayu kelapa atau mahoni.
Untuk dinding ditutup pedek, anyaman dari kulit bambu. Atapnya menggunakan anyaman batang ilalang. Atap ini diperbarui tiap enam tahun.
Yang unik dari Bali Tani adalah lantainya yang dibuat dari tanah liat. Agar tak retak, lantai dilapisi kotoran sapi. Kotoran itu ditambah minimal satu sekali dalam sepekan.
Menurut Akip, agar tak berbau, kotoran sapi yang dioles adalah kotoran sapi yang masih hangat alias baru keluar. Biasanya, orang Sasak mengambil kotoran sapi pada dini hari. Mereka memasukkan kotoran tersebut ke dalam wadah, kemudian dioleskan ke lantai seperti mengecat dinding.
"Kalau kotoran sapi sudah dingin, menimbulkan bau saat kering," ujar dia.
Bentuk rumah Sasak seragam, memanjang ke samping antara 8 hingga 10 meter dan lebar 4 hingga 5 meter. Walau kamar tanpa sekat, bisa dibagi menjadi tiga fungsi.
Sisi kiri sebagai dapur, bagian tengah tempat menyimpan pakaian dan sisi kanan tempat tidur khusus wanita dan anak-anak. Sementara tempat tidur pria Sasak di teras rumah. Meski menikah, pasangan suami istri Sasak tak boleh tidur campur.
"Untuk kebutuhan biologis, cari-cari waktu, siang atau malam pun jadi," tutur Akip.
Di salah satu rumah, ada dapur di depan halaman dan bukan di dalam rumah. Kata Akip, keluarga Sasak baru boleh bangun dapur di luar rumah bila memiliki banyak anak.
"Dalam suku Sasak, satu rumah satu KK. Kalau anak menikah dibuatkan rumah baru," kata dia.
Advertisement
Dihibur Tarian Perang Paresean
Setelah puas keliling kampung Sasak Ende, pengunjung dihibur dengan tari Paresean, tari tradisional Sasak. Paresean dalam bahasa Indonesia bermakna 'perisai'. Perisai khas Sasak berbentuk kotak, pelindungnya kulit kerbau yang sangat tebal. Sementara, alat pukul mereka memakai pangkal rotan.
Pada masa dahulu, tarian ini merupakan tarian kerajaan Lombok usai menang perang. Hingga sekarang, tarian ini tetap dilestarikan dan dijadikan tari menyambut tamu.
Tarian ini diikuti dua petarung yang disebut pepadu dan ditengahi seorang wasit. Pada awal tarian, pepadu akan saling serang. Aturannya tak boleh memukul ke bawah pinggang, sasaran utamanya kepala.
Zaman dulu, tarian baru berhenti bila ada kepala pepadu yang luka. Pertarungan itu ditengahi seorang wasit. Bila ada dendam antarpepadu, boleh menusukkan rotan.
Tarian Paresean diiringi musik yang disebut Gendang Beleq. Personelnya lima hingga enam orang. Alat musik yang digunakan ada seruling, gong, gendang, kanjal, dan simbal.
Setelah pertunjukan selesai, wasit akan meminta uang saweran seikhlasnya. Ada yang memberi Rp 5 ribu hingga 100 ribu. "Saweran ini akan disimpan untuk pelestarian kampung Sasak," Akip memungkasi.