Kelamin Perempuan dan Tradisi Bau Nyale Suku Sasak Lombok

Tradisi Bau Nyale ini merupakan tradisi turun-temurun yang digelar setiap tanggal 20 bulan kesepuluh pada penanggalan suku Sasak.

oleh Hans Bahanan diperbarui 28 Feb 2016, 20:11 WIB
Diterbitkan 28 Feb 2016, 20:11 WIB
Bau Nyale
Perayaan tradisi adat tahunan suku Sasak Lombok, NTB, Bau Nyale atau menangkap cacing laut. (Hans Bahanan/Liputan6.com)

Liputan6.com, Lombok - Ribuan warga Lombok memadati Pantai Seger yang terletak di Desa Seger, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Minggu pagi tadi. Mereka mengikuti perayaan tradisi adat tahunan suku Sasak Lombok, yaitu Bau Nyale atau menangkap cacing laut.

Tradisi Bau Nyale ini merupakan tradisi turun-temurun yang digelar setiap tanggal 20 bulan kesepuluh pada penanggalan suku Sasak yang disebut Rowot. Biasanya, puncak tradisi ini dimulai di hari kelima setelah purnama pada bulan tersebut.

Ada yang unik dari perayaan Bau Nyale ini dan mungkin tidak ditemukan di daerah lain. Yakni, penyebutan kata-kata yang berhubungan dengan alat kelamin wanita saat hendak menangkap cacing laut tersebut.

Konon, penyebutan kata-kata 'kelamin perempuan' ini dilakukan untuk memanggil cacing laut agar muncul di atas permukaan, sehingga gampang dijaring atau ditangkap.

Tradisi Bau Nyale atau menangkap cacing laut oleh suku Sasak di Lombok. NTB. (Hans Bahanan/Liputan6.com)

"Katanya, kalau kita teriak sambil menyebut kelamin perempuan, nyale (cacing laut) itu enggak sembunyi di karang, tetapi naik," ucap salah seorang pencari nyale yang enggan disebutkan namanya kepada Liputan6.com, Minggu (28/2/2016).

Spontan, teriakan sebagian warga yang menyebut kata-kata kotor tersebut mendapat perhatian dari wisatawan yang datang berkunjung untuk melihat tradisi ini. Bahkan kebanyakan dari mereka tertawa dan bertanya-tanya terkait mitos itu.

Nila, misalnya. Wanita asal Mataram ini mengaku terkejut saat mendengar teriakan kotor itu. Meski demikian, dia mengaku mitos tersebut sering diucapkan oleh orang orang terdahulu di kampungnya.

"Pernah sih dengar dari orang-orang tua di daerah saya yang bilang seperti itu. Awalnya saya tidak percaya, tapi ternyata sekarang saya buktikan bahwa banyak yang mengumpat. Aneh tapi lucu, hahaha," ujar Nila.

Namun, banyak juga dari warga yang geram dengan mitos penyebutan kata-kata kotor tersebut untuk memanggil nyale. Bahkan ada juga yang menyebut mitos tersebut yang tidak berdasar dan dianggap mengada-ada. Karena tidak sesuai dengan tradisi dan adat masyarakat Lombok yang mengedepankan sopan santun dalam bertutur.

"Itu enggak benar, masa cacing laut dipanggil dengan kata-kata kotor gitu. (Pengucapan) Itu enggak ada dalam adat Sasak, itu dibuat-buat," ujar Mustakim, warga Lombok Tengah.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya