Liputan6.com, Palembang - Di tengah padatnya pembangunan infrastruktur megah di Kota Palembang, masih saja ada permukiman kumuh. Salah satunya berada tepat di samping Balai Kota Palembang, di Jalan Temon Kuto Batu, Kecamatan Ilir Barat II Palembang.
Kawasan kumuh ini hanya berjarak beberapa puluh meter dari kantor Pemerintahan Kota (Pemkot) Palembang.
Sepanjang kali di Jembatan Sekanak Palembang dipadati dengan permukiman panggung dan rumah berbahan kayu. Sebagian rumah kayu yang ditutupi seng ini dihuni oleh belasan Kepala Keluarga (KK) di Palembang.
Advertisement
Baca Juga
Meskipun permukiman kumuh ini sudah tidak bertebaran sampah lagi seperti sebelumnya, penggunaan air untuk kesehariannya masih memanfaatkan air kali Sekanak.
Seperti diungkapkan Sofiah (65), para warga di pinggiran kali Sekanak ini menggunakan air kali untuk mencuci piring, cuci baju hingga mandi.
Padahal, air kali tersebut berwarna cokelat, berbau busuk dan lumut yang banyak bertebaran. Tak jarang, banyak sampah yang menggenang di anak sungai permukiman kumuh ini.
"Airnya agak bening kalau air pasang, kalau air surut akan banyak sampah. Apalagi baunya menyengat, dari sampah yang mengendap," katanya kepada Liputan6.com, Kamis, 25 Januari 2018.
Genangan Sampah
"Ada yang untuk mandi, cuci piring dan baju. Kalau airnya kotor, jarang digunakan. Apalagi banyak lumut. Tunggu airnya suruh dulu," ungkapnya.
Dia dan para warga lainnya sengaja menggunakan air di kali. Selain menghemat penggunaan air ledeng, menggunakan air kali di kawasan ini juga tidak terbatas dan melimpah.
Sama halnya disampaikan Johani (66). Sejak usia 8 tahun, dirinya sudah tinggal di pinggiran bantaran kali Sekanak Palembang ini. Dulu air kali ini sangat bersih dan tidak ada sampah yang bertebaran.
"Sekitar tahun 1990-an airnya masih bening, bagian dalam kali juga bisa terlihat, pasir-pasir kali. Sekarang jorok, bau dan keruh. Bagian bawah kali ini kebanyakan sampah semua," ucapnya.
Banyak sampah yang sering menggenang di aliran kali Sekanak ini, lanjutnya, berasal dari aliran Sungai Musi dan kali di ujung anak Sungai Musi di dekat permukimannya.
Bahkan ada satu got kecil di samping rumahnya yang mampet dan penuh dengan tumpukan sampah rumah tangga.
"Kalau air pasang, air got di samping rumah ini baru mengalir. Kalau tidak, ya penuh dengan sampah dan jorok," katanya.
Kebanyakan para warga di bantaran kali Sekanak ini berprofesi sebagai buruh kasar. Rumah seng ini juga disewa dengan harga Rp 1,5 Juta selama satu tahun.
Advertisement
Program Kotaku
Dulu sangat sedikit warga yang mendapat aliran listrik. Mereka harus menyambungkan kabel listrik ke tetangga yang mempunyai fasilitas listrik.
“Sambung-sambung saja kabel listrik dari rumah tetangga, kalau sekarang pakai listrik token,”katanya.
Dirinya juga menanti janji Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang untuk mempercantik dan memperbaiki rumahnya.
Wakil Wali Kota (Wawako) Palembang, Fitrianti Agustinda mengatakan, Pemkot Palembang sudah membuat program Kotaku, untuk mengubah kawasan kumuh menjadi lebih cantik lagi.
“Seluruh daerah di 18 kecamatan di Palembang akan mendapatkan program Kotaku. Kita ubah kawasan utama yang kumuh, lambat laun menjadi lebih indah dan rapi,” katanya.
Program Kotaku sebenarnya sudah digalakkan Pemkot Palembang sejak tahun lalu.
Seperti salah satunya di Lorong Batu Karang, Kelurahan 26 Ilir, Kecamatan Bukit Kecil Palembang. Kawasan ini dulunya termasuk permukiman kumuh dan sering banjir.
Langganan Banjir
Sejak tahun lalu, Pemkot Palembang menggalakkan program Kotaku, dengan memperbaiki infrastruktur jalan dan menyediakan tong sampah.
“Saya imbau masyarakat Palembang agar bisa menjaga infrastruktur yang dibangun dengan baik. Dinding yang kosong di lorong ini juga bagusnya dihias dengan lukisan menarik, tapi harus persetujuan warga dulu,” ujarnya.
Namun, menurut Abdul Rozak (52), warga RT 29 Lorong Batu Karang Palembang, jalanan di permukiman rumahnya selalu rusak, kendati sudah berulang kali diperbaiki.
“Kita lihat saja nanti, apakah jalan yang diperbaiki Pemkot Palembang akan bertahan, tidak seperti perbaikan sebelumnya,” ujarnya.
Dirinya juga menolak kawasan tempat tinggalnya disebut permukiman kumuh, karena kawasannya hanya sering tergenang air banjir dan jalan yang rusak.
Banjir yang hampir menggenangi kawasannya dikarenakan daerah tempat tinggalnya tersebut berada paling rendah dibanding kampung lain di sekitarnya.
"Parit di belakang kampung kami tersumbat, jadi selalu banjir. Perbaikan jalan ini tidak terlalu berpengaruh, masih saja banjir walau sedikit berkurang volumenya. Disini juga tidak kumuh, tidak ada sampah bertebaran," katanya.
Advertisement