Kisah Warga Capar Bedol Desa Hindari Banjir Bandang dan Longsor

Tiap kali hujan lebat, lumpur dan material lain yang terbawa banjir bandang selalu menerjang rumah warga

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 26 Feb 2018, 08:30 WIB
Diterbitkan 26 Feb 2018, 08:30 WIB
Warga Capar mengungsi. (Foto: Liputan6.com/Tagana Banyumas/Muhamad Ridlo)
Warga Capar mengungsi. (Foto: Liputan6.com/Tagana Banyumas/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Brebes - Hujan lebat tak henti-henti mengguyur Desa Capar Kecamatan Salem, Brebes, pertengahan pekan lalu. Kontan, desa yang berada di pegunungan paling barat wilayah Jawa Tengah ini pun dilanda banjir bandang.

Sungai yang biasanya mengalir lancar tersumbat bangkai pohon dan material lain dari pegunungan. Alirannya pun mendangkal dan menyebabkan pasir lumpur menerjang rumah-rumah penduduk.

Nyaris seluruh pedukuhan kecil di desa ini terdampak banjir bandang. Nyali warga pun ciut. Ini masih ditambah dengan tertutupnya akses ke desa tetangga lantaran longsor dan banjir bandang yang menggerus jalan. Setidaknya, tiga titik putus jika terjadi hujan lebat.

Pasalnya, hujan lebat di pekan yang sama memicu longsor di desa tetangga di kecamatan yang sama, Pasir Panjang, dan menyebabkan korban jiwa, Kamis pagi (22/2/2018).

Perbukitan yang mengelilingi desa kini terlihat seperti ancaman. Mereka khawatir diterjang banjir bandang dan longsor sekaligus.

800 Lebih Warga Mengungsi

Material banjir bandang menerjang rumah-rumah penduduk Capar. (Foto: Liputan6.com/Tagana Banyumas/Muhamad Ridlo)
Material banjir bandang menerjang rumah-rumah penduduk Capar. (Foto: Liputan6.com/Tagana Banyumas/Muhamad Ridlo)

Maka, sejak Jumat (23/2/2018), sebanyak 800-an warga Desa Capar Kecamatan Salem Kabupaten Brebes, Jawa Tengah mengungsi ke Desa Windusakti dan sejumlah desa lainnya. Jumlah itu adalah keseluruhan warga desa Capar sehingga bisa disebut sebagai bedol desa.

Koordinator DU Pengungsian Windusakti, Heriana Ady Chandra mengatakan, berdasar informasi Kepala Desa Capar, seluruh warga telah mengungsi. Mereka tak mengungsi ke satu tempat, melainkan tersebar di beberapa desa sekitar Windusakti.

Namun, jumlah pengungsi terbanyak ada di posko pengungsian Balaidesa Windusakti dan SD Negeri Windusakti dengan jumlah 643 orang. Angka sebanyak itu terdiri dari pengungsi yang berasal dari dua desa, Capar dan desa di bagian bawahnya, Winduasri.

Pengungsi terdiri dari 36 balita, siswa SD 69 orang, siswa SMP 32 orang, dan dewasa, 438 jiwa, dan lansia sebanyak 38 orang.

“Ya seluruh keluarga sudah habis (mengungsi). Tetapi yang mengungsi di balaidesa Windusakti ini kan ada 643 orang. Dari informasi Pak Kades, banyak yang mengungsi ke rumah saudaranya, ada di Winduasri, ada Bojong, sebelahnya Windusakti,” ucapnya, Minggu (25/2/2018).

Sungai Mendangkal, Aliran Air menerobos Perkampungan

Desa Capar sepi tak berpenghuni. (Foto: Liputan6.com/Tagana Banyumas/Muhamad Ridlo)
Desa Capar sepi tak berpenghuni. (Foto: Liputan6.com/Tagana Banyumas/Muhamad Ridlo)

Chandra menjelaskan, Sejak banjir bandang pada Jumat lalu, tiap kali hujan lebat lumpur dan material lain selalu menerjang rumah warga. Warga juga trauma setelah terjadi longsor besar di Gunung Lio.

Hingga Minggu (25/2/2018), tercatat tujuh orang meninggal dunia dan belasan lainnya dinyatakan hilang.

Posisi permukiman penduduk yang berada di bawah perbukitan curam pun mengkhawatirkan warga.

“Manakala terjadi hujan lebat, pasti tertutup, karena banjir. Jadi banjirnya itu lumpurnya sudah ke rumah warga,” dia menjelaskan.

Minggu pagi, sekitar 200 warga Capar, terutama laki-laki, baru berani mulai kembali ke desa untuk membersihkan material yang menumpuk di rumah dan perkampungan. Namun, jika turun hujan atau sore, mereka akan kembali ke pengungsian.

Dia menyebut saat ini kondisi pengungsian di Windusakti relatif telah membaik. Sebelumnya, pengungsian ini seperti luput dari perhatian.

Petugas Dapur Umum Kesulitan Cari Bahan Makanan

Ratusan pengungsi di Balaidesa dan SD Negeri Windusakti. (Foto: Liputan6.com/Tagana Banyumas/Muhamad Ridlo)
Ratusan pengungsi di Balaidesa dan SD Negeri Windusakti. (Foto: Liputan6.com/Tagana Banyumas/Muhamad Ridlo)

Pemerintah dinilai lebih memperhatikan longsor berskala besar di Desa Pasir Panjang hingga dua hari pasca bencana. Namun, hari ini, bantuan sudah mulai mengalir lancar.

Hanya saja, pengungsi juga masih tidur di tempat yang kurang layak. Antara lain lantaran ketiadaan alas tidur atau karpet dan selimut. Pengungsi, terutama anak-anak, juga sudah mulai terserang flu dan masuk angin.

Petugas dapur umum, juga harus menempuh perjalanan yang cukup jauh untuk memenuhi logistik pengungsi. Untuk menuju Posko Utama di pasir Panjang, petugas harus menempuh perjalanan lebih kurang 15 kilometer.

Adapun jika ke pasar Majenang, Cilacap, dibutuhkan waktu kurang lebih 1,5 jam. Yang menyulitkan, sepanjang perjalanan banyak lumpur dan material lain yang menghambat kendaraan.

“Beras cukup, mi instan cukup. Yang kurang itu sayur dan lauk. Kerena harus berganti, kombinasi setiap hari,” dia menerangkan.

Chandra mengaku tak mengetahui sampai kapan warga akan mengungsi. Sebab, hingga Minggu, belum dilakukan evaluasi, baik di pengungsian maupun di area terdampak banjir bandang.

“Kadang saya ditanya pengungsi, bingung juga. Karena saya bukan ahli geologi dan tidak memiliki kewenangan,” dia menambahkan.

Saksikan video pilihan berikut ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya