Makna Sakral Kain Merah Suku Moi Sorong

Palang adat suku Moi dikenal sakral dan diyakini sulit dibuka kecuali ada kesepakatan dari kedua belah pihak sesuai dengan tuntutan yang dipenuhi.

diperbarui 28 Feb 2018, 07:02 WIB
Diterbitkan 28 Feb 2018, 07:02 WIB
Kain Merah Suku Moi Sorong Papua
Pintu kantor salah satu perusahaan diberi kain merah dan dipalang pemilik ulayat tanah KM16, Suku Moi Sorong. (KabarPapua.co/Veydaody)

Sorong - Setiap daerah memiliki aturan dan adat istiadat yang unik. Begitu pula dengan suku Moi di Sorong, Papua Barat. Masyarakat adat suku ini memiliki cara sendiri menandakan protes, yakni memasang kain merah.

Perlu diwaspadai, jika suku Moi sudah memasang kain merah pada sebuah pintu atau bangunan di daerahnya, maka kain merah itu melambangkan protes keras. Masalah tersebut bisa diselesaikan secara adat.

Protes pemalangan yang dilakukan suku Moi Papua Barat juga bisa dilakukan dengan Bambu Tui.

Palang adat suku Moi dikenal sakral dan diyakini sulit dibuka kecuali ada kesepakatan dari kedua belah pihak sesuai dengan tuntutan yang dipenuhi.

Kasus terakhir hingga kain merah suku Moi diikat pada sebuah pintu salah satu perusahaan, sebagai tanda peringatan pemalangan karena tak dipenuhinya pembayaran tanah di KM 16 Pantai Sorong, Papua Barat.

"Padahal tanah ini digunakan untuk sumur pengeboran gas. Tuntutan ini sudah berlarut sejak 2016 dan tak ada niat baik dari perusahaan," kata Melkianus Osok, perwakilan masyarakat adat suku Moi kepada Kabarpapua.co.

Baca berita menarik lainnya dari Kabarpapua.co di sini.

 

Palang Kain Merah Dibuka Jika Ada Solusi Penyelesaian Kasus

Honai
Honai di Desa Auktama, Wamena, Papua (Foto: Liputan6.com/Fitri Haryanti Harsono)

Melkianus menjelaskan, perusahaan itu berjanji menyelesaikan pembayaran pada 5 Desember 2017. Namun, hingga saat ini, pembayaran ganti rugi tak kunjung tiba.

"Surat demi surat sudah dilayangkan, bahkan Wali Kota Sorong sudah memberikan rekomendasi kepada perusahaan untuk segera membayar tanah ulayat," kata Melkianus, belum lama ini.

Sebenarnya, tuntutan yang dikehendaki oleh masyarakat adat suku Moi kepada perusahaan itu sebesar Rp 10 miliar. Dana ini pun sudah diturunkan menjadi Rp 1,7 miliar.

"Kami mengalah demi mendukung pembangunan di Kota Sorong," kata Melkias, yang juga menyebutkan, palang kain merah tak akan dibuka sampai ada kesepakatan pembayaran ganti rugi.

"Jika ada yang mencoba buka palang kain merah itu, maka akan celaka. Kami memberikan waktu akhir pembayaran ganti rugi tanah hingga akhir Februari 2018," Melkianus menandaskan.

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya