Liputan6.com, Jayapura - Tangan perempuan asli Papua 68 tahun ini telungkup. Matanya juga tertutup rapat. Mulutnya terus mengucapkan doa dan harapan.
“Hewe (Wempi) Gubernur Papua, hagatlagen haloke yi apuni tiapuni logolek Papua werek meke atoma hetaiken’ma wanino. Hetaiken anhagosa hutik atihak at, apuni logolek atoma hetaiken’ma wanino”
Doa dari Mama Hokolue Asso menderas untuk anaknya, Calon Gubernur Papua, John Wempi Wetipo yang bertarung pada Pilkada Gubernur Papua 2018. Doa mama diucapkan dalam bahasa Suku Hubula yang mendiami Lembah Baliem Jayawijaya.
Advertisement
Baca Juga
Dalam bahasa Indonesia berarti 'Jika kamu menjadi Gubernur Papua, tolong kamu perhatikan rakyat Papua, sama seperti kamu memperhatikan mama'. Doa Mama Hokolue Asso sengaja diucapkan untuk Wempi yang saat ini mengikuti proses Pilkada Gubernur Papua.Di tengah anak-anak dan keluarganya, mama memberikan pesan agar selalu memperhatikan rakyat Papua, yang saat ini banyak dirundung masalah.
"Tak ada yang menghalangi janji Tuhan, sekalipun banyak ejekan yang datang kepada JWW. Saya yakin Tuhan akan menepati janjinya," kata Mama Hokolue, Kamis (8/3/2018) di Wamena, Kabupaten Jayawijaya.
JWW pun menyebutkan segala proses dalam pilkada tahun ini, tak lepas dari doa sang mama. Sebut saja di saat JWW belum mendapatkan partai pendukung.
Ia minta sang mama untuk mendoakannya. Saat itu, Wempi hanya berbicara kepada sang mama, bahwa ia belum mendapatkan partai pendukung dan tak memiliki uang.
"Terbukti, Tuhan menjawab doa mama saya. Doa mama menuntut saya mendapatkan partai pengusung dan hari ini saya maju menjadi calon Gubernur Papua dengan Pak Habel dari partai pengusung PDI Perjuangan dan Gerindra," jelas Wempi.
Dalam pesannya, mama menyebutkan tak memiliki kepentingan apapun dalam politik ini, apalagi sang mama merasa tak berpendidikan. Tetapi sang mama memiliki kewajiban untuk mendoakan JWW, sebagai anak yang dikandung dari rahimnya.
"Biar mama di kampung, tapi saya ingin anak ini (JWW) menjadi Gubernur Papua, agar bisa melihat kebutuhan masyarakat di Papua. Saya yakin dan percaya, apa yang dikerjakan dan dilakukan adalah berangkat dari keyakinan. Saya punya Tuhan dan rencana Tuhan itu ada, untuk kami atas perubahan di tanah ini," kata Mama Hokulue menambahkan.
Perempuan dan Pembangunan
Bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional, Wempi yang berpasangan dengan wakilnya, Habel Melkias Suwae atau biasa disapa dengan pasangan Josua yakin di era modernisasi dan kesetraan saat ini, perempuan Papua dapat bersaing bebas dengan laki-laki di segala bidang.
"Jangan lagi perempuan hanya berada di dapur. Sudah waktunya memposisikan perempuan menjadi pelaku pembangunan di tanah Papua," kata Wempi.
Jadi, sangat pantas jika semua pihak dapat memberikan penghargaan kepada perempuan, dan memberikan tempat yang sejajar dengan laki-laki.
Laki-laki kerja sendiri tanpa perempuan, warnanya pasti beda. Untuk itu laki-laki dan perempuan harus bergandengan tangan, bekerja tulus untuk membangun Papua.
"Ke depan perempuan harus diajak menjadi pengambil kebijakan, karena perempuan lebih memahami apa yang dibutuhkan untuk mencapai kebahagiaan keluarga dan masyarakat Papua," ucapnya.
Saksikan video berikut ini: https://www.vidio.com/watch/1303643-hari-perempuan-internasional-setop-pelecehan-seksual
Advertisement
Perempuan Papua Turun ke Jalan
Jurnalis Perempuan Papua bersama dengan aktivis perempuan dan organisasi perempuan lainnya, turun ke jalan memperingati Hari Perempuan Internasional yang biasa diperingati setiap 8 Maret.
Aksi tersebut dilakukan di Lingkaran Abepura, Distrik Abepura, Kota Jayapura, Papua dengan membagikan bunga kepada pengguna jalan, sebagai tanda kasih sayang.
Para perempuan ini juga membagikan pinang sirih sebagai tanda lambang damai serta membawa peralatan spanduk yang bertuliskan “Kalau ko (kamu) laki – laki sejati ko (kamu) tra (tidak) pukul perempuan.”
Koordinator Jaringan Anti Kekerasan Berbasis Gender Jayapura, Fien Yarangga mengatakan aksi turun jalan sengaja dilakukan agar masyarakat, pemerintahan serta parlemen perempuan melihat kekerasan perempuan di Papua.
Aksi turun ke jalan yang dilakukan oleh kaum perempuan di Papua juga dilakukan karena kekerasan terhadap perempuan dan anak di Papua terus meningkat dengan modus yang beragam.
"Jika masyarakat mengantisipasi dengan baik dan ada kebijakan tegas pemerintah, diharapkan kekerasan terhadap Papua tak lagi terjadi," ujarnya.
Nunung Kusmiaty, salah satu jurnalis perempuan di Papua yang ikut dalam aksi tersebut menyebutkan kekerasan terhadap perempuan saat ini tak hanya kepada kekerasan fisik, tapi mulai terjadi kekerasan berbasis gender. Artinya, banyak hak perempuan secara sadar dan tidak sadar dipasung oleh laki-laki atau pasangannya.
Kekerasan berbasis gender yang dimaksud misalnya ada larangan perempuan tak boleh keluar malam atau perempuan tak boleh melakukan pekerjaan laki-laki dan banyak lainnya. Biasanya larangan yang diberikan kepada perempuan ini karena kekhawatiran berlebihan ataupun perasaan takut dan tak ingin perempuan dalam bahaya. Apalagi tidak semua laki-laki bisa memahami perempuan berkarir.
"Jurnalis di Papua bisa membantu dalam mensosialisasikan hal ini, salah satunya lewat pemberitaan, agar masyarakat lebih paham," ucapnya.