Masyarakat Adat Papua Gelar Aksi Tolak Greenpeace

Puluhan masyarakat adat Airu Hulu melakukan aksi unjuk rasa ke DPR Papua. Namun tak ada satupun anggota dewan yang menemui massa aksi.

oleh Katharina Janur diperbarui 25 Mar 2018, 16:00 WIB
Diterbitkan 25 Mar 2018, 16:00 WIB
Papua
Warga Airu Hulu, Kabupaten Jayapura menolak Greenpeace. (Liputan6.com / Katharina Janur)

Liputan6.com, Jayapura - Masyarakat adat Airu Hulu, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua menolak Greenpeace yang dituding mengintervensi pengelolaan hutan di Bumi Cenderawasih.

Kepala Suku Wau, Mathius Wau mengaku gerakan LSM lingkungan di Papua itu bahkan tak jelas, sehingga masyarakat menolak campur tangan LSM itu.

"Ini tanah leluhur kami. Greenpeace terlalu banyak mengurusi hak masyarakat, terutama dalam pengelolaan hutan adat," jelasnya, Sabtu (24/3/2018).

Salah satu campur tangan Greenpeace adalah campur tangan untuk masuknya investor di daerahnya.

Jalan Trans Papua ruas Wamena-Habema (Foto: Dok Ditjen Bina Marga Kementerian PUPR)

"Mereka (Greenpeace) menghalangi para investor yang ingin membangun jalan, guna kemudahan kepada masyarakat setempat. Alasannya adalah pelarangan penebangan hutan, karena hutan tersebut berstatus hutan lindung. Padahal, kami juga melindungi hutan ini justru sebelum pemeritahan ada," kata Mathius.

Masyarakat setempat bahkan meminta Pemerintah Provinsi Papua dan DPR Papua, untuk memberikan masyarakat adat membangun daerah, termasuk mencari investor untuk membangun potensi yang ada. "Kami ini kesulitan transportasi, jangkauan pelayanan pemerintah juga sulit. Kami tinggal terbelakang," jelasnya.

Bahkan, untuk bisa didengar aspirasinya ke pemerintah, puluhan masyarakat adat Airu Hulu melakukan aksi unjuk rasa ke DPR Papua. Sayangnya, tak satu pun anggota DPR Papua menerima aspiraasi ini, karena tak ada anggota DPR di tempat.

Tokoh Pemuda Suku Waibara, Solaeman Waibara menuturkan keinginan masyarakat hanya satu yakni keterbukaan isolasi di daerahnya. Siapapun investor yang ingin membangun daerah tersebut, seharusnya diperbolehkan.

"Pemerintah tak pernah mendengar keluhan ini," ujarnya.

Salah satu ruas jalan di Kabupaten Yalimo. (Liputan6.com / Katharina Janur)

Ia berharap, campur tangan pemerintah untuk pemetaan hutan di Papua, juga diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat adat setempat. Termasuk pendataan yang jelas tentang hutan yang dilindungi ataupun hutan konservasi.

"Pengelolaan hutan ini juga harus disosialisasikan kepada masyarakat adat, agar dalam mengelola fungsi hutan sesuai aturan yang sudah diatur," jelasnya.

Greenpeace perwakilan Papua, Charles Tawaru menyebutkan Greenpeace dalam mengkampanyekan perlindungan hutan Indonesia, termasuk di Papua selalu bekerja sama dengan masyarakat setempat.

Perlindungan hutan juga harus bermanfaat bagi masyarakat setempat, jangan dibiarkan dirusak oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang diduga hanya mementingkan keuntungan finansial bagi diri sendiri atau kelompok.

"Kampanye kami adalah jelas dengan turut serta membangun pendekatan hutan berbasis masyarakat adat misalnya di Manggroholo-Sira, Papua Barat. Pendekatan ini meruakan bentuk nyata bahwa Greenpeace mendukung skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang menempatkan kedaulatan di tangan masyarakat. Hutan Papua yang kini sudah mulai berkurang akibat ekspansi perkebunan sawit harus dipertahankan," kata Charles melalui pesan elektroniknya.

Dampak Pembangunan

Papua
Pembangunan jalan di Tambrauw yang membelah hutan. (Liputan6.com / Katharina Janur)

Salah satu pembangunan proyek di Papua yang digenjot oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo adalah Jalan Trans Papua, yang membelah bukit, memasuki hutan, sungai dan lembah, tentu saja merusak ekosistem maupun habitat suatu komunitas organik, baik tumbuhan dan hewan.

Direktur Program Papua Yayasan World Wide Fund  (WWF) for Nature, Indonesia Benja V. Mambai menyebutkan suatu pembangunan yang terjadi pasti memiliki dampak. Contohnya ketika jalan dibuka, pasti yang pertama secara geografis (ekosistemnya) akan berubah, termasuk penebangan pohon di kanan dan kiri dari pembangunan itu.

Ruas jalan Merauke-Boven Digul yang berlumpur. (Liputan6.com / Katharina Janur)

"Yang paling penting adalah bagaimana semua pihak meminimalisir dampak dari pembukaan jalan di kawasan hutan lindung. Harus ada komitmen bersama, menekan dampak negatif dari pembukaan jalan di kawasan hutan lindung,” tutur Benja belum lama ini.

Meski dinilai berdampak negatif, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Papua mencatat efek dari pembangunan Jalan Trans Papua, akan mampu merangsang perekonomian Indonesia.

Kepala BPS Provinsi Papua, Simon Sapari mengatakan pembukaan jalan itu mampu meningkatkan perekonomian masyarakat.

“Jalan dibuka, transportasi bisa masuk. Hasil kebun warga bisa dijual ke pasar dan kemudahan lainnya didapat oleh pembangunan jalan ini," kata Simon.

Saksikan video pilihan berikut ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya