Waisak, Puasa, dan Renungan Perjalanan Sidharta

Perayaan Tri Suci Waisak 2018, diharapkan mampu menghentikan kesadaran maya menjadi kesadaran nyata sehingga bisa menghentikan konflik akibat perbedaan.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 29 Mei 2018, 20:00 WIB
Diterbitkan 29 Mei 2018, 20:00 WIB
waisak mendut
Seorang petugas kebersihan menyapu karpet di hadapan para bhiksu yang bermeditasi di Candi Mendut. (foto: Liputan6.com/danu kisworo/edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Mendut Peringatan Waisak 2018 secara nasional masih dipusatkan di Candi Borobudur. Diawali dengan meditasi umat Buddha dan para biksu sangha. Perayaan ini akan berpuncak jam 21.19.13, Selasa (29/5/2018).

Diawali dengan kirab dari Candi Mendut menuju Candi Borobudur, para bhiksu sangha dan umat membawa berbagai sarana pujabakti. Kirab selain berjalan kaki, juga menggunakan dokar.

Waisak dirayakan bukan saja untuk mengenang, namun juga belajar dan berproses dari peristiwa kelahiran Sidharta Gautama, pencapaian pencerahan Buddha Gautama, dan wafatnya Sang Buddha. Menurut Koordinator Dewan Kehormatan Perwakilan Umat Buddha Indonesia Biksu Tadisa Paramita Mahasthavira, setiap manusia seyogyanya saling menghormati.

"Harus saling merangkul dengan yang berbeda supaya hidup bersama menjadi indah," kata Bhiksu Tadisa.

Perayaan Tri Suci Waisak 2018 berthema "Transformasikan Kesadaran Delusi Menjadi Kesadaran Murni" dengan sub thema "Marilah Kita Bersama-sama Berjuang Mengalahkan Sang Ego".

Ditambahkan, kondisi Indonesia yang berbeda-beda sesungguhnya sebuah anugerah. Manusia Indonesia akan jauh lebih baik jika tak terjebak dalam perbedaan. Itu jika kebahagiaan kehidupan menjadi tujuan.

"Tujuan kebahagiaan pribadi maupun bersama hakikatnya saling menghormati. Dalam sebuah keluarga saja pasti ada perbedaan. Semoga Waisak kali ini memberi kebahagiaan semua makhluk," kata Tadisa.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Cara Sederhana Stop Derita

waisak mendut
Para bhiksu bersiap meditasi di Candi Mendut sebelum berjalan kaki menuju Candi Borobudur, ini merupakan rangkaian Perayaan Waisak Nasional 2018. (foto : Liputan6.com/danu kisworo/edhie prayitno ige)

Berbagai konflik di dunia, lebih banyak disebabkan adanya jatidiri semu. Berawal dari khayalan kolektif yang melahirkan identitas maya. Itu disebabkan karena ego manusia sudah meraja.

"Naluri keakuan menyebabkan persaingan, saling menjatuhkan, kejahatan, bahkan perang dan saling bunung," katanya.

Bagaimana mengendalikan ego atau sifat keakuan?

Ketua Widyakasaba Walubi Biksu Wongsin Labhiko Mahathera menyebutkan bahwa manusia secara simpel bisa memulai dengan perbuatan baik, pembicaraan baik, dan pemikiran baik.

"Tak hanya ajaran sang Budha, saya kira semua mengajarkan itu. Agar semua menjadi baik," kata Wongsin.

Sementara itu Ketua Umum Walubi Siti Hartati Murdaya menyebutkan bahwa Buddha Gautama menemukan jalan pembebasan diri setelah mencapai pencerahan paripurna. Pencerahan tentang makna hidup.

"Thema Waisak tahun ini linear dengan inti ajaran Sang Buddha. Pencerahan sempurna dan kemampuan mengendalikan ego. Harus diakui bahwa keakuan adalah sumber malapetaka," kata Siti Hartati Murdaya.

 


Sinergitas Waisak-Ramadan

waisak mendut
Deretan Budha dalam rangkaian perayaan Waisak 2018 di Candi Mendut dan Candi Borobudur. (foto: Liputan6.com/danu kisworo/edhie prayitno ige)

Waisak tahun ini bersamaan dengan bulan Ramadan, bulan yang diyakini sebagai bulan suci. Budayawan Emha Ainun Nadjib menyebutkan bahwa puasa sesunguhnya adalah hal-hal keseharian.

"Puasa itu keseharian. Kita punya hak untuk makan, tapi tak sepenuhnya menggunakan hak itu. Kita punya hak untuk berpakaian, tapi kalau semua pakaian dipakai bersamaan, namanya wong edan. Jadi puasa itu sangat sehari-hari," katanya.

Menarik benang merah yang disampaikan Emha Ainun Nadjib dan Siti Hartati Murdaya, Indonesia di hari-hari ini sebenarnya sangat beruntung. Bisa merayakan perbedaan dan kemampuan menahan diri lebih baik.

Dengan pengendalian diri dan tak sepenuhnya menggunakan haknya sehingga mengganggu hak orang lain,  kesenjangan kaya-miskin, kuat-lemah, kota besar-daerah terpencil, dan kesenjangan pendidikan akan mudah diatasi.

"Hilangkan cemburu, marah, dengki, dan serakah. Agama apapun akhirnya sama, kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa," kata Siti Hartati.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya