Liputan6.com, Cirebon- Mari berkisah tentang arus mudik 2018 di pantura Cirebon dengan sesuatu yang berbeda. Bukan hanya pantura Cirebon yang semakin ramai dilewati pemudik.
Lihat di Posko Mudik Laskar Agung Macan Ali, para relawan menyediakan berbagai fasilitas lengkap. Ada yang berbeda, yakni alunan musik Gamelan berlaras Pelog.
Prabu Diaz, Panglima Tertinggi Laskar Agung Macan Ali menyebutkan bahwa poskonya adalah posko swadaya. Dan mereka sangat bersyukur karena diizinkan membawa gamelan laras Pelog dari Keraton Cirebon ke Posko Arus Mudik 2018.
Advertisement
Baca Juga
"Tujuannya, memperkenalkan budaya Cirebon kepada Indonesia melalui pemudik. Kami ingin tak hanya dangdut dan organ tunggal yang mewarnai mudik tahun ini," kata Prabu Diaz kepada Liputan6.com, Senin (11/6/2018).
Ide menabuh gamelan di posko mudik tersebut sebagai bagian dari dukungan masyarakat terhadap pelestarian budaya Cirebon. Selain itu, Cirebon juga menjadi salah satu destinasi wisata. Tentu ada fasilitas lain, pijat refleksi hingga obat-obatan gratis.
Ada nuansa berbeda di posko ini, para penabuh gamelan terlihat lebih bersemangat saat bertugas menabuh gamelan. Mereka saling mengisi satu sama lain gamelan yang ditabuhnya.
"Pemudik selama arus mudik 2018 ini juga boleh ikut belajar main gamelan. Sambil istirahat ada yang ngajarin, kok," kata Diaz.
Simak Video Menarik berikut:
Mengusir Portugis
Posko ini seakan ingin menahbiskan diri sebagai posko budaya. Selain gamelan, ada juga Tari Topeng Cirebon hingga Sintren. Diharapkan posko Mudik Laskar Agung Macan Ali menjadikan perjalanan mudik yang berkesan.
"Minimal melihat walaupun tidak mendengar bahwa Indonesia punya budaya yang tinggi nilainya dan filosofinya," kata Diaz.
Berdasarkan kitab Purwaka Caruban Nagari dan naskah Wangsakerta pada abad 16 akhir, gamelan Cirebon berlaras Pelog ini digunakan sebagai sarana menyebarkan syiar Islam. Saat itu, Sunan Kalijaga yang berperan menyebarkan Islam melalui seni dan budaya.
"Penyebarannya dengan cara menggelar wayang juga tarian," kata Diaz.
Gamelan laras Pelog ini sudah ada sejak tahun 1450 - 1510. Selama itu, gamelan sebagai sarana syiar dan penyemangat pasukan Cirebon. Jam terbang gamelan laras pelog ini sangat tinggi, apalagi pernah dibawa pasukan perang Keraton Cirebon untuk mengusir tentara Portugis di Sunda Kelapa. Saat itu, tahun 1527, Sunan Gunung Jati menyerahkan Duaja atau simbol Macan Ali Kesultanan Cirebon kepada Fatahilah.
"Duaja Macan Ali diserahkan kepada Fatahilah untuk mengusir Portugis di Sunda Kelapa," kata Diaz.
Ditengah suasana perang, pasukan Fatahilah diberi musik penyemangat. Alunan Gamelan laras Pelog itu membuat pasukan menjadi semakin guyub dan berani melawan Tentara Portugis.
Portugis terusir, Gamelan Pelog kembali ke Kasultanan Cirebon. Saat ini Gamelan Cirebon menjadi salah satu warisan budaya Cirebon yang terus dilestarikan.
"Kami angkat lagi untuk mengingatkan bahwa budaya kita bernilai tinggi," kata Prabu Diaz.
Advertisement