Solo - Namanya Ayu Nur Wahyuni. Usianya 37 tahun. Ia dahulu warga RT 001/RW 001 Kelurahan Kadipiro, Banjarsari kota Surakarta. Tahun 2016 ia memutuskan ikut program transmigrasi.
Dengan tekad, keyakinan, dan kepercayaan penuh kepada pemerintah selaku penyelenggara, semua ia lepas dan berangkatlah ia bertransmigrasi. Di Jawa, ia tak lagi punya rumah dan modal uang.
Ayu menceritakan ini ketika audiensi dengan Komisi IV DPRD Solo, Kamis 12 Juli 2018. Pantauan Solopos.com, ketika menceritakan kisahnya itu, Ayu tak mampu menahan air matanya. Dengan suaranya sedikit serak, ia melanjutkan ceritanya selama hidup di daerah transmigrasi tiga tahun terakhir berada di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan (Sulsel).
Advertisement
"Pernah mendapat jatah hidup dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Takalar. Mi instan yang hampir kedaluarsa. Menggumpal dan benyek ketika dimasak," kata Ayu.
Mencoba tegar dan menghilangkan kesan cengeng, Ayu mulai berkisah soal kepemilikan lahan yang dijanjikan oleh pemerintah. Ayu menyebut janji pemerintah untuk memberikan tanah pekarangan seluas 0,25 hektare (ha), tanah pertanian 0,5 ha, dan lahan budi daya rumput laut 0,5 ha di Takalar tak pernah terwujud hingga sekarang.
Advertisement
Baca Juga
"Hanya menerima tanah pekarangan 0,25 hektare yang status tanahnya masih menjadi milik Pemkab Takalar," kata Ayu.
Ayu sedih karena merasa dibohongi oleh pemerintah. Harapannya bisa hidup lebih baik setelah transmigrasi ke Takalar tak bisa diraih.
Tak kuasa menahan sedih, ia menangis tersedu-sedu. Bahkan, rela merendahkan diri dengan memohon kepada Ketua Komisi IV DPRD Solo Paulus Haryoto dan Kepala Dinas tenaga Kerja dan Perindustrian (Disnakerperin) Solo Agus Sutrisno untuk dibantu.
Keinginannya sederhana, ingin hak-haknya sebagai peserta program transmigrasi benar-benar diberikan. Jika tidak, dia khawatir kehidupannya akan terus nelangsa.
"Kami diberangkatkan oleh Kota Solo. Tapi setelah tiga bulan berjalan kami baru mulai menemukan kecurangan pelaksanaan transmigrasi di sana [Takalar]. Lahan yang dijanjikan tidak pernah terealisiasi. Kami hidup merana," kata Ayu saat bicara di forum audiensi dengan anggota Komisi IV DPRD Solo dan pejabat Disnakerperin Solo di ruang Komisi IV DPRD Solo.
Simak berita menarik lainnya dari Solopos.com di tautan ini.
Â
Dijebak Aturan Tak Boleh Meninggalkan Lokasi
Ayu pulang ke Solo memang sekadar untuk mengadu dan meminta bantuan dari Disnakerperin Solo dan DPRD Solo. Karena tak ada lagi rumah, Ayu menumpang tinggal sementara di rumah kenalan.
Menurut Ayu, sebenarnya para peserta transmigrasi pernah mengadu mengenai masalah itu kepada pejabat dinas terkait dan bahkan Bupati Takalar. Namun, tak pernah ada tindak lanjutnya.
"Peserta program transmigrasi pada dasarnya kini butuh Surat Keputusan (SK) Penempatan dari Pemkab Takalar," kata Ayu.
SK itu diperlukan untuk mengakses berbagai macam hak sebagai transmigran. Namun, kata dia, Pemkab Takalar tak pernah mau mengeluarkan SK Penempatan tersebut dengan beragam alasan yang tak jelas.
"Sebenarnya ada 5 keluarga yang diberangkatkan ke Takalar dari Solo. Sekarang yang bertahan di Tanakeke tinggal 2 keluarga. Yang 3 keluarga sudah pindah ke darat [daerah perkotaan] karena tuntutan ekonomi," kata Ayu.
Berdasarkan peraturan, jika telah meninggalkan lokasi lebih dari 2 bulan, peserta program transmigrasi akan kehilangan hak atas lahan. Namun, kondisi di lokasi memang sungguh sulit.
"Itu yang membuat kami bingung. Jika tidak pindah, kehidupan kami akan seperti ini terus," kata Ayu.
Suami Ayu, Wartono (43) bercerita selama hidup di Pulau Tanakeke, peserta program transmigrasi asal Solo bertahan hidup dengan cara bercocok tanam. Hasil kebun, hanya bisa untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
"Kami bahkan kerap menerima bantuan oleh warga lokal karena hidup nelangsa," kata Wartono.
Peserta program transmigrasi beberapa kali menerima bantuan beras dan ikan asin dari warga lokasi setelah tidak lagi mendapat jatah hidup (jadup) dari pemerintah.
"Kemarin kami pulang ke Solo ini dengan cara melarikan diri. Kami meminta izin kepada Kepala UPT di sana pergi meninggalkan rumah untuk mengurus pendidikan anak. Padahal, kami pulang ke Solo untuk mengadu kepada Pemkot. Kami pulang dibantu uang dari saudara," kata Tono.
"Kami berharap masalah ini bisa diselesaikan atau jika perlu didengar oleh Presiden. Kami yakin progam transmigrasi di Sulawesi semuanya bermasalah," Tono menandaskan.
Simak video menarik pilihan berikut di bawah :
Â
Advertisement
Akar Permasalahan
Sementara itu, Kepala Disnakerperin Solo, Agus Sutrisno, menyatakan pokok masalah yang terjadi dalam pelaksanaan program transmigrasi di Takalar ini terletak pada Pemkab Takalar yang tidak mengakui keberadaan transmigran di sana. Dia tidak mengetahui secara pasti mengapa hal itu bisa terjadi.
"Masalah muncul setelah terjadi pergantian jabatan Bupati hingga Kepala, Kabid, dan Kasi di Dinas Transmigrasi di Takalar," kata Agus.
Sikap Pemkab Takalar itu mengakibatkan peserta program transmigrasi menjadi tak memiliki SK Penempatan. Harusnya ada SK Penempatan dari Bupati.
"Tapi setelah kami minta, SK ini tak juga diterbitkan sehingga bantuan dari pusat, provinsi baik itu berupa jadub, pelatihan, maupun hal lain tak bisa diberikan. Kami pernah mengadukan masalah ini kepada pak Dirjen (Pengembangan Kawasan Transmigrasi). Tapi Pemkab Takalar yang kemudian tak memberikan respons," kata Agus.
Ketua Komisi IV DPRD Solo, Paulus Haryoto, berkomitmen akan membantu para peserta transmigrasi asal Kota Solo tersebut. Dia mengaku siap berkomunikasi dengan Dirjen Pengembangan Kawasan Transmigrasi.
Jika memungkinkan, Komisi IV bisa juga menjalin komunikasi langsung dengan Pemkab Takalar. Paulus ingin hak para transmigran tersebut bisa dipenuhi. Dia sempat menyampaikan pandangan, jika upaya itu mentok, peserta transmigrasi disarankan kembali menjadi warga Solo.
"Komisi IV siap membantu mengupayakan penyediaan tempat tinggal bagi mereka," kata Paulus.