Liputan6.com, Buleleng - Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Buleleng, Bali, segera berkoordinasi dengan Dinas Pertanian untuk menggenjot produksi telur di sentra pemeliharaan ayam guna menormalkan harga telur yang melonjak.
"Daerah penghasil telur ayam dan ayam pedaging di Buleleng ada di Desa Busungbiu dan Desa Gerokgak. Ini kami koordinasikan untuk ditingkatkan agar pasokan telur kembali normal," kata Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Dagprin) Buleleng Ketut Suparto di Singaraja, Bali, Minggu (22/7/2018), dilansir Antara.
Bupati juga sudah meminta Dinas Pertanian untuk melakukan survei dan evaluasi ke kabupaten kota se-Bali untuk melihat daerah yang bisa memproduksi telur dalam jumlah yang banyak. Dengan demikian, harga telur bisa dikendalikan.
Advertisement
Baca Juga
"Di mana ada produksi yang lebih bagus, kami bisa datangkan telur dan daging ayam dari sana," katanya.
Sejak seminggu ini, katanya, terjadi kenaikan harga telur di sejumlah pasar di Buleleng. Saat normal, harga telur berada di kisaran Rp 22 ribu per kilogram, namun minggu terakhir naik menjadi Rp 26 ribu per kilogram.
"Kamis, harga telur sempat mengalami penurunan menjadi Rp 24 ribu per kilogram," katanya.
Kenaikan juga terjadi pada penjualan telur dengan sistem krat yang isian 30 butir. Sejak minggu terakhir, satu krat telur harganya Rp 42 ribu tiap krat, padahal sebelumnya hanya Rp 36 ribu per krat.
"Artinya, per butir telur harganya sekitar Rp 1.400 rupiah. Sebelumnya per butir Rp1.250," ujar Kadis Suparto.
Suparto menyebutkan, naiknya harga telur dipicu oleh kenaikan pakan, selain itu juga dipicu oleh musim dingin pada sasih karo.
"Pada musim dingin, produksi telur ayam biasanya menurun, sehingga pasokan telur dari daerah lain berkurang," ujarnya.
Simak video menarik pilihan berikut di bawah :
Â
Pemicu Lonjakan Harga Telur
Sementara itu, Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) Yeka Hendra Fatika menduga kelangkaan pakan ayam ternak menyebabkan kenaikan harga telur dan daging ayam ras."Meroketnya harga telur sebulan terakhir disebabkan minimnya pasokan akibat berkurangnya populasi ayam petelur," katanya.
Menurut Yeka, berkurangnya jumlah pelaku usaha akibat banyaknya pelaku usaha skala kecil yang bangkrut ketika harga jatuh dua tahun lalu sehingga populasi ayam petelur berkurang. Dia memperkirakan sebanyak 30 persen peternak ayam kecil "gulung tikar" akibat harga telur yang terlalu rendah.
Faktor lain yang lebih berpengaruh yakni penyebaran penyakit yang ditemui pada beberapa sentra penghasil telur akibatnya tingkat kematian mencapai 40 persen bahkan 100 persen. "Selain itu, juga ditemui penurunan produktivitas ayam petelur akibat serangan penyakit," ujar Yeka.
Yeka menganalisa fenomena penurunan produktivitas tersebut lantaran adanya larangan pengunaan antibiotic growth promoter (AGP). Penyakit hewan ternak menyebabkan produktivitas lebih masif yang berdampak terhadap biaya produksi mahal. Akibatnya, harga telur juga menjadi mahal.
"Tanpa adanya upaya dari pemerintah membenahi masalah ini, biaya produksi akan tetap mahal dan berimbas pada harga telur," ujar Yeka.
Peneliti Indef, Ahmad Heri Firdaus menekankan kinerja pemerintah melalui Kementerian Pertanian dan pemangku kebijakan lain agar fokus mengatasi persoalan kenaikan harga telur. Dia menyatakan persoalan pakan ternak lantaran suplai jagung khusus pakan ternak domestik berkurang, sedangkan pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 57 Tahun 2015 tentang pembatasan impor jagung.
"Masalah pakan ini cukup krusial karena berdampak terhadap outputnya dalam hal ini adalah telur dan daging ayam," kata Heri.
Saat ini, rata-rata harga ayam ras secara nasional berada pada angka Rp 39.100 per kilogram, sedangkan harga telur ayam ras sudah mencapai Rp 27.200 per kilogram.
Advertisement