Menjadi Saksi Sungai Mandar Mantu

Pernikahan bukan sekadar pelembagaan cinta dua manusia, namun juga upaya meraih restu dan berkah semesta.

oleh Ahmad Yusran diperbarui 20 Jan 2019, 15:00 WIB
Diterbitkan 20 Jan 2019, 15:00 WIB
mandar
Pelaminan Dardi-Ocha dominan dari bambu dan berada di hutan bambu desa Alu, Kecamatan Alu, Kabupaten Mandar. (foto: Liputan6.com / ahmad yusran)

Liputan6.com, Polewali Mandar - Namanya Nardi. Ia biasa disapa Dardi. Hanya pemuda biasa yang baru saja menikah, Kamis, 17 Januari 2019. Yang membedakan adalah, Dardi melibatkan seluruh semesta di sekitar sungai Mandar dalam resepsi pernikahannya.

Nah, bagaimana mungkin itu terjadi dalam masa modern?

Begini kisahnya. Berawal dari kisah cinta Dardi kepada Hasrawati atau Ocha, gadis cantik dari desa Sepabatu, Kecamatan Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar. Ketika niatnya membulat untuk menyunting, ada ide untuk merevitalisasi gaya pernikahan warga Sungai Mandar.

Hasrawati atau Ocha sangat gembira mendengar rencana ini. Kesibukan dimulai. Mulai dari memilih lokasi resepsi pernikahan hingga memilih alat transportasi.

"Kami akhirnya bersepakat memilih hutan bambu Alu sebagai tempat resepsi pernikahan," kata Dardi kepada Liputan6.com.

Sebelas rakit bambu disiapkan untuk membawa rombongan pengantin pria dan juga barang-barang hantaran. Hantaran ini masih sangat banyak sesuai dengan tradisi yang hidup di desa Alu, Kecamatan Alu Kabupaten Polewali Mandar. Inilah yang disebut tradisi Maccanring.

"Hantaran bukan sebagai ekspresi sikap materialis, namun sebagai bentuk penghormatan mempelai pria kepada pasangannya. Karena meskipun tak meminta, mempelai pria harusnya menghormati, salah satunya dengan hantaran itu," kata Dardi.

Selengkapnya tentang prosesi Maccanring, bisa dibaca di tautan ini.

 

Bukan Sensasi

mandar
Keseruan diatas rakit bambu, tak ada ketakutan apapun karena alam adalah sahabat, adalah saudara. (foto: Liputan6.com / ahmad Yusran)

Hutan bambu yang mencapai 20 hektar itu tentu sangat luas dan mewah untuk sebuah pernikahan. Keamanan menjadi pertimbangan lain. Namun Dardi dan Ocha bersikukuh, apalagi sepanjang Sungai Mandar maupun di Desa Alu sudah menasbihkan diri sebagai kampung pendekar silat.

Pesta berlangsung khidmad. Doa dan restu bukan hanya dari kerabat dan teman saja. Namun sepertinya semesta memberi restu dengan cuaca yang mendukung dan tamu yang melimpah. Tak hanya undangan, namun banyak yang meski tanpa undangan dan hanya mendengar, ikut pula datang.

Ajaib. Hidangan yang disiapkan seakan tak pernah berkurang meskipun tamu membeludak. Inilah restu bumi, restu alam.

M Rahmat Muchtar, Direktur Uwake Culture Culture Foundation menyebut bahwa konsep pernikahan tersebut bukan hanya mencari sensasi. Namun benar-benar melibatkan semesta secara aktif.

Kecantikan alami gadis-gadis tepian Sungai Mandar, menyatu dengan hutan Bambu Alu. (foto: Liputan6.com / ahmad Yusran)

"Cuaca dan arus sungai sangat mendukung. Ini bentuk restu semesta. Menempatkan nilai kearifan lokal yang menempatkan sungai dan hutan bambu di tempat yang mulia," kata M Rahmat Muchtar, Direktur Uwake Culture Foundation Polman.

Dari pernikahan Dardi-Ocha ini, semesta disebut memberikan sinyal dan kode kepada siapapun yang jatuh cinta dan hendak menikah. Untuk mencari pasangan hidup, tidak perlu ganteng atau cantik.

"Saling mengisi, saling menjaga kesehatan, keluarga, dan semesta. Itu akan mendatangkan berkah yang tampak sangat ganteng dan cantik melebihi apapun," kata Rahmat.

Dardi dan Ocha sendiri juga memiliki gaya hidup yang alamiah. Sangat natural. Kisah kasih mereka mengalir seturut kehendak alam. Mengalir seperti aliran sungai Mandar yang menghidupi dan hidup.

"Ini kode alam agar siapapun yang sedang jatuh cinta, sebaiknya juga jatuh cinta kepada alam dan kosmos yang melingkupi. Insya Allah cinta mereka akan berkah dan mendatangkan banyak manfaat," kata Rahmat.

 

Simak video pilihan berikut terkait dengan berita ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya