Kisah Tengku di Aceh yang Kebal Berkat Jimat Rantai Babi

Jika di Betawi ada Pitung, maka di tanah Nangroe ada Tengku Di Cot Plieng. Bagaimana kisahnya?

oleh Rino Abonita diperbarui 10 Feb 2019, 03:00 WIB
Diterbitkan 10 Feb 2019, 03:00 WIB
Jimat Rantai Babi
Foto: Wikipedia

Liputan6.com, Aceh - Para serdadu itu tenggelam dalam pikiran masing-masing, tak terkecuali seorang marsose muda yang tengah menelungkup di balik patahan pohon tua besar yang sudah lapuk. Pikiran prajurit yang direkrut dari sebuah pulau wilayah Hinda Belanda itu, sedang kalut.

Berkali-kali dia mencium ujung bayonet sembari merapal doa pemberian kakeknya. Bibir mengering, dada berdegup kencang, keringat dingin mengucur, terlihat jelas di diri anak muda itu.

Saat Letnan Terworgt menepuk pundaknya, dia terperanjat, seperti orang yang tiba-tiba terbangun karena dikejutkan seseorang ketika sedang tertidur pulas. Terworgt memelotinya.

Pelototan Terworgt membuatnya sigap. Ia lebih takut melihat letnan Belanda itu marah ketimbang ancaman El Maut yang mungkin sedang merambat lambat, atau mengendap-endap di antara pepohonan yang ada di depan mereka.

Sementara itu, marsose lain tampak menyebar, dan mengatur jarak persembunyian sekitar 20 meter dari posisi rekannya. Sebagian bersandar di balik pepohonan, sebagian lagi menyuruk atau menelungkup di antara rerimbun daun.

Hampir satu jam mereka mematung bersama nyamuk hutan yang membuat kulit terasa menggoda untuk diiris bayonet, saking gatalnya. Semua itu demi ego Letnan Terwork yang tak ingin pengepungan hari itu gagal untuk kesekian kalinya.

Tiba-tiba Letnan Terworgt mendelik, pendengarannya dipertajam, telunjuknya ia lekatkan ke bibir sebagai aba-aba agar seluruh pasukan diam. Suasana hutan menjadi hening seketika.

Telinga Terworgt menangkap bunyi kersik, seperti langkah seseorang menginjak dedaunan. Sepertinya, seseorang sedang sedang menuju ke arah mereka, namun tiba-tiba langkah orang itu terhenti.

"Arrgh!," tiba-tiba terdengar suara orang mengerang kesakitan.

Seorang marsose yang selonjoran di balik pohon yang letaknya dekat dengan suara langkah orang tadi, tewas. Lehernya ditembus rencong dalam kondisi selonjoran, dan tanpa perlawanan.

Terworgt terperanjat. Dia salah perhitungan dan tak menduga para pejuang Aceh mengetahui kalau mereka sedang bersembunyi di tempat itu.

"Verdomme!" rutuk Terworgt sembari memberi aba-aba menyerang.

Suasana hutan kini riuh. Suara takbir menggema, beriringan desing peluru, juga mata rencong yang mengayun kesana kemari, dan tentu saja, warna dedaunan yang memerah teciprat oleh darah.

Di atas, menggambarkan bagaimana pasukan Letnan Terworgt beradu dengan pejuang Aceh di sebuah belantara pedalaman Pidie. Hanya saja, Terworgt tidak menemukan Tengku Di Cot Plieng --yang sedang diincarnnya-- di antara barisan pejuang Aceh itu.

 

Rantai Babi Sang Tengku

Belakangan, Terworgt berhasil menuntaskan hasratnya. Tengku Di Cot Plieng syahid di tangan pasukan yang dipimpinnya pada 2 Juli 1905, di Hulu Sungai Tiro, Pidie.

Tengku Di Cot Plieng terkenal licin. Belanda bahkan menaruh decak kagum terhadap ulama juga pejuang Aceh penerus estafet perjuangan Syekh Saman Di Tiro itu, kendati akhirnya, dia syahid di tangan mereka.

Operasi memburu Tengku Di Cot Plieng sudah lama dilakukan. Pada 1904, pasukan Belanda dipimpin Kapten Stoop menemukan jejaknya di antara dua aliran sungai Gunung Keulabeu, namun, Sang Tengku lolos dari 'lubang maut'.

Hari itu menjadi awal kekalahan Tengku Di Cot Plieng. Belanda menemukan azimat beserta sebuah mushaf alquran miliknya, yang biasanya selalu dibawa kemana pun dia pergi.

Benda keramat yang dimiliki Tengku Di Cot Plieng rupanya menjadi alasan mengapa prajurit Belanda kecut saat menghadapinya. Sudah jadi rahasia umum, ulama dan pejuang Aceh acap ditemukan menyimpan benda keramat yang membuat mereka memiliki kekuatan, seperti, tidak terlihat saat berhadapan dengan musuh.

Tengku Di Cot Plieng disebut-sebut punya benda keramat lain, selain yang ditemukan Belanda. Benda keramat itu adalah 'rante bui' atau rantai babi yang dipercaya membuat tubuh Tengku Di Cot Plieng kebal peluru atau senjata tajam.

Konon, setelah Sang Tengku tertembak, Belanda mengusung jenazahnya ke salah satu bivak mereka. Setelah berhari-hari dibiarkan di bivak untuk proses identifikasi, tubuh Tengku Di Cot Plieng tak membusuk.

Untuk memastikan apakah jenazah itu Tengku Di Cot Plieng atau bukan, Belanda memanggil Panglima Polem. Di hadapan Sang Mayat, Panglima Polem menabik, lalu bersujud, sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada pemilik jenazah.

Panglima Polem melepas azimat 'rante bui' yang ada di tubuh Tengku Di Cot Plieng. Dia lalu menyerahkan azimat itu kepada G.C.E van Daalen, namun, gubernur militer itu menolak, karena tak percaya dengan hal mistis.

Kisah mengenai Tengku Di Cot Plieng dan azimat 'rante bui' miliknya ditulis H.C. Zentgraff dalam bukunya berjudul 'Aceh'. Konon, perjalanan azimat Tengku Di Cot Plieng berakhir di sebuah museum yang ada di Belanda.

“Ketika kami berjumpa, Panglima Polem bilang, hal itu merupakan rahasia Tuhan,” tulis mantan redaktur Java Bode itu, perihal keanehan tubuh Tengku Di Cot Plieng yang tidak membusuk.

Di kemudian hari, foto azimat 'rante bui' milik Tengku Di Cot Plieng diabadikan dalam buku 'Perang di Jalan Allah' karya Alfian Ibrahim, sejarawan, juga eks Dekan Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada. Buku setebal 282 halaman gubahan Sang Profesor terbit pada 1987.

 

Riwayat Rantai Babi di Aceh

"Kalau mau kebal, pakek 'rante bui'. Cacing ini, didapat babi saat makan. Rantai babi disebut banyak orang, hanya ada sama babi paling kurus," ujar seorang pria paruh baya bernama Monti, saat berbincang dengan Liputan6.com, di sebuah warung kopi di Meulaboh, Jumat sore (8/2/2019).

Keramat 'rante bui' dan cerita mengenainya bukanlah hal baru di Aceh. Masyarakat Bumi Serambi Makkah itu tidak jauh berbeda dengan masyarakat Indonesia pada umumnya, yang memiliki kepercayaan terhadap hal mistis.

Sejatinya, 'rante bui' adalah cacing tanah 'menjadi'. Kata 'menjadi' merujuk hewan atau benda tertentu yang berubah menjadi batu serta dipercaya memiliki tuah atau keramat.

Cacing tanah atau dalam Bahasa Aceh 'glang tanoh' awalnya tersangkut atau secara tidak sengaja terkait saing babi saat hewan itu sedang mengorek-ngorek tanah untuk mencari makan.

Untuk mendapatkan cacing tersebut, harus menunggu saat pemiliknya lengah. Tidak mudah mendapatkannya, karena babi yang memiliki cacing 'menjadi' itu, tidak menaruh sembarangan cacing yang dimilikinya.

Babi yang memiliki cacing keramat adalah yang paling kurus di antara kawanannya. Dia hanya melepasnya saat tidak ada yang melihat, atau ketika sedang makan sendirian.

Tingkat kesulitan untuk mendapatkan cacing bertuah ini membuatnya dihargai sangat mahal oleh para pemburunya. Kekuatan yang terkandung pada 'rante bui' menjanjikan kekebalan bagi yang memakainya.

Menurut tuturan, tidak sedikit yang mengamalkan azimat 'rante bui' sebagai penangkal bahaya. Namun, berhubung stigma haram yang melekat pada azimat tersebut, membuat para penggunanya merahasiakan kepemilikan 'rante bui'.

"Sebenarnya, kata orang tua, rantai babi bisa disucikan, dengan disamak terlebih dulu, karena dia bukan berasal dari babi. Jadi, unsur haramnya hilang saat disamak. Itu dasar logis mengapa ada ulama dan pejuang Aceh yang notabene muslim memakainya. Yang sudah disamak sih bentuknya seperti sarangan pelor sepeda motor, kalau yang belum disamak, masih berbulu, itu kayaknya bulu babi," kata Monti.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya