Liputan6.com, Jakarta - Ternate dan Tidore, dua pulau kecil yang berdampingan di Laut Maluku, tidak hanya menjanjikan keindahan alam, tapi juga kekayaan sejarah dan tradisi budaya.
Banyak kisah lampau yang sangat memikat. Salah satunya terkait keberadaan jalur rempah. Perlu diketahui, jauh sebelum bangsa Eropa melakukan akivitas perdagangan di Asia Tenggara, Nusantara telah jadi pemain penting di dunia lewat rempah-rempahnya.
Pada abad ke-15, bangsa Portugis menemukan rute ke Maluku. Ternate dan Tidore menarik perhatian mereka karena keberadaan cengkeh. Cengkeh juga yang kemudian mengundang minat bangsa Eropa lainnya, seperti Spanyol dan Belanda, untuk datang dan saling bersaing untuk menguasai wilayah di jalur rempah.
Advertisement
Salah satu gubernur jenderal Belanda pernah membakar lahan perkebunan cengkeh di sana secara besar-besaran pada akhir abad ke-16. Itu dilakukan karena cengkeh sedang diperebutkan oleh Spanyol dan Portugis. Peristiwa tersebut akhirnya menyulut perlawanan dari Kesultanan Ternate dan Tidore terhadap Belanda.
Baca Juga
Jejak sejarah tersebut tentu amat sayang jika harus tenggelam oleh zaman. Ini yang mendasari Yayasan Negeri Rempah untuk membuka wawasan masyarakat melalui perjalanan wisata yang menyenangkan sekaligus mencerahkan.
Rabu (17/7/2019), Yayasan Negeri Rempah menelusuri lokasi-lokasi bersejarah di mana Jalur Rempah bermula. Dimulai dari pohon Cengkeh Afo, yang diyakini sebagai cengkeh tertua di dunia. Usianya diperkirakan mencapai ratusan tahun. Di sekitar Cengkeh Afo, tersebar tanaman pala, yang juga komoditas andalan dari Ternate dan Tidore.
Sejarah mencatat, cengkeh merupakan alasan mengapa begitu banyak bangunan benteng di sekitar Ternate dan Tidore. Benteng-benteng tersebut dibangun oleh Spanyol dan Portugis tidak lain adalah untuk melindugi cengkeh, yang kala itu dianggap sebagai harta karun. Benteng yang tersebar di wilayah Ternate dan Tidore di antaranya Benteng Tolukko, Benteng Kastela, Benteng Tore, dan Benteng Tahula.
Sambil menengok sejarah, peserta juga dimanjakan oleh ragam kuliner lokal Ternate dan Tidore. Setelah menyantap nasi kuning di pagi hari, papeda jadi pilihan yang paling tepat untuk santap siang. Papeda, yang merupakan makanan khas masyarakat Indonesia Timur, bisa dinikmati dengan gohu ikan, sajian ikan tuna mentah dengan saus yang khas.
Petualangan sehari penuh diakhiri di kedai Ikan Bakar Terminal. Di sana pengunjung bisa memilih ikan-ikan segar untuk disantap. Tak hanya memanjakan perut, atraksi sang penjual saat memotong ikan juga membawa kesan tersendiri.
Jalur Rempah
Ketua Dewan Pembina Yayasan Negeri Rempah, Hassan Wirajuda, mengatakan, kegitan ini merupakan bagian dari kegiatan Yayasan Negeri Rempah dalam upaya menggali khasanah budaya dan sejarah bangsa masa lalu kita.
Indonesia merupakan pusat penghasil rempah yang telah diakui dunia. Perdagangan rempah kemudian turut mempengaruhi pertukaran budaya dari berbagai bangsa.
"Perdagangan itu menghadiakan kontak antar orang dan bangsa yang berbeda. Dari sana ada pertukaran budaya, filsafat, dan teknologi," sebutnya.
Hassan berharap upaya memperkenalkan sejarah terus ditingkatkan. Dalam hal ini peran pemerintah tentunya juga sangat dinantikan.
"Kesadaran akan masa lalu kita sangat penting. Seperti Bung Karno pernah bilang, 'hanya bangsa besar yang bisa menghargai sejarahnya'. Kami mengingatkan para pengambil kebijakan, baik di pusat dan daerah, akan pentingnya pembelajaran untuk generasi muda tentang sejarah," tandasnya.
Perjalanan ini juga dilakukan dengan bekerjasama bersama Spice Route Connexion Indonesia (SRCI). Ini merupakan sebuah rangkaian program yang dirancang untuk memperkuat visi kemaritiman Indonesia. Program ini merupakan inisiatif bersama antara Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman didukung Yayasan Negeri Rempah.
Bertajuk Jejaring Kemaritiman “Jalur Rempah” Menuju Warisan Dunia, SRCI menjadi sarana untuk memperkenalkan kembali peranan penting Indonesia dalam perkembangan peradaban dunia melalui Jalur Rempah, baik melalui praktik perdagangan maupun penyebaran pengetahuan dan kebudayaan, dalam skala global.
Warisan budaya maritim dalam jejak perniagaan global ini menjadi semakin penting untuk diangkat, dikaji dan dimaknai kembali.
"Apalagi ketika dewasa ini banyak bergulir pertarungan konsep seperti Jalur Sutera Maritim yang diusung Tiongkok, maupun ragam konsep tentang wawasan Indo-Pasifik yang kesemuanya menuntut Indonesia untuk mengambil peranan yang penting,” jelas Hassan Wirajuda, Menteri Luar Negeri RI periode 2001 -2009 yang saat ini juga duduk sebagai ketua dewan pembina Yayasan Negeri Rempah.
“Dalam konteks yang lebih strategis, program Spice Route Connexion ini mempersiapkan pengajuan Jalur Rempah sebagai Warisan Dunia (World Heritage) ke UNESCO,” ujar Tukul Rameyo Adi, Staf Ahli Menteri Sosio-Antropologi dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman.
Advertisement