Kegigihan Perempuan Papua dalam Goresan Canting Batik Sentani

Motif Yoniki, motif batik khas Sentani, memiliki tujuh turunan dan motif ini sudah dipatenkan oleh Putri Dobonsolo.

oleh Katharina Janur diperbarui 02 Agu 2019, 03:45 WIB
Diterbitkan 02 Agu 2019, 03:45 WIB
Batik Papua
Anak muda Papua belajar membatik. (Liputan6.com/Katharina Janur)

Liputan6.com, Jayapura - Maria Pulanda Ibo (80) identik dengan batik Papua. Mama Ibo, begitu kerap ia disapa. Walau usianya telah senja, Mama Ibo tetap setia membatik sejak melakoni seni membatik pada 1978.

Ratusan motif telah tercipta dari idenya. Karena Mama Ibo dari Sentani, maka kebanyakan motif yang dibuatnya khas dari Suku Sentani. Sebut saja motif Yoniki. Motif khas Sentani ini hanya digunakan oleh para ondofolo atau kepala suku besar dan ondoafi atau kepala suku. Motif Yoniki memiliki tujuh turunan dan sudah dipatenkan menjadi milik Putri Dobonsolo, sanggar yang didirikan Mama Ibo.

Lalu ada juga motif Hiyake, yang saat ini menjadi tren di kalangan pecinta batik Papua. Hiyake bergambar burung Cenderawasih berwarna kuning yang menonjolkan ekornya yang indah. Mama Ibo juga menciptakan motif Hakalu Batu, yakni sebuah batu yang biasanya ditaruh pada sebuah belanga atau wadah yang terbuat dari tanah liat.

Batu atau halaku ini akan menutup wadah tersebut yang biasanya berisi ikan dan membuat ikan menjadi lembek dan lembut, hingga durinya pun bisa ikut dimakan. Istilah modernnya, hakalu ibarat panci presto yang dapat melunakkan makanan hingga ke tulang dan duri-durinya.

Pembatik di Papua saat ini bisa dihitung dengan jari. Mama Ibo salah satu pembatik Papua pertama yang menggeluti seni ini. Berawal pada tahun 1990-an, Mama Ibo dikirim ke Pulau Jawa bersama puluhan mama asli Papua lainnya. Mama Ibo dan perempuan lainnya menjadi generasi pertama orang asli Papua yang mendapatkan pelatihan membatik, yang dilakukan oleh Irian Jaya Development Foundation (IJDF) ke Pulau Jawa pada 1995. IJDF merupakan perusahaan bentukan Belanda.

"Saat ini hanya saya saja yang tersisa dan masih setia membatik," ucap Mama Ibo yang mempekerjakan sekitar 20 perempuan asli Sentani di sanggarnya, Putri Dobonsolo yang terletak di Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura.

 

Tergerus Batik Pabrikan

Batik Papua
Galeri Mama Ibo yang dibantu oleh Bank Indonesia di Papua. (Liputan6.com/Katharina Janur)

Walaupun dijuluki pembatik perempuan Papua pertama, usaha Mama Ibo tak semulus julukannya. Tak jarang dalam satu bulan, tidak ada pesanan sama sekali. Tahun 2000-an usaha Mama Ibo sempat tak terdengar lagi. Sebab, banyak kain batik bermotif Papua yang dicetak di Pulau Jawa membanjiri Kota Jayapura atau daerah lain di Papua.

Hingga kini, penjual batik pabrik dengan motif Papua banyak tersebar di Sentani ataupun wilayah Papua pada umumnya. Namun, Mama Ibo yakin siapa pun yang memahami filosofi motif batik Papua, pasti si pembeli tau di mana tempat dijualnya batik-batik itu.

"Pembatik Papua biasanya hanya menggambar motif per kain per satu motif. Jadi tak akan ada yang sama dan batik Papua dengan motif asli tak ada yang dijual di toko-toko sembarangan," kata Mama Ibo.

Mama Ibo menyebutkan hingga kini masih tergantung bahan baku dari Pulau Jawa, termasuk kain, tinta, dan peralatan mencanting batik. Sehingga, produksi pemesanan saat ini masih tergantung pada pemesanan dari kalangan gereja.

Biasanya, Mama Ibo membuat pesanannya pada Sanggar Putri Dobonsolo yang dibentuk pada 1996. Sebagai seorang pendiri Sanggar Putri Dobonsolo, Mama Ibo tetap berkomitmen mengembangkan dan memperkenalkan batik motif Papua ke masyarakat luas. Di rumahnya, sekaligus sanggar tempat mengembangkan usaha inilah, dia juga menggelar pelatihan dan pembinaan bagi generasi muda Papua dalam mengembangkan batik motif Papua.

 

Larangan Membatik

Batik Papua
Seorang Mama asli Papua sedang latihan batik tulis di sanggar Putri Dobonsolo milik Mama Ibo. (Liputan6.com/Katharina Janur)

Mama Ibo yakin, seni membatik yang digelutinya bisa membawa perekonomian di Papua lebih baik. Hanya saja, seni membatik harus ditekuni dengan baik dan dari ketulusan hati. Sebab, dia mengakui bahwa seni membatik, bukan budaya orang Papua. Di Papua yang ada hanyalah budaya mengukir dan melukis. 

"Saya ingin, membatik ini menjadi keterampilan baru di Papua," ujar dia.

Buktinya, Sanggar Putri Dobonsolo menjadi pusat pelatihan membatik dari kalangan ibu-ibu berbagai kabupaten di Papua. Lalu, ada juga sejumlah sekolah menengah kejuruan yang mengirimkan siswanya untuk belajar membatik di sanggar ini.

"Saya senang karena orang-orang Papua mulai melirik batik. Susah-susah gampang memang untuk menggeluti bidang ini," tutur dia.

Tapi, menurut Mama Ibo, sampai sekarang sebagian besar perempuan Papua masih dilarang sang suami jika  membatik.

"Entah dikatakan oleh sang suami bahwa batik bukan budaya Papua-lah atau karena memang larangan untuk berlama-lama dengan sehelai kain."

Mama Ibo berkisah, banyak perempuan asli Sentani mencoba untuk membatik. Namun, bisa dihitung dengan jari, bagi perempuan asli Papua yang kembali dan bertahan untuk tetap membatik. Salah satu alasannya adalah sang suami tak memperbolehkan untuk melanjutkan seni membatik itu.

Walau begitu, seni membatik mengalir deras dalam darah lima anak Mama Ibo yang seluruhnya adalah perempuan. Amelia Ibo (52), putri pertamanya mengatakan semua anak Mama Ibo belajar membatik secara autodidak.

"Sejak anak-anak hingga kami berumah tangga, selalu melihat Mama dan pegawainya membatik. Apalagi rumah kami juga adalah pusat membatik," ia menjelaskan.

Amelia mengaku tak mendapatkan larangan dari sang suami untuk membatik. Ia mengaku harus menyelesaikan seluruh pekerjaan rumahnya terlebih dahulu sebelum mencanting.

"Semua keperluan anak-anak dan suami sudah selesai dikerjakan, barulah saya mencanting. Ini kan juga untuk menghasilkan uang, jadi suami saya tak bisa marah," katanya.

Simak video pilihan berikut

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya