Menyelami Mistisnya Tari Saman dari Aceh

Unsur spiritual atau konsep keagamaan yang ada di dalam tari saman membuat tarian ini sakral, bahkan dianggap mistis oleh sebagian orang.

oleh Rino Abonita diperbarui 13 Sep 2019, 00:00 WIB
Diterbitkan 13 Sep 2019, 00:00 WIB
Penari dari grup Bujang Rancalan Gayo Lues sedang menari saman (Liputan6.com/Rino Abonita)
Penari dari grup Bujang Rancalan Gayo Lues sedang menari saman (Liputan6.com/Rino Abonita)

Liputan6.com, Gayo Lues - Minggu, 13 Agustus 2017 lalu, lapangan Stadion Seribu Bukit, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh, disesaki lautan penari. Warna-warni baju yang mereka kenakan terlihat seperti hamparan bunga amarilis di taman nan luas.

Gerakan mereka tampak rampak dan berirama. Suara tepukan disertai kor terdengar menghentak-hentak dan membahana di bawah langit yang terasa terik.

Sebanyak 12.262 penari saman unjuk kebolehan pada hari itu. Pagelaran bertajuk 10001 penari, ini berhasil memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia (MURI), mengalahkan rekor pada tahun 2014, yang hanya 5.057 penari.

Tari saman telah dinobatkan sebagai salah satu warisan budaya dunia bukan benda oleh UNESCO pada 24 November 2011. Sejumlah penghargaan tersebut telah jauh melampaui ekspektasi Tien Soeharto yang menjuluki tarian ini sebagai 'tari tangan seribu' puluhan tahun silam.

Selain bernilai estetika, tarian satu ini menjadi portal kemanunggalan antara hamba dengan Sang Pencipta. Di satu sisi, menjadi rambu-rambu pergaulan dalam kehidupan sehari-hari.

Syair-syair yang berasal dari kalam Ilahi diikuti pesan dakwah kerap diselipkan, lebih tepatnya wajib ada, di dalam tarian ini. Unsur spiritual atau konsep keagamaan yang ada di dalamnya membuat tarian ini sakral, bahkan dianggap mistis oleh sebagian orang.

Jika didengarkan dengan teliti, terdapat kalimat salam dan tahlil dalam larik yang diucapkan oleh para penari saman. Misal, "mmm uo lesa, mmm uo lesa, uooo lesa, uo lesa, lesalamaalaikum", atau, "hemmm lailalaho, hemmm lailalaho, lahoyasare hala lemha hala lahoya hele lemha hele".

Sebagai ekspresi komunal, tari saman memuat sistem simbol yang terorganisir dari sistem sosial masyarakat Gayo. Penyajiannya memberi kontribusi serta menjadi media alternatif dalam merekontruksi dinamika kehidupan sosial dan budaya.

Di dalam tarian tersebut terdapat syair, "ike manut peh ko gere kueten kerna geh peh aku ku uken gere cerakiko”. Artinya, kalaupun kamu hanyut, tidak saya angkat, karena, ketika saya datang ke udik dulu, tidak kamu tegur.

Syair ini mengingatkan kembali pentingnya tidak bersifat sombong terhadap orang lain. Kesombongan hanya akan membawa akibat berupa penderitaan pada diri sendiri.

Dalam gerakannya yang cenderung terbatas dan sederhana, itu tari saman membawa penarinya dalam kondisi ekstase. Tak ubah tarian sufi yang dipraktikkan oleh ordo Dervish dan Mevlevi.

Asal Muasal Tari Saman

Tari Saman di Pembukaan Asian Games
Penari menampilkan tari Ratoeh Jaroe dari Aceh pada pembukaan Asian Games 2018 di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (18/8). Sekitar 1.500 penari mengenakan busana beragam warna yang menggambarkan kebhinekaan Indonesia. (Liputan6.com/ Fery Pradolo)

Belum ada naskah khusus yang merepresentasikan sejarah tari saman secara lengkap. Karena budaya tulis pada masa silam masih kurang, sejarah asal muasal tari saman lebih banyak disampaikan secara lisan atau dari mulut ke mulut, yang dalam bahasa Gayo dikenal dengan "kéné bekéné", artinya, konon kata orang.

Banyak pula yang yakin saman telah ada sebelum Belanda datang ke Aceh. Alasannya, kata 'saman' tercantum dalam kamus Gayosche - Nederlandech Wooddenboek met Nederlandsch - Gajosch Register, Batavia : Landsrukkerij Hazeu, tahun 1907.

Dalam penelitiannya mengenai tari saman, Mahasiswa UIN Ar-Raniry, Habibi Muttaqin, mengungkap, kata 'saman' berasal dari salah seorang ulama Tarekat Sammaniyah. Ulama ini terinspirasi dari tarian masyarakat Gayo yang dikenal dengan nama Pok Ane-Ane.

Gerakan tarian tersebut tidak jauh berbeda dengan gerakan tari saman pada saat ini. Pok Ane-Ane mengandalkan tepukan kedua belah tangan dan tepukan ke paha sembari melantunkan syair tertentu.

Syekh Muhammad Saman memanfaatkan tarian sebagai medium dakwah di tanah Gayo. Ia menanamkan unsur-unsur ketauhidan di dalam tarian yang baru diciptakannya itu.

Sumber lain menyebutkan, tari saman berasal dari jazirah Arab. Bahwa tarian ini awalnya dilakukan oleh delapan orang sehingga dinamai 'saman', tetapi, pendapat ini diragukan banyak pihak, karena nilai estetis saman malah terletak pada jumlah penarinya yang ganjil.

Keharmonisannya tampak dari gerakan sarang-saring. Gerakan ini merupakan gerakan bergantian, di mana penari bilangan ganjil bergerak ke atas, sedang bilangan genap ke bawah.

Simak video pilihan berikut:

Teknik Tari Saman

Pembukaan Asian Games 2018
Tarian Saman saat pembukaan Asian Games di SUGBK, Jakarta, Sabtu, (18/8/2018). (Bola.com/Vitalis Yogi Trisna)

Penari saman umumnya laki-laki. Gerakan tari saman terpusat pada kesejajaran para penari dalam garis saf, yang duduk bersimpuh seperti orang sedang tasyahud dalam gerakan salat.

Kegiatan inti dalam tarian ini berupa gerakan tangan dan kepala diiringi syair. Ini berbeda dengan tari seudati, yakni tarian khusus laki-laki lainnya di Aceh, yang dilakukan dalam posisi berdiri.

Saat menarikan saman, para penari duduk berjajar serta saling merapatkan bahu. Kedua tangan berada di antara sela paha kiri dan kanan, di mana dada ditegakkan, serta pandangan mata lurus ke depan.

Setiap penari punya tugas dan tanggung jawab masing-masing. Titik sentral dalam barisan saman disebut syekh atau penangkat, selaku orang yang menentukan gerak, level gerakan, serta syair.

Penari yang bertugas membantu penangkat adalah pengapit. Pengapit diperlukan jika sewaktu-sewaktu syekh luput atau lupa akan syairnya.

Penari yang bertugas mengikuti komando penangkat disebut penyepit. Terakhir, penopang, yang berperan sebagai pendukung serta yang menopang keutuhan posisi penari lain agar tetap rapat dan utuh.

Kendati tampak tak terlalu penting, posisi ini malah terbilang sentral. Dijuluki Penamat kerpe jejerun atau pemegang rumput, yang menjadi penopang ialah mereka yang dipercaya dapat menjaga kekokohan tarian seolah rumput yang terhujam dan mengakar kuat ke dasar bumi.

Koreografi tari saman antara lain, lengek, lingang, tungkuk, langak, gerutup, guncang, dan surang-saring. Berupa gerakan menggeleng, menunduk, membungkuk, menggoyang badan, menepuk dada, hingga menghempaskan tangan ke paha.

 

Syair, Mantera

20161207-Mendagri Hadiri Peluncuran Buku Kementerian Desa PDTT-Jakarta
Usai Pecahkan Rekor Dunia, Tari Saman Gayo Akan Tampil Keliling Eropa

Syair yang dinyanyikan antara lain, pembukaan disebut rengum, diikuti penari disebut dering. Kemudian terdapat syair singkat disebut redet, disusul nyanyian melengking disebut syek, dan saur, di mana seluruh penari bernyanyi secara kor.

Sebagai contoh, syair pembuka setelah salam yang disebut ulu ni lagu atau kepala lagu. Syair ini menyeru kepada orang-orang agar tidak melupakan kampung halamannya.

Merujuk kepada Gayo sebagai tanah kelahiran, syair kedua ini menyiratkan rindu yang mendalam. Baik bagi penutur maupun pendengarnya.

“Kalau rindu sama bulan ooo bulan. Sawahan ku bintang ooo bintang sampaikan ke bintang ooo bintang. Ike denem ken uyem deso kalau rindu sama pohon tusamlagu bersebuku bagaikan meratapi...,"

Baju yang dikenakan penari bermotif kerawang gayo. Jenis properti yang dipakai antara lain, bulang teleng atau kerawang bertajuk, ikotni rongok atau saputangan, sensim ketip, dada kupang atau kalung, tajuk kiping, dan gelang.

Lazimnya, tari saman ditarikan oleh satu kelompok penari saja. Namun, adakalanya dua kelompok penari dari sanggar atau kampung yang berbeda diadu, yang disebut dengan saman jalu.

Dalam perkembangannya, tari saman lebih beragam dan memiliki variasi yang berbeda-beda, baik dari segi gerakan, lagu, hingga formalitasnya. Antara lain, saman jejunten, njik, ngerje atau kumah sara, dan bejamu besaman atau saman jalu.

Adapun saman jalu, dilakukan dengan dua cara. Jika dilakukan selama satu malam disebut saman sara ingi, jika dua hari dua malam disebut saman roa lo roa ingi.

"Di balik gerakan yang begitu banyak makna saya menarikannya penuh dengan gembira dan rasa yang senang. Tidak mengenal lelah walau napas sudah tidak teratur. Bagi saya itu sebuah semangat yang luar biasa," demikian akuan Arun Tonaga, anggota grup tari 'Bujang Rancalan Gayo Lues', kepada Liputan6.com, Selasa siang (10/9/2019).

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya