Jejak Peradaban Komplek Percandian Muarajambi

Masih dalam literatur sejarah menyebutkan, Maha Guru Buddha Atisha Dipangkara pernah belajar dan tinggal menetap di candi Muarajambi selama 11 tahun atau sekitar tahun 1011-1023 masehi.

oleh Gresi Plasmanto diperbarui 29 Sep 2019, 05:00 WIB
Diterbitkan 29 Sep 2019, 05:00 WIB
Candi Muarajambi
Candi Muarajambi (Liputan6.com/Gresi Plasmanto)

Liputan6.com, Jambi - Komplek percandian Muarajambi ini terletak di Kecamatan Marosebo, Kabupaten Muarojambi atau dekat dengan Batanghari, yang merupakan sungai terpanjang di Sumatra. Keberadaan situs bersejarah ini merupakan rangkaian keberadaan Suarnadwipa atau pulau emas.

Beberapa arkeolog menyimpulkan percandian Muarajambi adalah sebuah komplek percandian Hindu-Buddha terluas di Asia Tenggara yang luasnya mencapai delapan kali luas candi Borobudur. Komplek candi Muarajambi total memiliki luas 3.981 hektare yang tersebar di delapan desa yang dihuni oleh sebagian besar masyarakat melayu Jambi.

Data sejarah yang dimiliki Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi mengungkap, bahwa percandian Muarajambi pada masa lampau menjadi pusat pendidikan ajaran Buddha. Hal itu berdasarkan temuan-temuan artefak seperti reruntuhan Stupa, Arca Prajaniparmita, dan temuan lainnya.

Masih dalam literatur sejarah menyebutkan, Maha Guru Buddha Atisha Dipangkara pernah belajar dan tinggal menetap di candi Muarajambi selama 11 tahun atau sekitar tahun 1011-1023 masehi.

Atisha adalah seorang maha guru yang mempunyai peran dalam membangun gelombang kedua Buddhisme di Tibet. Ia pernah menjadi murid dari guru besar Buddhisme, yakni Serlingpa Dharmakirti. 

Rombongan Bhiksu pada tahun 2016 pernah melakukan perjalanan suci ke candi Muarajambi. Ketua rombongan Bhiksu dari beberapa negara, Jangchup Choeden mengatakan, bahwa ajaran budi pekerti umat Buddha di Tibet diadopsi dari ajaran maha guru Atisha dari candi Muarajambi.

"Ajaran budi pekerti atau boedi cita itu oleh maha guru Atihsa dibawa ke Tibet, sampai sekarang ajaran boedi cita masih dilestarikan oleh masyarakat komunitas Buddhis internasional di Tiber," kata Bhiksu Jangchup Choeden beberapa tahun silam saat melakukan perjalanan suci di candi Muarajambi.

Sementara itu, Tim Ahli Cagar Budaya Nasional (TACBN) mencatat di komplek percandian Muarajambi terdapat 123 peninggalan sejarah, mulai dari kanal kuno, bangunan candi dan menapo (reruntuhan candi). Selain itu, di komplek percandian Muarajambi memiliki 82 reruntuhan candi (menapo). 

Saat ini sudah ada sebelas bangunan candi yang telah dilakukan ekskavasi dan pemugaran. Bangunan candi yang telah dipugar itu diantaranya adalah, Candi Tinggi, Candi Gumpung, Candi Astana, Candi Kembar Batu, Candi Gedong I, Candi Gedong II, Candi Tinggi I, Candi Kedaton, Candi Teluk dan Candi Koto Mahligai.

Kini keberadaan situ percandian Muarajambi tak hanya ramai dikunjungi kalangan wisatawan. Namun, juga banyak didatangi umat Buddha dari berbagai negara yang melakukan perjalanan suci. Khususnya, saat hari besar keagamaan Waisak, percandian Muarajambi menjadi tempat beribadat umat Buddha.

Peluang Menjadi Warisan Dunia

Umat Buddha melakukan peribadatan di komplek percandian Muarajambi.
Umat Buddha melakukan peribadatan di komplek percandian Muarajambi. (Liputan6.com/Gresi Plasmanto)

Penetapan komplek percandian Muarajambi di Provinsi Jambi untuk diakui menjadi warisan dunia masih sulit terwujud.

Pasalnya, sejak masuk daftar tentatif UNESCO pada tahun 2009 hingga kini keberadaan situs sejarah peninggalan Hindu-Buddha itu belum ditetapkan menjadi warisan dunia (world heritage).

Menurut pakar Arkeologi dari Universitas Gadjah Mada DS Nugrahani, tak kunjung ditetapkannya komplek percandian Muara Jambi menjadi warisan dunia itu karena dossier atau isi dokumen yang diajukan kurang menarik. Di samping itu masih ada berbagai persoalan lain yang harus segera dibenahi.

"Jadi salah satu yang diusulkan lagi supaya lebih mengangkat tema candi Muarajambi sebagai Mahavihara, karena kita semua tahu bahwa di Muarajambi itu dulunya ada tokoh Serlingpa Dharmakirti dan Atisha Dipankara yang mempengaruhi peradaban Buddisme di dunia," kata DS Nugrahani kepada Liputan6.com, Sabtu (28/9/2019).

Dalam diskusi yang membahas peluang candi Muarajambi menuju warisan dunia, Nugrahani menekankan, bahwa tema Mahavihara dalam aspek peranan edukasi pada masa lampau penting untuk diangkat. Dengan tema Mahavihara ini bisa menjadi celah dan peluang untuk Muarajambi sebagai warisan dunia. 

Candi Muarajambi kata Nugrahani, hanya sebagai tetenger (penanda) yang pada masa itu menunjukkan ada peristiwa besar, yakni peradaban Buddhis yang ada dibelahan dunia datangnya dari peradaban di Muarajambi melalui Maha Guru Atisha yang pernah berguru dengan Serlingpa Dharmakirti selama 11 tahun atau sekitar tahun 1011-1023 Masehi.

"Saya yakin dengan tema Mahavihara ini memiliki peluang yang lebih besar dengan melihat peranan peradaban. Pada waktu itu peranan dari institusi Buddhisme di Muarajambi mempengaruhi perdaban Buddhisme di dunia," katanya.

Sementara itu, candi Muarajambi telah masuk daftar tentatif situs warisan dunia UNESCO sejak tahun 2009 dengan tercatat dalam nomor registrasi 5695. Keberadaanya kini pun terancam dicoret dari daftar tentatif karena akan berakhir tahun 2019. 

"Daftar tentatif sudah habis atau kedaluwarsa, jadi harus mengusulkan lagi. Tapi yang paling penting harus ada tindakan membentuk tim yang digawani oleh stakeholder terkait, dan yang paling utama dikawal ketat dengan pemerintah daerah," ujar Nugrahani.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya