Liputan6.com, Banyumas - Perang Jawa, 1825-1830 Masehi, atau perang Pangeran Diponegoro nyaris mengenyahkan VOC dan pemerintah kolonial Belanda. Ini adalah perang terbesar dan terpanjang dalam sejarah perang kemerdekaan di Indonesia.
Ternyata Perang Jawa tak sekadar berlangsung enam tahun. Sejarah mencatat perang Jawa berakhir begitu Pangeran Diponegoro ditangkap dan dibuang ke Sulawesi.
Namun, sejatinya Perang Jawa masih berlangsung meski skalanya tak sebesar sebelum Pangeran Diponegoro tertangkap. Adalah Eyang Kiai Ngabehi Singadipa, salah satu panglima perang yang meneruskan Perang Jawa.
Advertisement
Baca Juga
Namun, lantaran kekuatan pasukan tak sebesar ketika Pangeran Diponegoro masih memimpin, gerilya adalah strategi pilihannya. Kiai Singadipa adalah panglima perang pasukan di sektor barat, kawasan Banyumas Raya.
Dia ia sangat paham tiap wilayah di daerah ini. Strateginya cukup merepotkan Belanda yang tak kunjung bisa menjerat panglima licin ini.
Strateginya dalam perang Jawa terkenal hingga hari ini, yakni ‘Umpetan jeroning kemben’, atau diartikan sebagai berlindung di balik kain kemben. Kemben adalah kain yang dipakai perempuan Jawa pada masanya.
Ketua Ikatan Keluarga Singadipa, Bing Urip Hartoyo, mengatakan, ahli sejarah menyatakan saat perang gerilya itu, sang panglima menyamar menjadi rakyat biasa. Untuk menyempurnakan penyamarannya, ia memperistri perempuan desa di mana ia tinggal untuk mengatur strategi dalam perang Jawa.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Penyerahan Bendera Perang Pangeran Diponegoro
Lantaran harus berpindah-pindah menghindari endusan intel Belanda, Singadipa akhirnya memperistri enam perempuan. Sumber lain bahkan mencatat istri Singadipa lebih dari itu.
“Memperistri enam perempuan hingga akhir hayat," katanya, Sabtu malam (9/11/2019).
Bing bilang, ada upaya pengkerdilan sejarah perang Jawa dan kisah kepahlawanan Kiai Singadipa oleh Pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda hanya mengakui bahwa perang Jawa berlangsung antara 1825-1830 atau hanya lima sampai enam tahun.
Mereka khawatir sosok Kiai Singadipa menjadi spirit untuk memberontak. Karenanya, sosok dan kisah kepahlawanannya dilenyapkan.
“Sampai 1830, ketika Pangeran Diponegoro ditangkap, Belanda tidak pernah bisa masuk ke Banyumas Raya. Mereka hanya sampai Kertek, Wonosobo,” ucap Bing.
Di Kertek ini pula, sang panglima menerima mandat langsung dari Pangeran Diponegoro. Persis sebelum Pangeran Diponegoro ditangkap dengan cara licik, bendera perang atau pataka perang Pangeran Diponegoro, Kiai Tunggul Wulung, diserahkan kepada Singadipa.
Titah untuk meneruskan perjuangan ini dijawab oleh Kiai Singadipa dengan bukti 10 tahun perang gerilya. Selama itu pula Singadipa tak pernah tertangkap.
Sempat menjabat Wedana Ajibarang, Kiai Singadipa wafat dan dimakamkan di Panembangan, Cilongok, Banyumas. Dan kini, keturunannya tersebar di seluruh Banyumas, Indonesia, dan bahkan luar negeri.
Advertisement
Darah Juang Keturunan Kiai Singadipa
Kemudian hari, anak keturunan Kiai Singadipa juga menjadi tokoh pejuang dan tokoh penting republik ini. Salah satunya adalah Suparjo Rustam, pengawal kepercayaan Panglima Besar Jenderal Soedirman semasa perang gerilya.
Pada masa Orde Baru ia sempat menjadi menteri dan Gubernur Jawa Tengah. Keturunan lainnya adalah Susilo Sudarman, tokoh militer yang juga sempat menjabat menteri. Dan kini, bupati yang memimpin Kabupaten Banyumas adalah salah satu keturunannya, Achmad Husein.
“Zaman Pak Suparjo Rustam dan Pak Susilo inilah Ikatan Keluarga Singadipa dimulai,” dia menerangkan.
Makam Kiai Singadipa dikeramatkan. Tercatat, Presiden Soeharto dua kali berziarah ke makam ini.
Tentu saja ada hal luar biasa yang membuat Soeharto, yang begitu didgdaya pada masa kekuasannya, sampai dua kali berziarah ke makam yang sama. Ada tuah yang dipercaya oleh sebagian masyarakat.
Menilik sejarah yang panjang itu, warga Banyumas, terutama IKS dan warga Panembangan meminta agar Eyang Kiai Ngabehi Singadipa dianugerahi gelar pahlawan nasional.
Kiai Singadipa adalah panglima yang tak pernah menyerah atau tertangkap. Ini beda, misalnya, dengan orang-orang kepercayaan Pangeran Diponegoro lainnya, misalnya Sentot Alibasyah Prawirodirjo.
Tak berusaha membandingkan, tetapi Bing yakin peran dan jasa Kiai Ngabehi Singadipa tak kalah dari panglima perang lain pada masa Perang Jawa. Tepat rasanya jika ia diganjar dengan gelar pahlawan nasional.
Kiai Singadipa Layak Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional
“Perlawanan ini terjadi di wilayah Jawa bagian barat yakni Jawa Tengah terutama eks-Karesidenan Banyumas," dia menjelaskan.
Jumat malam, 8 November 2019, ratusan peziarah menatangi makam Kiai Ngabehi Singadipa. Berbekal obor, warga yang terdiri dari anak keturunan dan masyarakat umum ini berziarah di makam tokoh yang semasa hidupnya menjadi salah satu orang kepercayaan Pangeran Diponegoro ini.
Selain ziarah mereka juga menggelar acara kumpul sedulur serta pernyataan sikap menuntut pemerintah agar menjadikan Kia Ngabehi Singadipa sebagai pahlawan nasional.
“Acara malam hari ini sebagai awal dari rangkaian agenda temu akbar yang digelar pada 9 November 2019 dengan kegiatan pengajian akbar, pembacaan narasi sejarah perjuangan Eyang Singadipa dan banyak kegiatan sosial," kata Bing.
Selain prosesi ziarah pada umumnya, dalam rangkaian ziarah ini juga dibacakan riwayat panjang perjuangan dan kisah hidup Kiai Singadipa. Ada pula petuah dari sang pahlawan yang dikenal sebagai panglima perangnya Pangeran Diponegoro itu dibacakan oleh para sesepuh.
Sabtu, 9 Novmeber 2019, acara dilanjutkan dengan bakti sosial, berupa pengobatan gratis, santunan fakir miskin dan anak yatim, dan lain-lain.
“Haul Eyang Singadipa dilakukan pada Bulan Maulud, tahun ini pas dengan rangkaian hari pahlawan,” dia mengungkapkan.
Advertisement