Dirkrimsus Polda Sulsel Baru Ketiban Warisan Kasus Korupsi Mangkrak

Kapolda Sulsel tekankan pejabat Dirreskrimsus Polda Sulsel yang baru untuk tuntaskan penanganan kasus korupsi mangkrak.

oleh Eka Hakim diperbarui 12 Nov 2019, 00:00 WIB
Diterbitkan 12 Nov 2019, 00:00 WIB
Kapolda Sulsel, Irjen Pol Mas Guntur Laupe tekankan Dirreskrimsus Polda Sulsel yang baru untuk menuntaskan seluruh kasus korupsi yang mangkrak bertahun (Liputan6.com/ Eka Hakim)
Kapolda Sulsel, Irjen Pol Mas Guntur Laupe tekankan Dirreskrimsus Polda Sulsel yang baru untuk menuntaskan seluruh kasus korupsi yang mangkrak bertahun (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Liputan6.com, Makassar Kapolda Sulsel, Irjen Pol Mas Guntur Laupe menekankan kepada pejabat baru Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda Sulsel yang baru agar meneruskan penanganan seluruh kasus korupsi yang belum selesai serta menuntaskan kasus yang disebut-sebut mangkrak bertahun-tahun.

"Saya pikir mereka sendiri sudah tahu, baik pejabat lama dan pejabat baru," kata Mas Guntur saat ditemui usai memimpin serah terima jabatan (sertijab) di jajaran Polda Sulsel yang berlangsung di Sekolah Perpolisian Negara (SPN) Batua Makassar, Senin (11/11/2019).

Kepada pejabat Dirreskrimsus Polda Sulsel yang baru tentunya, kata dia, dapat meneruskan kasus-kasus korupsi yang belum terselesaikan, yang ditinggal oleh pejabat Dirreskrimsus sebelumnya. Termasuk, lanjut dia, perkara yang mandek bertahun-tahun. Hal itu masuk dalam agenda pejabat Dirreskrimsus yang baru.

"Semuanya sudah teragenda dan tercatat. Semua perkara yang sudah kita sidik, Insya Allah ke depan akan ada follow up-nya. Apakah dilanjutkan untuk maju ke penuntutan ataukah perkara dihentikan. Tapi saya pikir, perkara dihentikan belum ada gambaran. Yang jelas, hampir semua ditangani mengarah kepada penuntutan," ungkap Mas Guntur.

Meski demikian, ia tak menampik adanya beberapa perkara korupsi yang ditangani pihaknya berjalan mangkrak dan tak bisa serta-merta memaksakan kehendak.

"Kalau keinginan kita cepat tuntas perkara itu. Tapi dibendung beberapa hal seperti kesaksian, pembuktian, dan sebagainya. Karena ini tidak lepas dari hak orang lain. Kita tidak bisa memaksakan jadi tersangka kalau bukti belum cukup," jelas Mas Guntur.

Sebelumnya, lembaga Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) merilis sejumlah kasus korupsi yang ditangani Polda Sulsel dan penanganannya dinilai berjalan mangkrak.

Di antaranya ada kasus dugaan korupsi pengadaan 1.000 unit kandang ayam di Kota Palopo, kasus pembebasan lahan bandara Mangkendek di Kabupaten Tana Toraja, kasus dugaan suap proyek DAK di Kota Pare-Pare, dugaan korupsi pembangunan tiga pasar rakyat di Kabupaten Jeneponto, dan kasus pengadaan alat peraga imtaq di Kabupaten Gowa.

"Ada juga tiga kasus korupsi di lingkup Dinas Perhubungan Sulsel. Kasus dugaan korupsi pengadaan traffic light, dugaan gratifikasi pada kegiataan mutasi kendaraan pelat hitam menjadi pelat kuning, dan dugaan korupsi pada kegiatan pembangunan halte Bus Rapid Transit (BRT) mamminasata. Ini semuanya mangkrak," terang Direktur Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi), Kadir Wokanubun.

 

Perjalanan Kasus Korupsi Pengadaan 1.000 Kandang Ayam di Palopo

Menurut Kadir, kasus tersebut sudah 4 tahun ditangani tapi tak ada kejelasan. Ia sangat heran dengan sikap Polda Sulsel dalam penanganan kasus kandang ayam tersebut.

Ia berharap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera mengambil alih penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan 1.000 unit kandang ayam di Kota Palopo itu.

"Polda harus gentle. Jika memang tak bisa menangani kasus kandang ayam yang dimaksud, sebaiknya serahkan saja ke KPK biar segera ada kepastian hukum. Kasusnya sudah 4 tahun dikandangkan tanpa ada perkembangan bahkan terkesan menghilang. Ini kan sudah tak profesional namanya," terang Kadir.

Kasus dugaan korupsi pengadaan kandang ayam di Kota Palopo, kata dia, faktanya sangat terang. Anggaran yang digunakan telah habis. Namun, keberadaan kandang ayam tak jelas.

"Jadi sangat aneh ketika kasus ini tak berjalan. Malah 4 tahun ditangani kok tahapannya masih penyelidikan terus. Kami curiga ada dugaan kongkalikong dalam kasus ini sehingga mangkrak bertahun-tahun," ujar Kadir.

Kepala Subdit III Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel, Kompol Yudha Wiradjati mengaku kasus dugaan korupsi pengadaan 1.000 unit kandang ayam di kota Palopo hingga saat ini statusnya masih tahap penyelidikan.

"Masih penyelidikan," singkat Yudha sebelumnya.

Kasus dugaan korupsi pengadaan kandang ayam di kota Palopo itu, diketahui sejak awal ditangani oleh Polres Palopo, kemudian diambil alih oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel dan hingga saat ini belum ada progres.

Proyek pengadaan kandang ayam sebanyak 1.000 unit yang merupakan program Pemerintah Kota Palopo (Pemkot Palopo), Sulsel tersebut, diketahui pengerjaan tahap awalnya dilaksanakan pada tahun 2014 yang tersebar di Kelurahan Lebang 15 unit, Kelurahan Sampoddo 15 unit, dan Kelurahan Mawa 10 unit.

Selanjutnya, proyek berlanjut pada tahun 2015. Pihak Pemkot Palopo dikabarkan terus melakukan inovasi dengan harapan dapat berjalan sukses dalam pengadaan budidaya ayam kampung unggul bagi 35 Kepala Keluarga (KK) calon penerima manfaat yang masing-masing 15 KK di Kelurahan Purangi dan 20 KK di Kelurahan Sendana.

Padahal, pada APBD Perubahan tahun anggaran 2014 seharusnya dibangun sebanyak 342 unit kandang ayam. Kemudian, pada APBD 2015 kembali dibangun 658 unit kandang ayam sehingga total kandang ayam yang seharusnya diadakan berjumlah 1.000 unit.

Kegiatan yang total menggunakan anggaran sebesar Rp8 miliar itu, kemudian diketahui bermasalah ketika awal tahun 2017. Produksi ayam di kota Palopo dinilai tidak produktif secara signifikan, sehingga sejumlah anggata DPRD Palopo kala itu, mempertanyakan sejauh mana hasil produksi pengadaan kadang ayam yang dimaksud.

Harusnya, menurut DPRD kota Palopo kala itu, melalui program pengadaan 1.000 unit kandang ayam tersebut, taraf ekonomi masyarakat kota Palopo utamanya sebagai penerima manfaat, tentunya juga meningkat.

 

Kasus Korupsi Pembebasan Lahan Bandara Mangkendek Toraja

Polda Sulsel selidiki kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Toraja sejak tahun 2012 (Liputan6.com/ Eka Hakim)
Polda Sulsel selidiki kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Toraja sejak tahun 2012 (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Perkembangan terakhir, Penyidik Subdit III Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Krimsus) Polda Sulsel di era kepemimpinan Yudhiawan Wibisono sebagai Dirreskrimsus, diam-diam kembali menjerat para pelaku lama dalam kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek, Kabupaten Tana Toraja.

"Menurut penyidik tersangka masih yang dulu dan akan digelarkan dalam waktu dekat. Tergantung penyidik saja," singkat Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel, Kombes Pol Yudhiawan Wibisono via pesan singkat, Minggu 22 September 2019.

Direktur Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi), Kadir Wokanubun berharap penyidik tidak mengulur-ulur agenda penetapan tersangka dalam kasus yang telah menelan kerugian negara cukup besar tersebut.

Tak hanya itu, ia juga berharap penyidik punya kemauan besar dalam mengungkap keterlibatan semua pihak dalam kegiatan yang jelas-jelas telah merugikan negara itu.

"Kasus Bandara Mangkendek ini merupakan salah satu kasus korupsi yang sangat parah penanganannya. Bayangkan saja para tersangka sudah kedua kalinya bebas demi hukum lantaran berkasnya tak kunjung rampung (P.21). Kasusnya pun ditangani sejak tahun 2012," terang Kadir.

Anehnya lagi, beber Kadir, meski kasus Bandara Mangkendek tersebut telah melalui proses supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tetapi kasusnya tak juga berhasil sampai ke Pengadilan Tipikor.

"Semoga kali ini berhasil sampai ke persidangan. Kami harap Kepolisian maupun Kejaksaan memiliki visi-misi yang sama dalam pemberantasan korupsi sehingga berkas tersangka tak lagi bolak-balik nantinya," tutur Kadir.

 

Penyidikan Kasus Bandara Toraja Sempat Mandek

Usai dibuka kembali sejak bulan April 2019 oleh Subdit Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel, penyidikan kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek, Kabupaten Tana Toraja sempat berjalan mandek.

Kepala Bidang Humas Polda Sulsel, Kombes Pol Dicky Sondani mengatakan penyidikan berjalan lambat dikarenakan penyidik masih menunggu kesesuaian pendapat antara pihak Kejaksaan dengan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam perhitungan kerugian negara.

"Ada perbedaan pendapat antara Jaksa dengan BPKP. Jadi agak lama karena mereka belum ada kesepakatan berapa kerugian negara yang sebenarnya," kata Dicky, Selasa 18 Juni 2019.

Dalam proses penyidikan lanjutan penyidik telah memeriksa sejumlah saksi yang kini sudah berjumlah delapan orang. Mereka masing-masing mantan Bupati Tana Toraja, Theofelus Allorerung, mantan Sekretaris Daerah (Setda) Kabupaten TanaToraja yang juga bertindak selaku ketua panitia pengadaan tanah, Enos Karoma, mantan Kepala Bappeda Kabupaten Tana Toraja selaku anggota panitia pengadaan tanah, Yunus Sirante dan mantan Camat Mangkendek selaku anggota panitia pengadaan tanah, Ruben Rombe Randa.

Kemudian, saksi lainnya yakni mantan Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Tana Toraja yang juga bertindak selaku Pengguna Anggaran (PA), Meyer Dengen dan mantan Bendahara Pengeluaran pada Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Tana Toraja, Aspa Astri Rumpa.

Serta turut juga, Ketua DPRD Kabupaten Tana Toraja yang saat itu bertindak sebagai Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPRD Tana Toraja tahun anggaran 2010, Welem Sambolangi dan mantan Ketua Komisi 3 DPRD Tana Toraja tahun anggaran 2010, Yohannes Lintin Paembongan.

"Dari delapan saksi tersebut, enam orang di antaranya telah diambil keterangan tambahan," jelas Dicky.

Diketahui penyelidikan kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek Toraja dilakukan Polda Sulsel sejak tahun 2012. Kemudian dalam perjalanannya kasus tersebut ditingkatkan ke tahap penyidikan dan menetapkan 8 orang tersangka di tahun 2013.

Usai penetapan 8 orang tersangka, penyidik pun langsung menahan 2 orang diantaranya yakni mantan Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tana Toraja Enos Karoma dan mantan Camat Mengkendek Ruben Rombe Randa. Namun, karena masa penahanan keduanya habis, mereka pun dikeluarkan dari sel titipan Lapas Klas 1 Makassar demi hukum.

Setelah keduanya terlepas dari jeratan hukum, penyidik Polda Sulsel diam-diam membuka kembali penyidikan kasus itu dan menahan kembali 6 orang tersangka sebelumnya.

Mereka adalah Mantan Kepala Bappeda Yunus Sirante, Mantan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tana Toraja, Haris Paridy dan Mantan Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informatika, Pos dan Telekomunikasi Tana Toraja, Agus Sosang.

Selanjutnya, ada juga mantan Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Tana Toraja, Yunus Palayukan, Mantan Kepala Dinas Tata Ruang dan Permukiman Tana Toraja, Gerson Papalangi dan Mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Tana Toraja, Zeth John Tolla.

Hanya selang beberapa bulan kemudian, 6 tersangka tersebut akhirnya dilepas lantaran proses penyidikan belum rampung dan masa penahanan para tersangka telah habis.

Karena kewalahan merampungkan penyidikan, Polda Sulsel kemudian berinisiatif meminta KPK melakukan supervisi. Dan di tahun 2017, KPK pun melakukan supervisi dan mengundang pihak Polda Sulsel dan Kejati Sulsel untuk melakukan gelar perkara terbuka di gedung KPK. Hasilnya pun telah dikembalikan ke Polda Sulsel untuk segera ditindak lanjuti. Namun, faktanya hingga saat ini penyidikan tak kunjung juga rampung.

Dari hasil penyidikan kala itu, para tersangka yang bertindak selaku panitia pembebasan lahan atau tim sembilan diduga telah menyelewengkan anggaran. Mereka melakukan pembayaran kepada warga yang sama sekali tidak memiliki alas hak atas lahan tersebut.

Para tersangka melakukan mark up dana yang dialokasikan sebagai dana ganti rugi pembebasan lahan untuk persiapan pembangunan bandara baru Mangkendek sebesar Rp38,2 miliar.

Khusus tersangka Enos yang bertindak sebagai Ketua Panitia pembebasan lahan di ketahui langsung berinisiatif sendiri menetapkan harga lahan basah senilai Rp40.250 per meter persegi. Sementara, hal itu belum disepakati sehingga belakangan banyak lahan menjadi sengketa.

Dari hasil musyawarah antara panitia pembebasan lahan dengan para pemilik lahan yang berlangsung di ruang pola Kantor Bupati Tana Toraja tepatnya 28 Juni 2011, disepakati harga tanah untuk jenis tanah kering nonsertifikat senilai Rp21.390 per meter persegi, tanah kering bersertifikat Rp25.000 per meter persegi, tanah basah nonsertifikat Rp35.000 per meter per segi serta untuk jenis tanah basah bersertifikat belum disepakati.

Tak hanya itu, dari hasil penyidikan juga ditemukan terjadi pemotongan PPH sebesar 5 persen dan administrasi 1,5 persen dalam proses pembebasan lahan. Panitia pengadaan tanah tidak mengacu pada peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 5 tahun 1960 tentang UUPA, Perpres 65 tahun 2006 tentang pengadaan tanah untuk pemerintah bagi kepentingan umum dan Perka BPN RI Nomor 3 tahun 2007 tentang ketentuan pelaksanaan Perpres 65 tahun 2006 hingga menimbulkan perkara kepemilikan lahan.

Atas perbuatannya para tersangka disangkakan melanggar pasal 2 ayat (1) sub pasal 3 UU RI Nomor 31 tahun 1999 Jo UU RI Nomor 20 tahun 2001 atas perubahan UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Kasus ini pun sempat menyebut keterlibatan Bupati Tana Toraja (Tator) kala itu, Thefelius Allererung. Keterlibatannya terungkap dari keterangan beberapa saksi yang telah di periksa penyidik saat itu.

Beberapa saksi telah mengaku dan membenarkan jika ada pertemuan pembahasan ganti rugi lahan yang digelar di rumah jabatan Bupati, Thefelius Allererung.

Berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulawesi Selatan (Sulsel) disimpulkan terjadi kerugian negara sebesar Rp21 miliar dari total anggaran Rp38 miliar yang digunakan dalam proyek pembebasan lahan bandara tersebut. Meski belakangan nilai kerugian itu dianulir setelah dilakukan audit ulang oleh BPKP Sulsel. Kerugian ditetapkan hanya senilai Rp7 miliar lebih.

Anggaran proyek sendiri diketahui bersumber dari dana sharing antara APBD Kabupaten Tana Toraja dan APBD Provinsi Sulsel. Kesalahan pembayaran dalam proyek pembebasan lahan tersebut dikuatkan oleh putusan perdata dari pihak yang mengaku sebagai pemilik lahan, tetapi tak mendapatkan haknya. Malah pihak yang bukan pemilik lahan justru menerima pembayaran ganti rugi.

 

Perjalanan Kasus Dugaan Suap DAK Rp 40 M di Kota Pare-Pare

Direktur Reskrimsus Polda Sulsel, Kombes Pol Yudhiawan Wibisono diangkat menjadi Kapolrestabes Makassar (Liputan6.com/ Eka Hakim)
Direktur Reskrimsus Polda Sulsel, Kombes Pol Yudhiawan Wibisono diangkat menjadi Kapolrestabes Makassar (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Kasus dugaan Suap Proyek DAK senilai Rp 40 miliar di Kota Pare-Pare, terakhir dikabarkan sempat tarik ulur. Meski pada akhirnya penanganannya resmi diambil alih oleh Subdit III Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Krimsus) Polda Sulsel dari tangan penyidik Tipikor Polres Pare-Pare.

"Kasus ini sudah digelar di Bareskrim Mabes Polri dan hasilnya direkomendasikan agar penanganannya diambil alih oleh Polda Sulsel," kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel, Kombes Pol Yudhiawan Wibisono di Markas Polda Sulsel, Selasa 10 September 2019.

Sementara penanganan kasus raibnya dana Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Pare-Pare, kata Yudhiawan, tetap ditangani oleh Unit Tipikor Polres Pare-Pare. Dimana kedua kasus tersebut masih berkaitan erat.

"Kasus raibnya dana Dinkes itu kan sudah penyidikan bahkan sudah ada penetapan tersangka. Itu tetap dilanjutkan oleh Polres Pare-Pare. Kasus dugaan suap proyek DAK resmi kita yang tangani," jelas Yudhiawan.

Penyelidikan kasus dugaan suap proyek DAK senilai Rp40 miliar di Kota Pare-Pare berawal setelah beredarnya sebuah surat pernyataan tiga orang PNS Pemkot Pare-Pare masing-masing dr Muhammad Yamin, Taufiqurrahman, dan Syamsul Idham ke media sosial (medsos).

Dalam surat pernyataan yang dibubuhi materai bernilai Rp6.000 itu, ketiga PNS Pemkot Pare-Pare yang dimaksud menyatakan telah bersama-sama mengantarkan dan menyerahkan dana sebesar Rp1,5 miliar kepada pengusaha dari Papua, Hamzah di sebuah mal bernama Mall Ratu Indah Makassar sebagai pengembalian pengurusan proyek DAK 2016 sebesar Rp40 miliar yang telah diterima oleh Kota Pare-Pare.

Ketiganya juga menyatakan melakukan hal yang dimaksud berdasarkan perintah Wali Kota Pare-Pare, Taufan Pawe.

 

Kasus Dugaan Korupsi Pasar Rakyat Jeneponto

Kabar terakhir, Penyidik Subdit III Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Sulsel mengaku telah mengantongi identitas calon tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembangunan tiga pasar rakyat di Kabupaten Jeneponto.

"Sudah ada kita kantongi soal itu. Tapi kita belum umumkan karena masih menunggu perhitungan kerugian negara (PKN). Kita pasti umumkan resmi setelah PKN keluar," kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel, Kombes Pol Yudhiawan Wibisono saat ditemui usai menghadiri acara pemusnahan rokok ilegal di Kantor Bea Cukai Sulbangsel, Rabu 30 Oktober 2019.

Diketahui, dalam penyidikan kasus tersebut, Penyidik Subdit III Tipikor Ditreskrimsus Polda Sulsel telah memeriksa sejumlah saksi, di antaranya Wakil Bupati Jeneponto, Paris Yasir.

Dari hasil keterangan saksi lainnya yang lebih awal diperiksa, menyebutkan peran Paris. Ia disebut-sebut sebagai orang yang mengurus turunnya anggaran pembangunan tiga pasar rakyat dan mengarahkan Pokja ULP untuk memenangkan perusahaan tertentu dalam proses lelang.

Sehingga dari keterangan saksi tersebut, penyidik melakukan pendalaman dengan memeriksa Paris hingga tiga kali selama dalam tahap penyidikan.

"Iya. Yang bersangkutan sudah diperiksa sebanyak tiga kali di tahap penyidikan ini," ucap Kasubdit III Tipikor Dit Reskrimsus Polda Sulsel, Kompol Yudha Wiradjati, Jumat 19 Juli 2019.

Selain memeriksa Paris, penyidik juga telah memeriksa mantan Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Jeneponto Muh Sofyan, dan Konsultan Pengawas, Rian Sukayanto.

Kemudian turut memeriksa Pelaksana Pekerjaan Lasang-lasang dan Paitana, Awaluddin Asri alias Daeng Kulle, Direktur CV Risca Perdana, M Nasir, Direktur CV Nardin Dwi ARS, Basmahuddin Syam, Pengawas Pekerja CV Citra Lestari Mandiri, Irwan Dg Guna, Konsultan Perencana tiga pasar dari CV Triasa Mandiri dan CV Sentral Desain Consultan, Saenal Arifin.

Tak hanya itu, Pelaksana Pembangunan Pasar Lassang-lassang atau CV Citra Lestari Mandiri, Muh Takbir Takko dan Konsultan pengawas, Sukku juga telah diperiksa selama tahap penyidikan berlangsung.

Tak hanya memeriksa para saksi, tim Penyidik Subdit III Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Sulsel sebelumnya juga telah menggeledah sekaligus menyita sejumlah dokumen penting dari beberapa titik lokasi yang ada di lingkup Kantor Bupati Jeneponto, Selasa 16 Juli 2019.

Penggeledahan sekaligus penyitaan sejumlah dokumen tersebut merupakan bagian dari proses penyidikan kasus dugaan korupsi pembangunan tiga pasar rakyat di Kabupaten Jeneponto masing-masing Pasar Lassang-lassang, Pasar Paitana dan Pasar Pokobulo.

Ketiga pasar rakyat tersebut diketahui menggunakan anggaran sebesar Rp 3,7 miliar yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun anggaran 2017.

"Diduga dalam proses lelang terjadi persekongkolan antara panitia dengan pemenang tender (persekongkolan vertikal)," ucap Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel, Kombes Pol Yudhiawan Wibisono.

Penggeledahan sekaligus penyitaan oleh tim penyidik, kata dia, dilakukan di beberapa titik. Masing-masing di ruangan bidang akutansi, bidang anggaran, bagian pengadaan barang dan jasa, ruang Asisten II Ekonomi dan Pembangunan serta rumah seorang staf Unit Layanan Pengadaan (ULP) pada Kantor Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Jeneponto, Alamsyah.

"Ruangan yang digeledah ada di Kantor Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Jeneponto dan Disperindag Jeneponto," jelas Yudhiawan.

Selain upaya penggeledahan dan penyitaan sejumlah bukti berupa dokumen penting, penyidik juga berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulsel dalam rangka perhitungan kerugian negara yang ditimbulkan dari pelaksanaan pekerjaan pembangunan tiga pasar rakyat yang dimaksud.

"Kita target gelar perkara kasus dugaan korupsi pembangunan tiga pasar rakyat Jeneponto ini secepatnya untuk penetapan tersangka," Yudhiawan menandaskan.

 

Kronologi Kasus Korupsi Pengadaan Alat Peraga Imtaq di Kabupaten Gowa

Polda Sulsel menggeledah kantor Bupati Gowa, Sulsel (Liputan6.com/ Eka Hakim)
Polda Sulsel menggeledah kantor Bupati Gowa, Sulsel (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Lembaga Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) sebelumnya mendorong Polda Sulsel agar segera menggandeng auditor independen dalam hal penyelesaian sejumlah kasus korupsi yang mangkrak akibat terganjal audit perhitungan kerugian negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulsel.

Di antaranya kasus dugaan korupsi pengadaan alat peraga imtaq di Kabupaten Gowa yang hingga saat ini belum ada penetapan tersangka karena terganjal oleh audit perhitungan kerugian negara oleh pihak BPKP Sulsel.

"Seharusnya Polda Sulsel tidak kaku. Ada jalan lain yang bisa ditempuh yakni menggandeng auditor independen seperti dari kampus-kampus yang memiliki sertifikasi keahlian sebagai auditor keuangan. Jadi tidak mesti berharap penuh ke BPKP dong," kata Kadir Wokanubun, Direktur Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi), Kadir Wokanubun.

Ia yakin, kasus dugaan korupsi pengadaan alat peraga imtaq di Kabupaten Gowa akan segera menemui kepastian hukum jika sejak awal Polda Sulsel komitmen untuk menuntaskannya.

"Salah satunya tadi. Jika kasus yang ditangani terhambat karena belum keluarnya hasil perhitungan kerugian dari BPKP, maka lakukan upaya lain diantaranya, koordinasi dengan auditor independen lainnya," ujar Kadir.

Ia mengatakan sudah waktunya penanganan sebuah perkara korupsi tidak lagi menggunakan pola-pola lama. Karena kata dia, hal itu bisa membuat keuangan negara tambah merugi.

"Bayangkan berapa besar anggaran negara yang dibebankan dalam kepentingan penyelidikan hingga penyidikan sebuah perkara korupsi. Kalau berlama-lama justru menambah kerugikan negara yang lumayan besar. Tidak lagi sebanding dengan nilai kerugian negara yang ingin dipulihkan dari kasus yang dimaksud," terang Kadir.

Sebelumnya, Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel, Kombes Pol Yudhiawan Wibisono mengaku lambannya penetapan tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat peraga imtaq di Kabupaten Gowa disebabkan belum terbitnya audit perhitungan kerugian negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulsel.

"Itu tinggal tunggu perhitungan kerugian negara dari BPKP dan selanjutnya penetapan tersangka," kata Yudhiawan.

Diketahui, dalam penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan alat peraga imtaq di Kabupaten Gowa tersebut, tim Penyidik Subdit III Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel telah menggeledah sejumlah Kantor Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gowa, Sulsel, Selasa 14 Mei 2019 sekitar pukul 14.00 wita.

Tak hanya kantor SKPD yang berada dalam satu area dengan Kantor Pemkab Gowa, tim tipikor Polda Sulsel itu juga dikabarkan turut menggeledah ruangan kerja yang berada dalam rumah jabatan (rujab) Bupati Gowa.

Kepala Bidang Humas Polda Sulsel, Kombes Pol Dicky Sondani membenarkan adanya penggeledahan tersebut. Kata dia, penggeledahan merupakan bagian dari proses penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan alat peraga imtaq di Kabupaten Gowa tahun anggaran 2018 yang sementara berjalan.

"Lokasi penggeledahan di antaranya di Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Gowa dan Rujab Bupati Gowa," kata Dicky.

Dalam penggeledahan tersebut, tim mengamankan sejumlah dokumen-dokumen penting terkait kegiatan pengadaan alat peraga imtaq yang tengah diusut.

"Kasus ini diselidiki sejak bulan Februari 2019 dan statusnya naik ke tahap penyidikan pada bulan Mei 2019 ini," terang Dicky.

Dari hasil penyidikan, tim menemukan adanya dugaan mark up anggaran pada kegiatan pengadaan alat peraga imtaq yang dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Gowa tersebut.

Dimana dari hasil cek tim ke lokasi sumber barang yakni di Yogyakarta, uang yang digunakan untuk belanja barang alat peraga yang dimaksud hanya sebesar Rp1,5 miliar. Sementara anggaran yang digelontorkan untuk kegiatan tersebut senilai Rp5.609.681.992.

Tak hanya itu, tim juga menemukan terjadinya keterlambatan pengerjaan. Pada bulan Februari 2019 masih terjadi pengiriman barang dari Yogyakarta ke Makassar, sementara berdasarkan berita acara serah terima pengerjaan (progres pekerjaan) sudah dilaporkan 100 persen tepatnya pada bulan September 2018.

"Dari hasil pemeriksaan sejumlah saksi-saksi, terungkap juga ada intervensi dari beberapa pihak dalam proses lelang, pelaksanaan hingga pencairan pembayaran," ungkap Dicky.

Pengadaan alat peraga imtaq yang diperuntukkan untuk 82 Sekolah Dasar (SD) yang tersebar di 18 Kecamatan di Kabupaten Gowa tersebut, menggunakan anggaran sebesar Rp 5.609.681.992 yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) tahun anggaran 2018.

Adapun yang bertindak sebagai penyedia barang dalam kegiatan itu diketahui bernama Rahmawati Bangsawan alias Neno. Ia memenangkan tender menggunakan nama perusahaan yang ia pinjam yakni bernama PT Arsa Putra Mandiri.

"Dalam kasus ini kita terapkan dugaan pelanggaran Pasal 2 ayat 1 Subsider Pasal 3 Juncto Pasal 9 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi," Dicky menandaskan.

 

Kronologi Tiga Kasus Korupsi Lingkup Dishub Sulsel

Kabid Humas Polda Sulsel, Kombes Pol Dicky Sondani kala itu membeberkan tiga kasus korupsi di lingkup Dishub Sulsel yang sedang ditangani Polda Sulsel (Liputan6.com/ Eka Hakim)
Kabid Humas Polda Sulsel, Kombes Pol Dicky Sondani kala itu membeberkan tiga kasus korupsi di lingkup Dishub Sulsel yang sedang ditangani Polda Sulsel (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel, Kombes Pol Yudhiawan Wibisono mengatakan ada tiga kasus dugaan korupsi dalam lingkup Dishub Sulsel yang tengah diusut oleh pihaknya.

Ketiga kasus tersebut, kata Yudhiawan, masing-masing kasus dugaan korupsi pengadaan traffic light, dugaan gratifikasi pada kegiataan mutasi kendaraan pelat hitam menjadi pelat kuning dan dugaan korupsi pada kegiatan pembangunan halte Bus Rapid Transit (BRT) mamminasata.

"Kasus traffic light sedang sidik, kasus halte BRT masih lidik menuju sidik, kasus plat kuning juga masih lidik. Semua di Dinas Perhubungan Provinsi," jelas Yudhiawan.

Direktur Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) Kadir Wokanubun, berharap Polda Sulsel serius dalam menuntaskan ketiga kasus dugaan korupsi dalam lingkup Dishub Sulsel tersebut.

"Ketiga kasus ini mendapat perhatian masyarakat. Sehingga perlu penanganan yang maksimal agar kasusnya segera tuntas, tidak tergantung atau nantinya mandek. Masyarakat butuh adanya kepastian hukum dalam penanganan ketiga kasus ini," ucap Kadir.

Apalagi dari ketiga kasus yang dimaksud, yakni kasus dugaan gratifikasi pada kegiatan mutasi kendaraan pelat hitam, keberadaannya telah diungkapkan lebih awal oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui tim koordinator supervisi dan pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (koorsupgah KPK).

"Khusus kasus mutasi pelat hitam, KPK kan sudah beberkan konstruksi hukumnya. Jadi sudah terbantu dan tidak butuh lagi waktu lama untuk mengungkapnya secara utuh," terang Kadir.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya