Mengenal Kearifan Lokal Warga Kampung Adat Cireundeu Menjaga Hutan

Dengan kearifan lokal, masyarakat di Kampung Adat Cireundeu, Kota Cimahi, menjaga kelestarian hutan.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 17 Nov 2019, 06:00 WIB
Diterbitkan 17 Nov 2019, 06:00 WIB
Kampung Adat Cireundeu
Puncak Salam merupakan salah satu gunung yang mengelilingi Kampung Adat Cireundeu. (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Liputan6.com, Bandung - Dengan kearifan lokal, masyarakat di Kampung Adat Cireundeu, Kota Cimahi, menjaga kelestarian hutan. Salah satu buktinya terlihat dari hutan larangan yang terjaga baik.

Kang Entri (35) mengantarkan saya pada Puncak Salam, salah satu gunung yang mengelilingi di kampung ini. Seusai mengobrol dengan Jajat (42), salah seorang penutur kampung adat, Entri meminta saya melepas alas kaki sebelum menaiki puncak gunung.

"Sebenarnya sepatu akang dilepas saat memasuki leuweung (hutan) tutupan, tapi tidak apa-apa dilepas di sini saja biar aman," kata Entri.

Kamis (14/11/2019) siang itu, kami pun memulai perjalanan. Dari Bale Saresehan ke jalan setapak hutan rasanya tidak jauh.

Saat melintasi rumah warga, tampak ada singkong yang sedang dijemur. Begitu juga saat memasuki leuweung baladahan. Lahan tanaman singkong terlihat menghampar.

Warga Kampung Adat Cireundeu sendiri menjadikan singkong sebagai makanan pokok. Bahkan kebiasaan itu sudah ada sejak puluhan tahun silam.

"Dengan makan singkong, warga kita tidak bergantung harga beras. Di saat harga beras terus naik, singkong yang kita tanam sendiri harganya tetap lebih murah, apalagi kita menanam sendiri," ujar Entri.

Selain menanam singkong, Entri menuturkan, warga yang bertani juga menanam jagung, kacang merah dan umbi-umbian. Tanaman tersebut dilakukan secara tumpang sari.

Kami pun tiba di leuweung tutupan. Wilayah ini ditandai jembatan kayu yang menghubungkan hutan selanjutnya. Entri lalu menjelaskan alasan batas memakai alas kaki.

Menanggalkan segala alas kaki, sebagus apapun sepatunya atau sekeren apapun sandal gunungnya, tetap wajib dilakukan. Begitulah masyarakat adat Cireundeu memaknai hutan.

"Hutan itu bukan sebatas isinya pohon yang tumbuh bebas. Hutan adalah alam yang menjadi ibu, dia punya batin yang kuat. Tidak perlu merasa jijik dan kotor sekalipun tidak pakai alas kaki " ujar ayah dua anak itu.

Di balik hutan tutupan ini, terdapat satu hutan yang amat sakral bagi warga adat. Hutan larangan namanya. Selain tidak beralas kaki, memasuki hutan larangan sangat tidak boleh sembarangan.

"Pamali (pantang) bagi warga Kampung Adat Cireundeu memasuki hutan larangan. Hanya pada waktu tertentu saja," kata Entri.

Ia lalu memberi petunjuk gunung-gunung yang mengelilingi Cireundeu. Mulai dari Gunung Cimenteng, Gunung Kunci, dan Gunung Gajahlangu. Yang terakhir ini sekaligus berfungsi sebagai hutan larangan bagi adat Kampung Cireundeu.

Sayangnya, kondisi hutan tutupan saat Liputan6.com mengunjungi lokasi ini baru saja mengalami kebakaran. Entah apakah ada tangan jahil manusia, namun diduga kuat hutan yang boleh dilalui manusia ini terbakar karena kemarau yang berkepanjangan. Pohon bambu yang biasa terlihat rimbun jadi hitam terbakar.

Lereng gunung mulai membuat kaki terasa pegal dan nafas tersengal. Meski begitu, perjalanan tanpa sepatu tetap harus berlanjut hingga puncak. Untungnya, udara jernih yang dihasilkan dari rimbunnya hutan seperti menuntun saya untuk terus melangkah dan merasakan betapa asrinya alam di kampung ini.

Menghirup udara di Puncak Salam, salah satu gunung yang mengelilingi Kampung Cireundeu, rasanya puas sekali. Lantunan suara karinding yang dibunyikan Entri menambah syahdu nikmatnya berada di puncak gunung ini.

Menjaga Kesakralan Hutan

Kampung Adat Cireundeu
Kampung Adat Cireundeu bukan perkampungan tradisional. Terdapat bangunan permanen dan modern di kampung ini. (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Kampung Adat Cireundeu memang bukan tipe perkampungan yang menampakkan suasana tradisional. Ruas jalan di perkampungan ini sudah disemen, bahkan ampir semua bangunan yang ada adalah bangunan permanen.

Mereka tidak menutup diri terhadap perkembangan zaman. Itu terlihat dari penggunaan teknologi di kalangan masyarakatnya. Berbagai peralatan elektronik mereka pakai tak bedanya dengan masyarakat perkotaan.

Namun jika dilihat dari sisi kehidupan sosialnya, masyarakat adat Cireundeu sangat patuh untuk menjaga hutan sakral dalam kehidupan sehari-hari. Sampai sekarang masyarakat adat Cireundeu tidak pernah mengganggu dan merusak kelestarian hutan larangan sekitar 30 hektare. Sehingga kelestarian dan keutuhan hutan yang disakralkan itu tetap terpelihara dengan baik.

"Kalau buat kami masyarakat adat, hutan atau leuweung itu memang wilayah penting, wilayah sakral yang harus dijaga. Kenapa orang tua dulu mewariskan tentang tata wilayah tentang hutan larangan, tutupan dan babadahan, itu adalah konsep dari leluhur atau formula yang sangat bagus sebetulnya untuk menjaga kesimbangan alam," kata Jajat.

Hutan larangan, kata Jajat, tidak boleh ada campur tangan manusia. Apa yang tumbuh di dalam hutan itu dibiarkan tumbuh. Orang Sunda menyebutnya sebagai gentong bumi, yang maksudnya tempat menyimpan air.

"Biar nanti saat musim hujan, airnya tidak berlebihan dan musim kemarau tidak kekurangan," ucap Jajat.

Hingga saat ini, kata Jajat, di kampung yang dihuni sekitar 70 kepala keluarga ini budaya pamali selalu menjadi hal yang harus diperhatikan. Sebabnya, kelestarian hutan adalah kunci keseimbangan hidup.

Hutan larangan sendiri baru bisa dimasuki ketika kondisi habitat di dalamnya mengalami kerusakan. Sesepuh atau orang yang dituakan akan menggelar upacara netepkeun kawilayahan.

"Seandainya sudah rusak, kita harus masuk ke sana dengan syarat puasa mutih. Kita masuk ke sana untuk melihat tanaman mana yang bisa ditanam sebagai pengganti tanaman yang rusak," ujarnya.

Sebelum upacara digelar, kata dia, selama 40 hari bibit kayu terlebih dulu dikarantina. Warga yang menanam bibit juga diwajibkan memantau kondisi pertumbuhan bibit hingga siap untuk ditanam di hutan larangan.

"Sampai kelihatan bisa tumbuh, tapi kalau seandainya bibit tanaman mati harus segera diganti. Jadi tidak boleh sembarangan orang menanam," katanya.

Jajat mengaku upacara netepkeun kawilayahan pernah dilakukan pada 2008 silam. Upacara tersebut digelar setelah terjadinya pembalakan liar yang menyebabkan kondisi hutan larangan rusak.

"Kalau penentuan waktu dilaksanakannya upacara tidak pasti, tergantung pada kondisi. Seperti sekarang ini baru terjadi (kebakaran). Wilayah tutupan habis terbakar semua. Kalau wilayah larangan perlu kesepakatan dulu kapan kita melihat ke sana. Kalau sepakat yang pasti nanti ada upacara netepkeun," ucapnya.

Dua Mata Air Sakral

Kampung Adat Cireundeu
Gunung Gajahlangu merupakan hutan larangan yang disakralkan masyarakat adat Cireundeu. Di sini terdapat dua mata air yang sangat disakralkan. (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Soal kebutuhan air, warga adat di kampung ini mendapatkanya dari mata air di lereng Gunung Gajahlangu. Namanya mata air Caringin.

Selain Caringin, mata air yang amat diandalkan adalah mata air Nyi Mas Ende. Wanita yang sedang datang bulan dilarang mendekat ke lokasi mata air ini guna menjaga kesucian lokasi mata air yang menurut kepercayaan warga setempat adalah kabuyutan atau sesuatu yang sangat dihormati.

Baik Caringin maupun Nyi Mas Ende berada di wilayah kabuyutan atau wilayah larangan. Untuk itu, kedua mata air itu tidak boleh diganggu.

"Di sini kebetulan kita ada dua mata air yang masih utuh dan dijaga sebisa mungkin. Meskipun airnya dimanfaatkan sebagian untuk keperluan rumah tangga," kata Jajat.

Tak hanya warga adat saja yang memakai mata air. Bagi umat Hindu yang tinggal di Cimahi maupun di Bandung, pancuran dari Nyi Mas Ende sendiri merupakan mata air yang dianggap suci. Setiap perayaan Melasti atau ritual membersihkan diri dari hal-hal negatif, mereka akan memilih pancuran Nyi Mas Ende sebagai tempat pelaksanaan penyucian diri.

"Istimewanya, air dari kedua mata air itu bisa langsung diminum," kata Jajat.

Kampung Adat Cireundeu sendiri sering menyabet penghargaan dan apresiasi dari lembaga pemerintah maupun non pemerintah. Teranyar, kampung ini mendapatkan penghargaan Ikon Apresiasi Pancasila tahun 2019 dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

Begitu juga terkait ketahanan pangan sebagai kearifan lokal Kampung Adat Cireundeu dengan sentuhan inovasi bertajuk Gastrodiplomacy Cireundeu yang mendapat apresiasi penghargaan Top 45 Sistem Informasi Inovasi Pelayanan Publik (Sinovik) Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (KIPP) 2019 yang diselenggarakan Kementerian Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi tahun 2019.

Akan tetapi, menurut Jajat, meski ada banyak penghargaan yang diberi bukan berarti wilayah hutan di Cireundeu aman. Ia melihat banyak tantangan yang dihadapi terutama soal pembangunan yang menggerus wilayah hutan.

"Hutan ini kan dekat dengan kota dan tantangannya ini sangat luar biasa untuk menjaga hutan. Yang namanya kota itu selalu membangun sehingga terjadilah alih fungsi lahan. Makanya sekuat tenaga kami terus jaga. Masyarakat adat Cireundeu mensakralkan hutan larangan itu sendiri demi keberlangsungan kehidupan sekarang dan anak cucu nanti," kata Jajat.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya