Kisah Gatot Gunawan, Tepis Mimpi demi Mendidik Anak-Anak di 'Kampung Preman' Lio Genteng

Gatot Gunawan Djaya Haryono, seorang penari lulusan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Kota Bandung rela menghabiskan waktunya untuk memperbaiki mental anak-anak di Lio Genteng, yang terkenal sebagai 'Kampung Preman'.

oleh Arie Nugraha diperbarui 22 Nov 2019, 04:00 WIB
Diterbitkan 22 Nov 2019, 04:00 WIB
Kisah Gatot Gunawan, Tepis Mimpi demi Selamatkan Mental Anak-Anak di Lio Genteng Bandung
Pendidikan yang diberikan kepada generasi muda warga Lio Genteng, Astana Anyar, Bandung, Kamis (21/11/2019). (Dokumentasi SR Iboe Inggit Garnasih)

Liputan6.com, Bandung - Menjadi seorang pendidik tak harus selalu berprofesi sebagai guru. Namun, pria asal Bandung ini bisa disebut guru karena tekadnya mendidik generasi muda yang patut ditiru.

Dialah Gatot Gunawan Djaya Haryono, seorang penari lulusan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Kota Bandung. Pria kelahiran 7 Juni 1987 itu, dengan sukarela menghabiskan waktunya demi mengabdi untuk dunia pendidikan.

Berawal dari perkenalannya dengan seseorang yang tinggal di Lio Genteng, Astana Anyar, Kota Bandung, kawasan yang terkenal sebagai 'Kampung Preman'. Orang itu menceritakan kondisi lingkungan dan perilaku generasi muda di sana. Kehidupan anak-anak di wilayah itu cenderung di luar batas norma perilaku anak-anak.

"Yang tidak saya rasakan sewaktu saya kecil. Kemudian pola mendidik orangtua yang cenderung kasar kepada anak yang bertolak belakang dengan pola didik orangtua saya dulu," kata Gatot kepada Liputan6.com, Bandung, Kamis, 21 November 2019.

Usai melihat kondisi di sana, Gatot merasa terpanggil jiwanya untuk langsung turun tangan memperbaiki kehidupan di Lio Genteng. Alasannya hanya satu pada waktu itu, tertantang.

"Liarnya mereka dari kelakuan, cara berpikir dan tutur bahasanya layaknya seperti orang dewasa dan senang dengan hal-hal yang berbau kekerasan," ungkap Gatot.

Memang jika dirunut dengan rekam jejak akademiknya sebagai penari, tidak ada kaitannya sama sekali. Namun, jika di lihat dari sisi lain, Gatot menjelaskan di dunia seni khususnya tari, tidak hanya selalu berlatih gerak atau teknik tari.

Baik dosen maupun senior Gatot di kampus, selalu menekankan pentingnya olah rasa dan kepekaan terhadap peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Karena dengan teknik gerak yang baik, ditambah mampu mengolah rasa maka tarian tersebut akan hidup dan bernyawa.

"Kondisi di Astana Anyar merupakan tantangan bagi saya pribadi, tentang ilmu olah rasa dan kepekaan tersebut dengan memberikan ilmu apa pun yang saya punya untuk kebaikan dan bekal mereka kelak," ucap Gatot.

Berbekal keilmuannya soal tari, Gatot merintis misinya dengan menggelar pertunjukan seni. Tentunya, dengan merangkul anak-anak dan warga sekitar. Beberapa rekan seni Gatot ikut berpartisipasi pula untuk menyemarakkan.

Setelah sering mengadakan pertunjukan di daerah, Gatot pun membawa anak-anak berjalan-jalan seperti ke museum, berbagai taman, berenang, silaturahmi dengan komunitas. Alhasil, mereka terlihat senang karena ini merupakan salah satu cara untuk membuka interaksi mereka dengan dunia luar yang selama ini mereka 'tak bisa' keluar dari lingkungannya.

"Tipikal anak-anak 'liar' seperti di sana, mereka akan selalu senang dengan hiburan yang sifatnya dapat melibatkan seluruh elemen masyarakat di sana. Suasana yang gegap gempita dan menjadi sorotan banyak orang akan menambah rasa PD mereka," Gatot menegaskan.

Gatot sadar, karakter anak-anak yang biasa menghamburkan waktu dan berperilaku di luar batas kenormalan semacam di Astana Anyar akan merasa jemu apabila belajar seperti sekolah formal. Oleh karena itu, siasat awal yang dilakukan adalah memperbanyak materi dengan cara bermain.

Dengan berbekal fenomena itulah, akhirnya Gatot membentuk sebuah wadah pendidikan nonformal dan cikal bakal Sekolah Ra'jat Iboe Inggit Garnasih (SR). SR Iboe Inggit Garnasih ini bisa diibaratkan seperti rumah kedua anak-anak Astana Anyar. Karena di samping mendapat ilmu, mereka juga bisa bermain dengan positif yang didampingi sejumlah kakak asuh.

Kakak asuh yang membantu Gatot merupakan pendidik anak-anak Lio Genteng yang berasal dari pelajar SMA, perguruan, komunitas seni, dan pemuda Lio Genteng, Bandung. Materi yang disampaikan berupa pelajaran sejarah, wawasan kebangsaan, budi pekerti, seni budaya, olahraga, bahasa, dan ejaan lama.

"Perkembangannya setelah dua tahun berjalan, memang perlu waktu yang sangat panjang mendidik anak-anak yang hidup di lingkungan yang tidak ramah anak. Meski mood mereka naik turun, kegiatan belajar mengajar tidak pernah kosong," terang Gatot.

 

Menepis Mimpi-Mimpi

Kisah Gatot Gunawan, Tepis Mimpi demi Selamatkan Mental Anak-Anak di Lio Genteng Bandung
Pendidikan yang diberikan kepada generasi muda warga Lio Genteng, Astana Anyar, Bandung, Kamis (21/11/2019). (Dokumentasi SR Iboe Inggit Garnasih)

Gatot pun harus ekstra berstrategi agar anak selalu tertarik mengikuti 'kelas'-nya. Di antaranya dengan membuat kegiatan belajar mengajar dengan variatif. Semisal latihan baris-berbaris menggunakan senjata mainan dalam pengenalan sejarah. Metode latihannya semacam parade militer.

Bahkan, dalam waktu dekat ini akan ada materi tinju. Seluruh materi itu diberikan agar instinct liar mereka lebih terarah ke hal positif dan menjadi motivasi mereka untuk berubah.

Berdasarkan data yang dicatat Gatot, sebanyak 45 orang anak telah terdaftar sebagai siswa SR Iboe Inggit Garnasih. Sekolah itu lokasinya di bangunan yang merupakan Aula RW 05 dan Poskamling Jalan Lio Genteng, Kelurahan Nyengseret, Kecamatan Astana Anyar, Bandung.

"Alhamdulilah, orangtua antusias karena mereka melihat kegiatannya positif mau kegiatan sampai malam atau dibawa keluar pun mereka tidak pernah melarang apalagi kegiatannya semua gratis. Daripada hidup liar di jalanan dan ada yang mengasuh, mereka senang," sebut Gatot.

Dengan perjalanan mengubah kondisi pendidikan dan mentalitas anak-anak di Astana Anyar yang cukup panjang, Gatot mengaku tanggung jawabnya menjadi bertambah karena menjadi prioritas utama.

Harapan Gatot hanya satu, yaitu ingin melihat SR Iboe Inggit Garnasih bisa mandiri dan berdiri sendiri, dikelola oleh pemuda daerah sendiri. Dan perlu diingat oleh seluruh kalangan, kata Gatot, seluruh operasional sekolah nonformal itu tanpa pungutan biaya, pun untuk peminjaman bangunannya.

Gatot akui dirinya hanya sebagai pemicu karena SR Iboe Inggit Garnasih sebenarnya milik warga Lio Genteng. Setelah berjalan dan kalangan remajanya memahami apa tujuan, strategi, dan sasaran SR Iboe Inggit Garnasih sebenarnya, barulah Gatot akan menyerahkan sepenuhnya seluruh operasional sekolah itu.

Waktu terus berlalu dan Gatot menjalaninya dengan ikhlas. Hal ini jauh dari kata mendekati cita-citanya dahulu, menjadi seorang tentara atau memasuki dunia militer begitulah harapan awalnya.

"Dari kecil pengen jadi tentara, makanya dari SD sampe SMA masuk Pramuka sama Paskibra. Beres SMA daftar TNI, pas tes awal langsung gagal. Ikut tes IPDN gagal juga," Gatot bilang sambil tertawa.

Akhirnya Gatot berkuliah di jurusan Hubungan Internasional (HI) Universitas Pasundan (Unpas) Bandung. Gatot hanya bertahan dua tahun di sana karena tidak sehati. Dalam benaknya waktu itu, saat lulus nanti paling banter menjadi pegawai bank. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.

Karena pesimis menjadi seorang diplomat, Gatot tanpa memberitahukan kepada orangtuanya mendaftar ke jurusan tari STSI Bandung. Pasalnya, selama di jurusan HI Unpas sering menonton pertunjukan dan terpikir menjadi seorang lelaki penari. Mendaftarlah Gatot dan diterima.

Awalnya, dua jurusan yang tidak nyambung di perguruan tinggi berbeda itu dilakoninya. Darah seni kadung sudah mengalir dalam tubuhnya, Gatot keluar dari jurusan HI Unpas. Kuliah menari lebih dinamis, memantapkan Gatot fokus di dunia seni.

"Tidak apa-apa cita-cita saya tidak tercapai. Apa pun itu, yang terpenting saat ini berjuang sampai titik darah penghabisan," Gatot menandaskan.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya