Harap-Harap Cemas Ratusan Petani Pelalawan Supaya Lahannya Tak Dieksekusi

Petani lahan plasma yang tergabung pada Koperasi Gondai Bersatu di Kabupaten Pelalawan berharap eksekusi bisa ditunda karena menjadi satu-satunya mata pencaharian.

oleh Syukur diperbarui 02 Feb 2020, 04:00 WIB
Diterbitkan 02 Feb 2020, 04:00 WIB
Tenda yang didirikan anggota Koperasi Gondai Bersatu, Kabupaten Pelalawan, sebagai perlawanan eksekusi lahan.
Tenda yang didirikan anggota Koperasi Gondai Bersatu, Kabupaten Pelalawan, sebagai perlawanan eksekusi lahan. (Liputan6.com/M Syukur)

Liputan6.com, Pelalawan - Kecemasan terus melanda ratusan petani di Desa Gondai, Kabupaten Pelalawan. Ragam instansi menjadi tempat mengadu agar rencana eksekusi lahan plasma 1200 hektare tidak dilakukan tapi belum ada kabar membahagiakan hingga kini.

Hingga Jumat petang, 31 Januari 2020, sudah 1.000 hektare lebih lahan ditanam sawit rata dengan tanah. Luasan itu memang masih lahan inti PT Peputra Supra Jaya (PSJ), 'bapak angkat' petani, namun akan sampai juga ke lahan plasma sesuai putusan MA No 1087 K/Pid.Sus.LH/2018.

Kuasa hukum Koperasi Gondai Bersatu, Asep Rukhiyat, memastikan akan ada 700 petani kehilangan sumber kehidupan jika eksekusi lahan plasma dilakukan. Dia hanya berharap ada pihak yang mendengar dan menunda eksekusi sampai ke petani.

"Masing-masing petani punya dua hektar lahan yang masuk dalam vonis MA itu. Putusan hakim tertinggi harus dihormati namun ada alasan kemanusiaan di sini," kata Asep.

Asep meminta pemerintah mempertimbangan ayat 1 dan 2 dalam Pasal 33 UUD 1945. Begitu juga dengan ayat 3 yang menyebut bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

"Di sini ditegaskan demi kemakmuran rakyat, bukan kemakmuran perusahaan," kata Asep.

Asep menjelaskan, Koperasi Gondai Bersatu bersama masyarakat Batin Palabi (pemuka adat) mengharapkan Dinas Lingkungan dan Kehutanan segera menunda eksekusi lahan seluas lebih 3.000 hektare di Gondai.

"Jika terus dilanjutkan (eksekusi), maka yang ada hanyalah mudarat, petani akan mengalami derita panjang karena mata pencarian mereka hilang," terangnya.

Asep berharap pemerintah memberikan solusi terbaik dalam konflik antara PSJ dengan PT Nusa Wana Raya (NWR). Pasalnya, konflik dua perusahaan ini mengorbankan petani kecil yang sudah ada di sana sejak tahun 1995.

Asep yakin Presiden Joko Wododo (Jokowi) akan mendengarkan jeritan petani perkebunan kelapa sawit di Desa Gondai Kecamatan Langgam Kabupaten Pelalawan itu. Asep menyebyt ada ribuan anak manusia yang terancam kelaparan dan anak-anak berpotensi putus sekolah jika eksekusi lahan plasma dilakukan.

"Bapak Presiden Jokowi sangat mendukung industri perkebunan sawit sebagai sektor paling produktif untuk meningkatkan perekonomian negara dan masyarakat. Terlebih beliau adalah pemimpin yang lahir dari masyarakat sehingga diyakini kebijakannya akan berpihak ke rakyat," ucap Asep.

Peluang Penataan Kawasan Hutan

Alat berat yang dikerahkan untuk mengeksekusi lahan inti PT Peputra Supra Jaya di Kabupaten Pelalawan.
Alat berat yang dikerahkan untuk mengeksekusi lahan inti PT Peputra Supra Jaya di Kabupaten Pelalawan. (Liputan6.com/M Syukur)

Imbas perseteruan PT PSJ dan PT NWR ini mendapat perhatian dari Rumah Nawacita yang merupakan bagian dari Relawan Jokowi Center Indonesia (RJCI). Founder Rumah Nawacita, Raya Desmawanto berjanji mengawal perjuangan ratusan petani sawit Gondai, Kecamatan Langgam, Pelalawan, Riau.

Raya menjelaskan, petani Gondai tidak harus menjadi korban karena PT PSJ dalam vonis MA dinyatakan menanam sawit tanpa mengantongi izin usaha perkebunan. Menurutnya putusan MA ini harus dihormati karena berkekuatan hukum tetap.

Menurut Raya, kasus ini bisa menjadi pintu masuk “kehadiran negara” untuk melakukan penataan agraria pada lahan/hutan. Baik itu yang berada kawasan hutan atau non kawasan hutan supaya dikelola masyarakat untuk menopang ekonomi masyarakat.

"Ada dua peraturan presiden yang mungkin bisa menyelesaikan polemik ratusan masyarakat yang menggantungkan hidupnya di Gondai saat ini," lanjutnya.

Pertama penataan agraria melalui program reforma agraria yang diatur Peraturan Presiden nomor 88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PTKH) dan Peraturan Presiden nomor 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria.

Kemudian, Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian nomor 3 tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Tim Inventarisasi dan Verifikasi Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (Inver PTKH).

Raya mengatakan, PSJ di Pelalawan mengelola sekitar 9.324 hektare perkebunan sawit, 3.323 di antaranya merupakan objek putusan MA. Dari penelusuran Rumah Nawacita, PSJ hanya mengantongi izin usaha perkebunan seluas 1.500 hektare.

"Jadi ada 4.500 hektare lahan yang dikelola tanpas status yang jelas. Alangkah baiknya masyarakat dan kelompok tani yang terdampak eksekusi itu diberikan 4.500 hektare lahan dalam bentuk TORA karena sudah ada Perpres dan Permen," katanya.

Raya menyarankan Satgas Penertiban Hutan dan Lahan Provinsi Riau menghitung batas-batas kawasan sehingga keberadaan lahan atau hutan memiliki legalitas penguasaan dan pengelolaan yang jelas secara hukum.

"Masyarakat yang terkena dampak dari putusan MA ini harus mendapat prioritas utama sebagai subjek penerima objek reforma agraria. Apakah diselesaikan dengan skema TORA atau perhutanan sosial," jelasnya.

Sementara itu, pakar hukum Universitas Riau DR Erdiansyah mengatakan bahwa putusan MA tidak ada yang salah, meski dalam putusan itu turut mencantumkan PT Nusa Wana Raya (NWR). Dia menganalogikan bahwa jika ada seseorang yang kehilangan sepeda motor, maka korban yang akan melaporkan kehilangan itu ke polisi.

"Begitu juga NWR, karena dia yang merasa kehilangan dan putusannya juga dikembalikan kepada perusahaan," ujarnya.

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya