Ajukan PK, Bisakah Eksekusi Lahan Petani di Pelalawan Dihentikan?

Kelompok petani dan perusahaan di Kabupaten Pelalawan mengajukan PK terhadap putusan MA yang memenangkan PT Nusa Wana Raya atas PT Peputra Supra Jaya. Mereka meminta eksekusi lahan dihentikan.

oleh M Syukur diperbarui 25 Jan 2020, 04:00 WIB
Diterbitkan 25 Jan 2020, 04:00 WIB
Petani plasma di Kabupaten Pelalawan meminta kepada petugas untuk menghentikan eksekusi hingga putusan PK keluar.
Petani plasma di Kabupaten Pelalawan meminta kepada petugas untuk menghentikan eksekusi hingga putusan PK keluar. (Liputan6.com/M Syukur)

Liputan6.com, Pelalawan - Sudah hampir sepekan masyarakat di Desa Gondai, Kabupaten Pelalawan, Riau, bertahan di kebun sawit miliknya. Mereka mengamati eksekusi lahan inti PT Peputra Supra Jaya (PSJ) oleh Seksi Penegakan Hukum Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Sesekali, ketegangan terjadi di lokasi eksekusi lahan "bapak angkat" masyarakat tadi. Pasalnya, ribuan hektare lahan plasma mereka akan jadi target setelah penumbangan sawit milik perusahaan.

Selain menggunakan tenaga untuk menggagalkan eksekusi lahan plasma, kelompok tani di sana juga menggunakan jalur hukum. Hal serupa juga dilakukan PT PSJ agar putusan Mahkamah Agung (MA) yang membuat lahan berpindah tangan ke PT Nusa Wana Raya itu batal.

Dr Nurul Huda, selaku kuasa hukum PT PSJ, mengaku sudah menyurati Dinas LHK Riau untuk menghentikan penebangan sawit.

Dia meminta waktu sampai ada putusan peninjauan kembali (PK) keluar. Surat ini juga ditembuskan ke Gubernur Riau Syamsuar dan pihak terkait.

Namun, hingga Kamis malam, 23 Januari 2020, belum ada jawaban dari Dinas LHK.

Menurut Nurul, perlu dipertimbangkan pasal 7 ayat 2 huruf F dan pasal 55 Undang-Undang nomor 30 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebelum eksekusi lahan dilakukan.

"Pasal itu mengatur bahwa pemerintah wajib memanggil masyarakat terimbas produk hukum. Perlu juga dipertimbangkan aspek sosiologis," katanya.

Konsekuensi Negara Hukum

Petani di Desa Gondai mendirikan posko sebagai bentuk perlawanan eksekusi lahan.
Petani di Desa Gondai mendirikan posko sebagai bentuk perlawanan eksekusi lahan. (Liputan6.com/M Syukur)

Terpisah, akademisi dari Universitas Riau, Mexasai Indra memberikan pandangan berbeda terkait permasalahan ini. Dia menilai tidak seorang pun yang bisa menghalangi jalannya eksekusi, termasuk Presiden RI.

"Jika ada lembaga negara lain yang melakukan intervensi termasuk Presiden sekalipun ini merupakan pelanggaran terhadap konstitusi negara," tegas Mexasai.

Mexasai menyebutkan, presiden tidak memiliki kewenangan melarang putusan MA yang merupakan lembaga peradilan tertinggi. Dia menyatakan, eksekusi yang dilaksanakan DLHK Provinsi Riau itu merupakan tindak lanjut putusan MA karena telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijs).

"Dan setiap putusan pengadilan berlaku asas resjudicata vapoir tate hebiture atau setiap putusan hakim dianggap benar," terang Mexasai.

Mexasai menilai, pelaksanaan eksekusi bersumber dari konsep kedaulatan negara dan kedaulatan hukum. Oleh karena itu, setiap warga negara berkewajiban menghormatinya.

"Jika ada yang menghalangi, maka tindakan tersebut dapat dikualifikasi sebagai bentuk contempt of court atau penghinaan terhadap pengadilan," tegasnya.

Jika ada pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan putusan pengadilan, kata Mexasai, maka mereka harus menempuh dengan upaya hukum lainnya. Termasuk peninjauan kembali sesuai dengan konsep prosedural justice.

"Atau sekiranya dalam proses persidangan ada hal-hal yang dianggap janggal dapat melaporkan ke Komisi Yudisial sebagai lembaga yang berwenang untuk menegakkan kode etik (code of etic) prilaku hakim, itulah konsekuensi dari ajaran negara hukum," terangnya.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya