Hikayat Buaya Sungai Palu dan Budaya Kuno Suku Kaili

Adapula bukti lukisan kuno di atas kain yang didapatkan peneliti dari warga sekitar Sungai Palu pada tahun 2009 lalu. Dalam lukisan itu terdapat dua ekor buaya saling berhadapan.

oleh Heri Susanto diperbarui 23 Feb 2020, 00:00 WIB
Diterbitkan 23 Feb 2020, 00:00 WIB
Tampak dari udara, Sungai Palu dengan tanggul pengaman yang melintasi tepat di tengah Kota Palu yang jadi habitat buaya, Jumat (21/2/2020). (Foto: Liputan6.com/Heri Susanto)
Tampak dari udara, Sungai Palu dengan tanggul pengaman yang melintasi tepat di tengah Kota Palu yang jadi habitat buaya, Jumat (21/2/2020). (Foto: Liputan6.com/Heri Susanto)

Liputan6.com, Palu - Keberadaan buaya di Sungai Palu terikat erat dengan kebudayaan Suku Kaili. Hal itu dibuktikan dengan banyak bermunculannya cerita kearifan lokal, bahkan lukisan kuno mengenai interaksi buaya dengan penduduk di Lembah Palu.

Sementara BKSDA Sulteng memperkirakan jumlah buaya di Sungai Palu saat ini sebanyak 15 ekor. Pembangunan kawasan sungai juga disebut telah mengubah ekosistem hidup buaya di lokasi tersebut.

Jauh sebelum munculnya buaya berkalung ban yang menghebohkan para pecinta satwa, hewan buas tersebut telah menjadikan Sungai Palu hingga muara sebagai habitatnya dan menjadi bagian dari budaya masyarakat Kota Palu dan Sigi.

Kepala Seksi Pelestarian dan Pengembangan Museum Sulawesi Tengah, yang juga peneliti sejarah dan budaya Sulawesi Tengah, Iksam, mengungkapkan, masyarakat kaili di Lembah Palu dahulu tidak menyebut buaya di Sungai Palu sebagai binatang, mereka menyebutnya olokolo, sebagai bentuk pengsakralan.

Cerita-cerita rakyat tentang kaitan hewan liar tersebut dengan peristiwa-peristiwa alam semacam banjir juga masih dipercaya sebagian warga di sepanjang bantaran Sungai Palu hingga saat ini.

"Setiap kelurahan di sepanjang Sungai Palu punya cerita-cerita rakyat tentang buaya yang menjadi kearifan lokal. Itu juga cara warga menjaga satwa liar Sungai Palu," urai Iksam di kantornya, Jumat (21/2/2020).

Antropolog lulusan UNHAS Makassar itu mengungkapkan salah satu cerita buaya Muara di Sungai Palu yang terdokumentasi yakni serangan buaya besar terhadap warga pada tahun 1935. Buaya yang dinamai Lagoroba itu lalu dibunuh oleh warga dibantu seorang Belanda.

“Peristiwa itu (serangan buaya) didokumentasi dan dipublikasikan oleh otoritas belanda di Palu saat itu. Itu serangan terburuk," Iksam menjelaskan.

Lukisan Kuno Buaya Sungai Palu

Lukisan buaya dan hewan-hewan lain pada selembar kain yang perkirakan berusia ratusan tahun yang ditemukan Antropolog, Iksam. (Sumber Foto: Drs Iksam/Heri Susanto/Liputan6.com)
Lukisan buaya dan hewan-hewan lain pada selembar kain yang perkirakan berusia ratusan tahun yang ditemukan Antropolog, Iksam. (Sumber Foto: Drs Iksam/Heri Susanto/Liputan6.com)

Adapula bukti lukisan kuno di atas kain yang didapatkan peneliti dari warga sekitar Sungai Palu pada tahun 2009 lalu. Dalam lukisan itu terdapat dua ekor buaya saling berhadapan, sementara di atasnya terdapat gambar perahu layar tradisional serta hewan-hewan lain yang erat dengan budaya dan sejarah masyarakat kaili seperti ular, kuda dan sapi.

"Kami perkirakan lukisan itu berusia ratusan tahun dan dulunya dilukis di atas kulit kayu," terangnya.

Iksam menilai saat ini kesakralan buaya di Sungai Palu itu mulai berkurang karena seringnya kemunculan hewan yang dilindungi tersebut akibat perubahan habitatnya. Terutama pembanguan kawasan tepi sungai.

"Dulu di bawah tahun 2000-an jarang bisa melihat kemunculan buaya-buaya itu. Sekarang, bahkan orang-orang bisa berfoto," tambah dia.

Pembangunan yang Mengubah Habitat dan Perilaku Buaya Sungai Palu

Mengenai keberadaan buaya di Sungai Palu hingga muara itu, pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulteng mengaku belum punya data pasti jumlah populasi satwa itu. Namun berdasarkan pemantauan yang dilakukan tahun 2018 atau sebelum bencana gempa melanda Palu, survei petugas mendapati belasan ekor buaya di sepanjang sungai dari Kelurahan Tatura, Palu Selatan hingga muara yang berjarak 5 kilometer.

"Ada sekitar 15 ekor yang kami dapati saat survei malam hari. Kami belum lakukan survei kembali karena masih pembenahan pascabencana. Tapi itu bukan data pasti, sebab harus dilakukan penghitungan dengan metode yang baik," ungkap Kepala Konservasi Wilayah I BKSDA Sulteng, Haruna Hamma, Sabtu (15/2/2020).

Habitat buaya di Sungai Palu disebut Haruna juga telah banyak berubah terutama karena pembangunan tanggul pencegah banjir di sepanjang sungai hingga muara yang mempersempit “rumah” satwa berjenis buaya muara itu.

Hal tersebut juga menjelaskan mengapa hewan itu lebih sering terlihat atau menampakkan diri saat ini. Pengurangan juga terjadi pada nesting ground atau tempat bertelur si buaya.

Sisi Bahaya Buaya Muara di Sungai Palu

Sejarawan dan Budayawan Sulteng, Iksam, menunjukkan temuannya yang jadi bukti interaksi buaya dan masyarakat Palu sejak dulu, Jumat (21/2/2020). (Foto: Liputan6.com/Heri Susanto)
Sejarawan dan Budayawan Sulteng, Iksam, menunjukkan temuannya yang jadi bukti interaksi buaya dan masyarakat Palu sejak dulu, Jumat (21/2/2020). (Foto: Liputan6.com/Heri Susanto)

"Dulu itu sepanjang Sungai banyak nesting ground buaya, setelah penanggulan sungai banyak yang hilang. sekarang area favorit bertelur buaya salah satunya ada di tepi sungai di Kelurahan Tatura, Palu Selatan," Haruna menjelaskan.

Berdasarkan pemantauan BKSDA pula, kehidupan hewan-hewan bernama latin Crocodylus Porosus itu masih baik bahkan relatif belum menjadi ancaman bagi manusia. Makanan berupa ikan yang masih melimpah dan adanya kebiasaan warga memberi makan jadi salah satu penyebab satwa itu tidak kekurangan makanan.

Meski tampak tidak seagresif buaya di tempat lain, pihak BKSDA Sulteng tetap meminta warga untuk tidak mengganggu hewan itu sebab naluri sebagai hewan buas tetap ada dan menjadi ancaman.

"Sekarang memang tidak begitu agresif, tapi ada saat-saat tertentu buaya itu bisa menyerang, misal saat lapar dan musim kawin," kata anggota Tim Satgas Penanganan Satwa Liar, Andi Maruf Saehana.

Sungai Palu dan buaya-buaya muaranya saat ini tengah menjadi perhatian pecinta satwa bersamaan dengan kemunculan buaya berkalung ban. Beberapa pihak menyebut buaya berkalung ban tersebut merupakan simbol tidak maksimalnya upaya perlindungan satwa dilindungi di Sungai Palu.

Mengenai ini Kepala BKSDA Sulteng, Hasmuni Hasmar mengatakan bahwa penanganan buaya dan habitatnya di lokasi itu harus dengan keterlibatan pemda setempat. Ini karena kawasan Sungai Palu bukan wilayah konservasi, melainkan kawasan esensial yang membatasi penanganan BKSDA hanya terkait satwa, bukan kawasan habitatnya secara keseluruhan.

"Sungai Palu sampai saat ini bukan wilayah kerja BKSDA, tapi ada buaya yang dilindungi di sana. Jadi butuh penanganan terpadu dengan pemerintah daerah," jelas Hasmuni Hasmar kepada Liputan6.com, Rabu (29/1/2020) lalu.

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya