Tapak Tilas Jembatan Maut Ngete Colomadu Karanganyar

Masyarakat mengenalnya sebagai Jembatan Plempungan atau Jembatan Ngete. Foto-foto jembatan ini menyajikan pemandangan yang memacu adrenalin.

diperbarui 26 Feb 2020, 05:00 WIB
Diterbitkan 26 Feb 2020, 05:00 WIB
Ilustrasi Jembatan Gantung
Anak anak melintasi jembatan dari kayu yang menjadi penghubung antara Jalan Karet Pasar Baru VII, Karet Tengsin dan Jalan Pam Baru, Bendungan Hilir, Tanah Abang, Rabu (30/1). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Karanganyar - Sekitar tiga tahun lalu, jembatan gantung yang menghubungkan Desa Bolon, Colomadu, Karanganyar, dengan Desa Tegalrejo, Boyolali, ini sempat viral sebagai jembatan maut.

Masyarakat mengenalnya sebagai Jembatan Plempungan atau Jembatan Ngete. Foto-foto jembatan ini menyajikan pemandangan yang memacu adrenalin.

Masyarakat yang mengendarai sepeda motor harus meniti papan kayu selebar sekitar 50 sentimeter hingga 60 sentimeter. Di bawahnya ada sungai sekitar 30 meter dari jembatan.

Tak hanya sulit, jembatan itu juga berbahaya karena minimnya penerangan pada malam hari.

Meski begitu, warga tetap nekat menggunakannya untuk menyingkat waktu tempuh perjalanan dibandingkan menggunakan jalur utama yang memutar.

Kengerian itu berakhir semenjak dibangunnya jembatan baru di sebelah jembatan gantung Plempungan pada 2016 silam.

Kini jembatan gantung peninggalan zaman kolonial Belanda itu hanya sebagai sarana aliran pengairan sawah.

Struktur bangunan dari kayu dan besi yang penuh kenangan tersebut masih tetap dipertahankan. Banyak yang datang untuk berfoto di jembatan itu.

Kenangan menggunakan jembatan yang menguji adrenalin hingga 2016 itu masih melekat di benak warga sekitar yang kerap menggunakannya.

 

Baca berita menarik lainnya di Solopos.com

Kini Sebagai Jalur Pengairan

Salah satunya Hermawan, 24, warga Plempungan RT 001/RW 002, Bolon, Colomadu. Dia mengaku memiliki banyak kenangan di jembatan gantung itu.

Menurutnya, warga sekitar yang sudah terbiasa melewati jembatan menggunakan sepeda motor pun kesulitan. Pengendara harus meniti jalur yang sempit dengan satu tangan memegang pegangan besi jembatan.

Tak sedikit warga yang terperosok ke bawah dan harus dibantu warga lain untuk mengangkatnya. 'Kalau dulu kan sebutannya jembatan maut. Tapi warga tetap nekat melintasinya, soalnya kalau lewat sini lebih cepat," kenang dia kepada Solopos.com, belum lama ini.

Meskipun tidak sampai jatuh ke sungai di bawah, kalau tidak hati-hati salah satu ban motor bisa terperosok karena tidak seimbang.

"Saya juga pernah mengalaminya," kata Hermawan.

Jembatan dari besi dan kayu yang sudah tua itu saat ini hanya menjadi kenangan. Keberadaan jembatan itu masih dijaga warga dan difungsikan sebagai jalur pengairan.

Kepala Desa Bolon, Mulyanto, berencana mengusulkan jembatan bernama asli Jembatan Ngete itu sebagai benda cagar budaya (BCB).

Bangunan tersebut menyimpan sejarah panjang sejak era kolonial Belanda.

"Jika menjadi BCB jembatan ini bisa lebih terawat. Sekarang kan sudah tidak digunakan lagi karena sudah ada jembatan baru yang lebih layak," jelas dia. (AMA/PNJ)

 

Simak Video Pilihan Berikut:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya