Jejak Hikayat Atisa dan Maha Guru Dharmakirti di Swarnadwipa Muarajambi

Atisa adalah seorang yang berperan penting dalam membangun gelombang kedua Buddhisme dari Tibet. Ia pernah menjadi murid dari guru besar Buddhis, yakni Guru Swarnadwipa, Serlingpa Dharmakirti.

oleh Gresi Plasmanto diperbarui 04 Mar 2020, 03:00 WIB
Diterbitkan 04 Mar 2020, 03:00 WIB
Umat Buddha Waisak di Muarajambi
Umat Buddha sedang beribadah dalam perayaan Waisak se-Sumatera 2562/2018 di kompleks percandian Muarajambi. (Liputan6.com / Dok Desa Wisata Muarajambi)

Liputan6.com, Jambi - Aku memuati dua gajah dengan beragam hadiah dan dijaga oleh empat upasaka. Untuk, membuat sebuah pawai persembahan bagi Guru Serlingpa, aku meminta semua biksu yang fasih mendaraskan tripitaka untuk mengenakan tiga jubah yang telah dicelup dalam safron Kashmir. Barisan itu menyerupai pelangi pancawarna.

Lalu kami menuju ke Istana Payung Perak, kediaman Serlingpa. Walau aku telah dekat dengan sang guru sedari masa tiada mula, belum lagi kuterima petunjuk darinya dikehidupan ini. Serlingpa memulai ajarannya dalam lima belas babak. Abhisamayalamkara, Hiasan Penyadaran Jernih, oleh Maitreya.

Inilah kutipan yang ditulis dalam buku Mimpi-Mimpi Pulau Emas. Kutipan ini menggambarkan bagaimana Atisa Dipamkara Shrijnana dan rombongannya saat tiba di Swarnadwipa untuk belajar dengan Maha Guru Swarnadwipa, Serlingpa Dharmakirti.

Atisa adalah seorang yang berperan penting dalam membangun gelombang kedua Buddhisme dari Tibet. Ia pernah menjadi murid dari guru besar Buddhis, yakni Guru Swarnadwipa, Serlingpa Dharmakirti.

Dalam sejarahnya Maha Guru Buddha Atisa Dipamkara Shrijnana dari Tibet. Ia pernah tinggal dan belajar di Candi Muarajambi, Sumatera, selama 12 tahun lamanya atau sekitar tahun 1011-1023 Masehi.

Dalam buku Mimpi-Mimpi Pulau Emas yang ditulis dalam tiga terjemahan itu menulis, Atisa tinggal bersama Serlingpa Dharmakirti di Istana Payung Perak dan melanjutkan laku menyimak, merenung, dan samadhi selama dua belas tahun.

Selama menghabiskan waktunya di Muarajambi, Atisa belajar kepada gurunya Serlingpa Dharmakirti tentang Boddhi Citta (batin pencerahan) yang berdasarkan cinta kasih dan welas asih.

Di samping mempelajari segala aspek Boddhi Citta, seperti yang dikutip dari laman Kadamchoeling.or.id, Atisa pertama-tama menerima pelajaran Abhisamayalamkara selama lima belas sesi. Lalu instruksi tentang sutra-sutra Prajnaparamita sesuai dengan yang diturunkan oleh Maitreya kepada Arya Asangha.

"Setelah mempelajari dan mempraktikkan ini semua, Atisa Dipamkara Shrijnana mencapai realisasi Bodhi Citta," tulis Kadamchoeling.

Boddhi Citta

Arca Prajnaparamita
Arca Prajnaparamita di Museum Candi Muarajambi. Arca ini menjadi salah satu aspek sifat seorang bodhisattva. (Liputan6.com / Gresi Plasmanto)

Pada tahun 1025 Masehi, Atisa kembali berlayar pulang ke Nalanda, India. Ia membawa serta ajaran berharga yang dipercayakan kepadanya oleh sang guru yang tersohor dari Swarnadwipa itu. Kemudian pada tahun 1041 Masehi, Raja Tibet Barat Yeshe O mengundang Atisa untuk menyatukan semua segi ajaran Buddha-Theravada, Mahayana, dan Vajrayana.

Ajaran yang dibawa Atisa dari Muarajambi itu kini dikenal dengan nama Boddhi Citta atau Bodhi-patha-pradipa.

Dalam literatur yang ditulis Swarnadwipa Muarajambi (Sudimuja), semasa di Tibet, Atisa merangkum ajaran-ajaran yang diperolehnya dari Muarajambi dan menulis teks Bodhi-patha-pradipa (pelita pada jalan penggugahan). Karya tersebut, merupakan sebuah karya yang berdampak langgeng.

Meskipun cukup singkat, terdiri dari 66 bait (sloka), tetapi prinsip-prinsip dasar pemikiran Buddhadharma disampaikan dalam bahasa yang sederhana dan jelas. Teks ini kemudian menjadi cikal-bakal disusunnya Margakrama (jalan bertahap menuju penggugahan) beberapa waktu kemudian.

"Atisa Dipamkara Shrijnana membawa pengaruh yang sangat besar dalam sejarah keagamaan di Tibet dan dunia pada umumnya. Ini merupakan salah satu ajaran universal Budhadharma yang paling berpengaruh di dunia hingga saat ini," tulis Sudimuja.

Ajaran Boddhi Citta sampai sekarang masih lestari dan berkembang di kalangan umat Buddha Internasional. Hal itu pernah dikatakan oleh rombongan Biksu saat melakukan perjalanan suci ke situs purbakala Candi Muarajambi.

Ketua rombongan biksu dari beberapa negara, Jangchup Choeden mengakui, bahwa ajaran Boddhi Citta umat Buddha di Tibet diadopsi dari ajaran maha guru Atisa dari Candi Muarajambi.

"Ajaran Bodhi Citta itu oleh maha guru Atisa dibawa ke Tibet, sampai sekarang ajaran Bodhi Citta masih dilestarikan oleh masyarakat komunitas Buddhis internasional di Tibet," kata Biksu Jangchup Choeden beberapa tahun silam saat melakukan perjalanan suci ke candi Muarajambi.

 

Narasi Besar dari Muarajambi Perlu Diangkat

Komplek Percandian Muarajambi
Bangunan Candi Gumpung di kompleks percandian Muarajambi. (Liputan6.com / Gresi Plasmanto)

Narasi besar dari tapak-tapak di situs Percandian Muarajambi sebagai tempat cikal-bakal ajaran Boddhi Citta perlu diangkat dan digaungkan. Ketua Kelompok Swarnadwipa Muarajambi (Sudimuja), Sudiarto mengatakan, narasi besar Muarajambi sebagai warisan leluhur lampau belum terdengar gaungnya.

Selain mempunyai peninggalan-peninggalan kuno, Muarajambi pada masa itu mempunyai hikayat yang amat penting, yakni sebagai pusat pendidikan ajaran Buddha pada abad 7-12 Masehi.

Dalam sebuah pertemuan bersama para pemandu wisata Muarajambi dalam acara "Muarajambi semakin disayang semakin dimengerti" itu, Sudiarto menjelaskan, banyak catatan penting yang menyebutkan Muarajambi sebagai kampus yang terkenal pada masa ajaran Buddha, berkembang di Indonesia dan belahan dunia.

"Narasi besar dari Muarajambi harus semakin digaungkan, sehingga ketika tamu datang, khususnya umat Buddha dari luar negeri bisa mengetahui hebatnya ajaran Boddhi Citta yang pernah dipelajari di Muarajambi," kata Sudiarto, Rabu 19 Februari 2020.

Sementara itu, situs purbakala Candi Muarajambi di Kabupaten Muaro Jambi, terletak di tepian aliran sungai Batanghari yang berhulu di pegunungan bukit barisan dan bermuara di pantai timur Sumatra, Jambi.

Kompleks Percandian Muarajambi merupakan kompleks percandian Hindu-Buddha yang terluas di Asia Tenggara. Luasnya mencapai 3.981 hektare atau delapan kali dari luas Borobudur. Menurut data dari BPCB Jambi, peninggalan kepurbakalaan di kawasan ini meliputi kompleks percandian, situs permukiman kuno, dan sistem jaringan perairan masa lalu dengan cakupan delapan desa.

Muarajambi sebagai lokasi peninggalan purbakala pertama kali dikenal dari laporan seorang perwira angkatan laut Kerajaan Inggris, S.C Crooke tahun 1820. Croke melaporkan bahwa ia melihat reruntuhan bangunan dan menemukan sebuah arca yang menggambarkan arca Buddha.

Kemudian pada masa pemerintahan Indonesia melalui Jawatan Purbakala pada tahun 1954 dibentuk tim survei yang dipimpin langsung oleh ahli purbakala R Soekmono guna melakukan peninjauan terhadap peninggalan-peninggalan purbakala.

Kompleks percandian Muarajambi tercatat memiliki 82 reruntuhan candi (menapo). Saat ini sudah ada sejumlah bangunan candi yang telah dilakukan pemugaran. Bangunan candi yang telah dipugar itu adalah Candi Gumpung, Candi Astana, Candi Kembar Batu, Candi Gedong I, Gedond II, Candi Tinggi I, Tinggi II, Candi Teluk, Candi Kotomahligai dan Candi Kedaton.

Seiring sejarah dan peradaban yang ditinggalkan pada lampau, saat ini situs Percandian Muarajambi menjadi destinasi yang kian diminati oleh umat Buddha. Bahkan, tak jarang para Biksu dari luar negeri yang berkunjung ke Muarajambi guna melaksanakan perjalanan suci. Banyak pula wisatawan dari latar belakang agama yang juga berkunjung dan berwisata sejarah ke Muarajambi.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya