Liputan6.com, Palu - Di tengah Covid-19 yang mewabah, dunia konservasi satwa mendapat kabar gembira. Musim bertelur burung-burung maleo di Suaka Margasatwa (SM) Pinjan Tanjung Matop Tolitoli, Sulawesi Tengah telah dimulai.
Baca Juga
Advertisement
Jauh di sebelah utara, 400 kilometer dari Kota Palu, kabar baik dari upaya pelestarian burung endemik sulawesi muncul. Di Suaka Margasatwa (SM) Pinjan Tanjung Matop, Kabupaten Tolitoli, burung-burung maleo telah memasuki musim bertelur.
Petugas penjaga dan pengamat burung maleo di SM tersebut kini juga mulai disibukkan dengan aktivitas mencari dan memindahkan telur-telur maleo ke dalam kandang penetasan semi alami. Jumlahnya saat ini memang belum banyak, mengingat musim bertelur baru saja dimulai bulan Maret lalu.
"Musim bertelur baru mulai. Petugas di SM Pinjan Tanjung Matop mencatat rata-rata di awal musim bertelur 2Â sampai 5 butir telur per hari ditanam dalam kandang penetasan semi alami," Kasi Konservasi Wilayah I BKSDA Sulteng, Haruna menyampaikan, Senin (13/4/2020).
Jumlah butir telur maleo yang ditanam dalam kandang penetasan semi alami dimungkinkan akan terus bertambah. Sebab, waktu bagi maleo-maleo itu bertelur di nesting ground atau kawasan bertelur di SM tersebut akan terjadi selama 5 bulan. Seperti yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, jumlah telur bisa mencapai ratusan.
"Musim bertelur maleo di sana masih akan terjadi sampai dengan Oktober dengan puncak musim bertelur pada bulan Mei sampai dengan Juli," Haruna menjelaskan.
Pada tahun 2019 lalu sendiri berdasarkan data di BKSDA Sulawasi Tengah, sebanyak 780 butir telur maleo ditanam dalam kandang penetasan semi alami di SM Pinjan Tanjung Matop, Tolitoli. Dari jumlah itu menetas sebanyak 664 ekor serta, sedangkan jumlah anakan maleo yang dilepasliarkan ke habitanya sebanyak 570 ekor. Jumlah itu belum terhitung hingga akhir waktu musim bertelur.
Yang khas dari telur burung maleo adalah ukurannya yang lebih besar, bisa 5 kali lipat dibanding telur burung atau ayam kebanyakan. Burung yang lebih suka berada di darat ketimbang terbang itu juga akan menanam telur-telurnya di dalam pasir.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Menjaga Satwa Endemik di Tengah Wabah Yang Pandemi
Oleh International Union For Conservation of Nature (IUCN), spesies burung dengan nama latin Macrocephalon maleo itu dimasukkan masuk dalam kategori endangered atau terancam. Sedangkan, oleh Convention on International Trade in Endangered Spesies of Wild Fauna-Flora (CITIES), satwa endemik atau yang hanya ada di Pulau Sulawesi itu, masuk sebagai Appendix 1 yang berarti langka.
Burung berciri panjang sekitar 50 cm dengan jambul hitam keras di kepalanya, serta bulu warna putih di dada dan hitam sebagai warna dominannya itu, di Indonesia dilindungi dengan PP Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Status dilindungi itu pula yang membuat petugas BKSDA di SM Pinjan Tanjung Matop tetap memantau dan mengawasi burung-burung tersebut terlebih pada musim bertelur seperti saat ini, meski di tengah Corona Covid-19 yang mewabah.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah I BKSDA Sulteng, Haruna, mengungkapkan, saat ini petugas di lokasi tersebut tetap menjalankan fungsinya, tetapi dengan tetap mengutamakan kesehatan dan keselamatan, termasuk Masyarakat Mitra Polhut (MMP), pengamat maleo dan pencatat maleo. Hal yang sama juga dilakukan para petugas di kawasan konservasi lainnya di Sulawesi Tengah.
"Para petugas tetap menjaga kawasan dan burung maleo walaupun di tengah wabah covid-19. Selain itu, para petugas mitra polhut yang ada di resort lain juga tetap menjaga kawasan konservasi masing-masing," Haruna memungkasi.
Advertisement