Liputan6.com, Yogyakarta- Omah Budaya Kahangnan menjadi salah satu rumah budaya Jawa yang berada di Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta. Tempat ini bisa dibilang tidak biasa.
Lokasinya jauh dari keramaian, sekitar 15 kilometer dari pusat Kota Yogyakarta. Tepatnya di Desa Pringgading, Guwosari, Pajangan, Bantul.
“Omah Budaya Kahangnan ini didirikan dengan semangat pentingnya budaya dalam bermasyarakat, berenegara, serta berjati diri, sebab identitas sangat penting,” ujar Hangno, dalam peringatan ulang tahun pertama Omah Budaya Kahangnan, Rabu, 19 Agustus 2020.
Advertisement
Baca Juga
Ia berpendapat selama ini Indonesia, termasuk Jawa, kerap dianggap sebagai bangsa muda karena tidak memiliki dasar budaya yang jelas. Padahal, jika merunut pada sejarah, Jawa memiliki kekayaan literasi.
Peristiwa Geger Sepehi menjadi bukti Jawa kaya literasi. Pasukan Inggris menyerbu Keraton Yogyakarta pada 19 sampai 20 Juni 1812 dan merampas ribuan manuskrip serta literatur yang disimpan di sana.
Memasuki satu tahun berdirinya Omah Budaya Kahangnan, ada sejumlah aktivitas yang bisa diikuti dan dinikmati khalayak umum.
“Kami ingin menghidupkan kembali budaya Jawa yang kebanyakan mulai hilang di tempat ini,” ucapnya.
Hangno mengungkapkan upaya memasyaratkan budaya Jawa meliputi sejumlah aspek, seperti, religi, teknologi, sastra, dan seni. Omah Budaya Kahangnan mencoba untuk berpartisipasi dengan mengajak berbagai kalangan dan komunitas pegiat serta pemerhati budaya Jawa yang berasal dari berbagai daerah untuk berkolaborasi dan lintas disiplin ilmu.
Budaya Jawa kerap merefleksikan hubungan manusa dengan alam. Secara spesifik, dokumen-dokumen yang terdapat dalam peninggalan budaya Jawa banyak memaparkan tentang keterikatan teori alam semesta (kosmos). Artinya, antara manusia dan alam memiliki hubungan integral yang saling mengikat.
Salah satunya, Omah Budaya Kahanan berkolaborasi dengan Indonesia UFO Network (IUN) dalam acara berseri bernama Gegana Agung (The Big Bang) yang sudah memasuki seri keempat pada tahun ini. Kolaborasi dengan IUN berkaitan dengan pembelajaran tentang astronomi dan sains antariksa.
Omah Budaya Kahangnan juga mempunyai kegiatan meditasi sebagai implementasi aspek religi. Selain itu, Hangno akan mengembangkan sekolah filologi. Kemampuan membaca naskah kuno ini juga didukung dengan mengadakan pelatihan aksara jawa kawi dan carakan secara gratis.
“Kami punya metode cepatnya, dalam lima kali pertemuan bisa membaca,” tutur Hangno.
Galeri Wayang Pertama di Yogyakarta
Omah Budaya Kahangnan juga memiliki galeri wayang. Galeri ini menampilkan beragam karya wayang.
“Mengapa wayang? Karena di dalam wayang banyak inspirasi kejutan seni,” kata Hangno.
Semangat wayang dijadikan dasar untuk berkolaborasi dengan para seniman. Karya yang ditampilkan beragam, tidak melulu wayang konvensional, melainkan juga bisa diterapkan dalam berbagai kreasi seni.
Seni pembuatan, pewarnaan, dan ikonografis wayang sarat filosofis. Terlebih, ia melihat belum ada galeri wayang di Yogyakarta.
Dalam perayaan ulang tahun pertama Omah Budaya Kahangnan juga diadakan pameran serta pergelaran wayang alternatif selama satu minggu, sejak 19 sampai 23 Agustus 2020. Tema yang diangkat seputar kosmologi. Dalam kosmologi Jawa, alam terdiri dari alam empiris yang menjadi kediaman manusia serta alam di balik realitas empiris (metaempiris).
Contoh lain adalah pembangunan Candi Borobudur yang ternyata menggunakan bintang polaris dan waktu revolusi bumi terhadap matahari. Pembangunan candi saat itu ternyata menerapkan sains antariksa sebagai referensi dan refleksi.
Bintang polaris yang berada di sebelah utara dengan magnitude 1,95 digunakan untuk menentukan arah pembangunan candi dan lamanya waktu revolusi bumi terhadap matahari yakni selama 365 hari dilambangkan dengan jumlah stupa Candi Borobudur yakni 4×365. Jika menilik pada karya-karya yang dipamerkan di galeri ini, dengan wayang sebagai dasar inspirasinya, simbol-simbol peninggalan peradaban dan budaya Jawa ini juga tampak dalam beberapa karya. Terkait dengan teknologi dan seni, Candi Borobudur mejadi contoh nyata dari peradaban Jawa berupa alat penanda waktu (gnomon) atau jam raksasa.
Advertisement