Liputan6.com, Banjarnegara - Wacana peniadaan kurikulum pendidikan sejarah dengan menggabungkannya dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) menuai kritik bertubi-tubi.
Meski sudah dianulir, belakangan wacana itu justru memantik wacana kurikulum sejarah memuat konten sejarah lokal, tak terkecuali Banjarnegara, yang sejak lama dikenal sebagai salah satu daerah kaya catatan sejarah.
Di Banjarnegara, artefak kuno mulai masa Hindu-Buddha, penyebaran Islam, kolonial, prakemerdekaan hingga masa kemerdekaan mudah ditemukan. Namun, Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) menilai sejarah lokal itu kurang mendapat tempat dalam kurikulum sejarah yang KI dan KD-nya telah ditentukan oleh pusat.
Advertisement
Baca Juga
Pengurus Pusat Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) yang juga Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Sejarah Kabupaten Banjarnegara, Heni Purwono menilai mestinya sejarah lokal mendapatkan tempat khusus untuk membangkitkan nasionalisme kebangsaan dan ke-Indonesiaan. Sebab, dengan mengenal sejarah lokalnya, pelajar tidak akan kehilangan akar sejarahnya.
“Seperti kebudayaan, sejarah lokal juga nantinya mengkristal dan menguatkan sejarah nasional. Nah, pada konten kurikulum sejarah saat ini, ruang tersebut kurang mendapat tempat karena garis KI KD sudah ditentukan pusat,” katanya, Minggu (27/9).
Menurut dia, dalam konteks sejarah, beberapa konten sejarah yang masuk dalam kurikulum nasional sudah tidak kontekstual, terkecuali untuk penguatan pengetahuan. Misalnya, teori evoluasi, masa prasejarah, yang di Banjarnegara tak ditemukan buktinya.
Daripada memasukkan konten yang kurang bermanfaat untuk penguatan kesejarahan siswa, dilakukan penguatan konten lokal. Sebab, semua tempat pasti memiliki sejarah.
Simak Video Pilihan Berikut Ini:
Materi Sejarah Lokal
“Intinya materi pokok kalau bisa mulai dari kerajaan-kerajaan nusantara sampai kemerdekaan. Itu materi pembentuk ke-Indonesiaan. Sisanya biarkan menjadi sejarah lokal,” ucapnya.
Paling sederhana dari nama tempat (toponimi). Terlebih, Banjarnegara punya sejarah lengkap, sejak zaman Hindu-Buddha, penyebaran Islam, masa kolonialisme, prakemerdekaan, hingga kemerdekaan.
“Bagaimana membangun kebanggaan kita, terhadap bangsa ini dimulai dari kerajaan-kerajaan. Kemudian, mulai dari kronologis hingga kemerdekaan. Itu saya pikir hal-hal yang sangat penting untuk pembentukan karakter nasionalisme dan kebangsaan,” dia menjelaskan.
Heni Purwono juga meminta agar sejarawan lokal, misalnya guru sejarah yang tergabung dalam berbagai organisasi diberi kesempatan untuk menggali sejarah lokal. Kemudian, sejarah ini dimasukkan ke dalam kurikulum.
Dalam konteks lokal Banjarnegara, sejarah itu misalnya meliputi zaman Hindu-Buddha dengan mengeksplor Dieng, Kademangan Gumelem pada masa awal penyebaran Islam, geger perang China, hingga bagaimana Perang Diponegoro berpengaruh terhadap lahirnya Kabupaten Banjarnegara.
Pada masa kolonial, Banjarnegara juga tercatat sebagai salah satu daerah penting. Misalnya, sejarah Pabrik Gula Klampok, Bandjar Tjahjana Werken, Kereta Api SDS, hingga perang kemerdekaan.
Pada masa prakemerdekaan hingga awal kemerdekaan, beberapa tokoh Banjarnegara juga tercatat dengan tinta emas dalam sejarah bangsa Indonesia. Salah satunya, Soemitro Kolopaking, yang menjadi anggota BPUPKI.
“Kebanggaan akan kedaerahannya itu akan mengkristal menjadi kebanggaan sebagai bangsa Indonesia,” dia menegaskan.
Advertisement
Sejarah dan Mitigasi Bencana
Konteks kekinian, Heni juga mengusulkan agar sejarah bencana menjadi salah satu materi yang diajarkan. Menurut dia, ini penting untuk mitigasi bencana di masa depan.
Terlebih Banjarnegara merupakan salah satu daerah paling rawan longsor di Indonesia. Sejumlah bencana tanah longsor merenggut korban jiwa dengan jumlah puluhan hingga ratusan orang.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menyatakan 70 persen lebih wilayah ini merupakan zona merah, yang berarti berisiko menengah tinggi. Dari 266 desa dan 12 kelurahan di Kabupaten Banjarnegara, 199 di antaranya rawan longsor. Pasalnya, sebagian besar wilayah Banjarnegara adalah pegunungan yang tentu saja berkontur miring.
Contoh, bencana tanah longsor Dusun Jemblung. Beberapa tahun sebelumnya, ada pula kisah tragis bencana Dusun Legetang. Dusun Legetang, yang hanya berjarak tiga kilometer dari Kawah Sileri, tertimbun longsoran Gunung Pengamun-amun pada tahun 1955. Sebanyak 332 warga dan 19 penduduk dusun tetangga tewas.
Ada pula riwayat tragedi Kawah Sinila, Dieng, pada 1979 yang menewaskan 149 orang. Gas beracun menjadi penyebabnya.
Kondisi ini membuat masyarakat harus memiliki pengetahuan yang lengkap tentang sejarah bencana lokal. Pengetahuan ini akan berimbas kepada pandangan pentingnya mitigasi dan kewaspadaan.
Dia juga menyatakan guru sejarah di daerah siap merancang kurikulum sejarah yang disesuaikan dengan konten lokal. Bahkan, di Banjarnegara, sebagian guru sejarah telah mempersiapkannya hingga ke tingkat media pembelajaran yang sudah dibuat semenarik mungkin.