Liputan6.com, Bangkalan - Tanpa perlu banyak menimbang, Muhammad Asir langsung setuju ketika sebuah tim dari perusahaan minyak dan gas bumi, PHE WMO, datang menemuinya dan menawarkan program pertanian sistem Edu Ecofarming.
Apalagi, bagi Kepala Desa Bandang Dejeh ini, syarat yang diminta teramat mudah untuk dipenuhi. Pihak perusahaan hanya meminta disediakan lahan kosong yang dekat dengan sumber air untuk percontohan.
Advertisement
Baca Juga
Urusan lainnya, seperti penyediaan bibit hingga melatih para petani menjadi urusan anak usaha milik PT Pertamina ini.
Mula-mula Asir menawarkan sebuah lahan desa dekat sungai. Meski lahannya cocok, tapi dalam jangka panjang tak bagus. Sebab, saat musim kemarau tiba, air di sungai itu berubah asin.
Asir lantas menawarkan lahan lain dekat rumahnya. Kebetulan letaknya strategis, yakni di pinggir jalan utama sehingga mudah dipantau, dan yang penting dekat dengan sumur bor milik desa. Luasnya pun mencapai 5.000 meter persegi, sesuai kebutuhan untuk pembuatan demplot.
Setelah urusan lahan beres. Asir punya PR lain, ia harus mencari petani yang mau diajari cara bercocok tanam sistem edu ecofarming. Jazi, seorang ustaz di sana adalah orang pertama yang ditawari Asir.
Gayung bersambut, Jazi tertarik setelah diberi penjelasan bahwa sistem pertanian ini lebih hemat biaya karena sama sekali tak memakai bahan kimia.
Dari Jazi kemudian terkumpul 15 orang lain yang juga tertarik untuk belajar. Mereka kemudian disatukan dalam sebuah kelompok tani bernama Sangga Buana.
September 2020, lahan mulai digarap. Mereka dilatih langsung oleh petugas penyuluh pertanian Kecamatan Tanjung Bumi.
Empat bulan kemudian, Jazi dibuat takjub. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia bisa memanen langsung buah tomat, cabai, hingga kembang kol dari lahan itu.
"Sejak dulu, petani di sini hanya menanam jagung dan kacang hijau, buah lain tak bisa tumbuh. Dengan ilmu, ternyata bisa tumbuh, " Jazi mengatakan.
Simak video pilihan berikut ini:
Tadah Hujan
Desa Bandang Dejeh terletak di Kecamatan Tanjung Bumi, di bagian utara Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur. Sebagian besar wilayah Tanjung Bumi berada di pesisir pantai dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Sampang.
Sebanyak 80 persen lahan pertanian di Bandang Dejeh tadah hujan. Dalam setahun, lahan hanya digarap saat musim penghujan. Awal musim hujan ditanami jagung dan berikutnya kacang hijau.
Setelahnya, saat kemarau tiba, lahan-lahan dibiarkan tanpa garapan. Hanya sebagian sengaja dipelihara rumputnya untuk pakan ternak. Siklus ini bertahan sejak zaman nenek moyang hingga sekarang.
Kondisi ini, tentu membuat masyarakat Bandang Dejeh tak melihat masa depan dari bertani. Maka, saat musim kemarau tiba, para pria di sana memilih menjadi tukang atau kuli bangunan.
Sementara, para perempuan membantu ekonomi keluarga dengan membatik sembari merawat ternak sebagai simpanan.
"Warga sini mayoritas kerja tukang atau kuli. Ada yang lokalan, tapi banyakan yang merantau hingga ke luar negeri," Asir menuturkan.
PHE WMO masuk ke Bandang Dajah lewat bantuan air bersih sebagai salah satu tanggung jawab sosial perusahaan.
Setelah tahu pertanian di sana mati suri, PHE mendiskusikannya dengan Nurudin, penyuluh pertanian di Tanjung Bumi. Dia menawarkan edu ecofarming sebagai solusi.
PHE setuju karena metode ini tanpa memakai bahan kimia sehingga bisa memangkas 90 persen biaya pertanian yang selama ini menyekik petani.
Advertisement
Pensiun Jadi TKI
Tanah di Madura umumnya cenderung alkalis yaitu rendah cadangan air, tetapi ber-pH tinggi. Kendala ini bisa diselesaikan lewat sistem pertanian edu ecofarming.
Agar air tak cepat terserap tanah, kata Nuruddin, tiap bedengan dilapisi semacam serabut. Serabut itu berfungsi sebagai tempat menyimpan cadangan air. Dengan bantuan serabut ini, sebuah demplot sepanjang 1.000 meter cukup disiram sekali sehari dengan volume 1.000 liter.
Untuk pupuk yang digunakan, serba olahan seperti pupuk kandang atau arang sekam. Sedangkan, pengganti pestisida, petani diajari membuat racikan pestisida bahan alami, biasa menggunakan campuran buah maja dan daun suren yang dihaluskan.
Edu Ecofarming, kata Nuruddin, tidak membasmi hama, tapi mencegah datangnya hama.
"Hama butuh temperatur hangat agar menetas lebih banyak. Amonia atau limbah bahan kimia memicu temperatur hangat sehingga mengundang hama datang," dia menerangkan.
Karena pemanfaatan bahan-bahan alami itu, Nuruddin memastikan Program Eco Edufarming PHE WMO di Bandang Dejeh adalah contoh bahwa lahan tidur bisa digarap bahkan dengan pola kelola pertanian yang hemat biaya, hemat tenaga, dan hemat air dengan hasil yang melimpah.
Biasanya, dalam 1 hektare lahan bisa ditanam 12 ribu tanaman. Dengan pola ini, 1 hektare lahan bisa ditanami 24 ribu hingga 26 ribu tanaman karena satu lubang tanam ada dua tanaman.
Dari sisi kuantitas, jika masing-masing tanaman diasumsikan menghasilkan 900 gram, berarti per lubang tanam mampu menghasilkan 1,8 kg per lubang tanam. Jika per 900 gram dikalikan 24 ribu, makan sudah menghasilkan 20 ton cabai.
"Dengan pola ini, biaya pertanian bisa dipangkas hingga 90,99 persen, tanpa pola obat-obatan. Sehingga cost-nya turun," ungkapnya.
Setelah membuktikan sendiri bahwa metode Edu Ecofarming bisa menanam hingga tiga kali dalam setahun dan semuanya berhasil, Marsudin (45), warga Bandang Dejeh, mantap hati berhenti jadi TKI.
"Saya ingin fokus bertani sekarang, jadi TKI jauh dari keluarga," Katanya.
Dia tak ragu lagi menginvestasikan sisa tabungan yang ia kumpulkan sebagai kuli bangunan di Malaysia untuk mengolah lahannya sendiri. Apalagi, memasarkan hasil pertanian tidaklah sulit. Pasar-pasar tradisional selalu siap menerima pasokan.
"Saat ini saya sedang ngebor air, kalau nanti berhasil dapat sumber, mengelola lahannya gampang, saya sudah tahu ilmunya," ujar dia kepada Liputan6.com awal Oktober lalu.