Tahun 2022, Kebakaran Hutan dan Lahan Masih Menghantui Tanah Air

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebut tahun 2022 curah hujan akan turun sehingga potensi kebakaran lahan berpotensi besar terjadi lagi.

oleh M Syukur diperbarui 31 Des 2021, 14:00 WIB
Diterbitkan 31 Des 2021, 14:00 WIB
Kebakaran lahan di Riau yang pernah terpantau oleh patroli pesawt tempur dari Pekanbaru.
Kebakaran lahan di Riau yang pernah terpantau oleh patroli pesawt tempur dari Pekanbaru. (Liputan6.com/M Syukur)

Liputan6.com, Pekanbaru - Provinsi Riau, begitu juga daerah rawan lainnya, sudah beberapa tahun bebas bencana kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Tahun depan, ancaman itu bisa terjadi karena curah hujan tahun 2022 diprakirakan lebih sedikit.

Sebagai antisipasi kebakaran lahan pada 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengumpulkan pihak terkait secara virtual pada Kamis, 30 Desember 2021. Kegiatan ini dihadiri Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) serta Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) seluruh Indonesia, termasuk Riau.

Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) KLHK, Laksmi Dhewanthi menyatakan, kebakaran lahan berpotensi terjadi. Faktor alam harus diantisipasi dengan berbagai tindakan antisipasi dini.

Laksmi menjelaskan, pengendalian Karhutla harus berpijak kepada Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan. Di dalamnya mengatur penugasan untuk setiap kementerian dan lembaga serta kepala daerah agar aktif mencegah.

"Presiden selalu menekankan pentingnya peningkatan pencegahan kebakaran hutan dan lahan melalui konsolidasi dalam penanganan karhutla secara menyeluruh oleh seluruh pihak mulai dari pusat ke daerah," terangnya.

Dari hasil monitoring hotspot hingga 29 Desember 2021, ditemukan 1.385 titik. Angka ini turun 52,5 persen bila dibandingkan tahun 2020, di mana ketika itu ditemukan ada sebanyak 2.919 titik panas.

Karhutla terluas berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Papua, dan Riau. Namun, khusus untuk Papua dan Riau, telah terjadi tren penurunan yang signifikan.

"Alhamdulillah, sejak tahun 2020 hingga 2021 tidak ada lagi bencana kabut asap yang selama ini kerap mencoreng nama baik Indonesia di mata negara lain," tambahnya.

Sementara, untuk menghadapi 2022, sesuai hasil monitoring BMKG, kondisi ENSO La-Nina cenderung menunjukkan terjadinya pelemahan hingga moderat. Kondisi ini diprediksi akan berlangsung hingga Mei-Juni-Juli 2022.

Pada saat itu, sebanyak 93,27 persen wilayah Indonesia sudah masuk musim hujan, termasuk Riau sebagai daerah rawan serta beberapa daerah lainnya di Sumatra dan Kalimantan.

"Kondisi ini harus menjadi perhatian khusus bagi kita, dalam rangka mengantisipasi terjadinya karhutla," ingatnya.

 

Simak video pilihan berikut ini:

TMC Berdampak Signifikan

Proses pemadaman kebakaran lahan oleh petugas dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Proses pemadaman kebakaran lahan oleh petugas dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (Liputan6.com/M Syukur)

Lebih lanjut, Laksmi menjelaskan, hingga sepanjang tahun 2021, pihaknya telah melakukan kegiatan-kegiatan pengendalian karhutla dengan paradigma baru disertai upaya perbaikan sistem pengendalian karhutla.

Di antaranya penyebarluasan keberadaan titik hotspot sebagai indikator kemungkinan terjadinya karhutla. Pemantauan dilakukan dengan menggunakan satelit Terra-Aqua MODIS, NOAA20, SNPP serta Landsat-8 yang bisa dimonitor melalui website: sipongi.menlhk.go.id.

Selain itu, peningkatan juga dilakukan pada intensitas dan jangkauan patroli mandiri dan patroli terpadu pencegahan karhutla yang dilakukan Kementerian LHK bersama instansi terkait seperti TNI-Polri, Polisi Kehutanan, serta lainnya.

Upaya lain adalah perbaikan dan penataan ekosistem gambut dengan meningkatkan sistem pemantauan Tinggi Muka Air Tanah (TMAT) melalui teknologi pada kawasan gambut.

Begitu juga dengan pemberian sanksi tegas baik berupa sanksi administratif, perdata dan pidana kepada para pembakar hutan yang terus ditingkatkan dengan mempedomani Kawasan Hutan Lindung Gambut yang telah ditetapkan Pemerintah/KLHK.

Salah satu program yang memberikan dampak signifikan, adalah dengan meningkatkan intensitas dan jangkauan operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) yang bekerja sama dengan BPPT, BNPB, TNI AU, BMKG, Satgas Dalkarhutla Provinsi dan mitra usaha.

"Hasil TMC ini kita rasakan berdampak signifikan terhadap penambahan curah hujan untuk membasahi lahan gambut. Secara umum, dengan TMC ini telah terjadi persentase penambahan curah hujan di beberapa daerah," dia menambahkan.

Ragam cara ini membuat Indonesia mendapat apresiasi dari negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam dalam pengendalian karhutla sehingga dalam 2 tahun ini tidak ada transboundary haze di regional ASEAN dari Indonesia.

Penanganan Karhutlan Perlu Ditingkatkan

Sementara itu, pakar karhulta Bambang Hero Saharjo, menilai, upaya pencegahan dan penanganan karhutla di tanah air menunjukkan adanya upaya perbaikan. Namun demikian, upaya peningkatan tetap harus dilaksanakan.

Senada dengan Laksmi, Bambang juga mengatakan, penanganan karhutla merupakan tanggung jawab besama, karena ini menyangkut nama baik Indonesia di mata internasional.

"Suka tak suka, mau tak mau, karhutla menjadi musuh bersama karena mengganggu hak konstitusi warga negara," tegasnya.

Menurut Bambang, berbagai upaya yang telah dilakukan KLHK dalam upaya pengendalian karhutla di lapangan, sesuai dengan apa yang dilihatnya di lapangan. Oleh karena itu, ia berharap langkah tersebut tidak berhenti sampai di titik ini saja.

"Ketika saya ke lapangan, saya melihat berbagai upaya yang dilakukan KLHK, saya melihat apa yang disampaikan tadi, ada kesesuaian dengan apa yang saya lihat di lapangan," dia menerangkan.

Dalam kesempatan itu, Bambang juga memberikan masukan berharga. Di antaranya meski luas lahan yang terbakar terjadi pengurangan, tetapi semua pihak terkait tetap harus memperhatikan sektor lain yang tak kalah penting, yakni terkait dengan emisi gas karbon.

"Ada daerah yang luas kebakarannya rendah, tapi emisinya tinggi. Ini juga harus menjadi perhatian serius bagi kita bersama, karena dampaknya terhadap lingkungan cukup besar," ingatnya.

Peran Pemerintah Daerah

Bambang juga memberikan sejumlah catatan. Di antaranya, ia mengingatkan peran serta pemerintah provinsi dan kabupaten yang harus ditingkatkan dan dikembangkan dalam upaya pencegahan dan pengendalian karhutla.

"Jangan sampai terkesan selalu tergantung kepada pemerintah pusat," ujarnya.

Karena itu, ia mengingat pemerintah daerah agar wajib memiliki budget pengendalian karhutla yang layak, sesuai dengan kondisi di daerah masing-masing.

"Karena ini menyangkut dengan angggaran, kadang ada daerah yang anggaran penangananan karhutlanya masih minim, ada juga yang mengatakan usulan pemerintah untuk Karhutla ditolak DPRD setempat. Nah, hal yang seperti ini juga seharusnya lebih diperhatikan," tambahnya.

Bambang juga menekankan, monitoring karhutla harus terus berlanjut dengan aksi lain. Perlu ketegasan dalam pengendalian karhutla bagi pihak-pihak yang bertanggung jawab.

"Temuan kami di lapangan, terkadang ada pihak yang mengaku komitmen dalam mengantisipasi karhutla. Namun ketika ditanya tentang masalah teknik penanganan di lapangan, mereka malah tak tahu. Ini juga harus ditekankan. Jangan sampai komitmen itu hanya berupa ucapan saja tapi tidak disertai aksi yang tegas di lapangan," katanya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya