Insiden Gas Beracun Geo Dipa hingga Tragedi Kawah Sinilia Dieng, Bagaimana Mitigasinya?

Jauh sebelum insiden ini, konsentrasi gas-gas beracun yang tinggi di Dieng menyebabkan “Tragedi Sinila” tahun 1979. Peristiwa itu merenggut 149 korban jiwa akibat terpapar gas beracun

oleh Rudal Afgani Dirgantara diperbarui 17 Mar 2022, 05:39 WIB
Diterbitkan 17 Mar 2022, 05:39 WIB
Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Purwokerto - Insiden kebocoran gas beracun di lokasi pembangkit listrik tenaga panas bumi Geo Dipa Dieng merenggut satu korban jiwa dan melukai enam pekerja lain. Melihat bahaya yang ditimbulkan, pakar Geokimia Unsoed mendesak upaya mitigasi untuk menghindari korban jika insiden serupa terulang.

Jauh sebelum insiden ini, konsentrasi gas beracun yang tinggi di Dieng menyebabkan “Tragedi Sinila” tahun 1979. Peristiwa itu merenggut 149 korban jiwa akibat terpapar gas beracun melebihi ambang.

Saat tekanan menurun, misalnya saat instalasi sumur panas bumi terbuka, maka gas-gas akan ikut naik ke atas mencapai permukaan. Kecelakaan ini tidak hanya menimbulkan kerugian material, tapi juga korban jiwa.

Ahli Geokimia Unsoed, Sachrul Iswahyudi ST MT menjelaskan ancaman gas-gas beracun tidak saja datang dari sumur-sumur panas bumi, tapi juga bisa dari kawah-kawah yang tersebar di dataran tinggi Dieng.

Meski demikian, di banyak lapangan panas bumi memang banyak mengandung gas-gas yang bersifat racun jika melebihi ambang batas yang bisa ditoleransi tubuh manusia, seperti gas CO CO2, H2S, SO2 dan lain lain.

Berkaca pada kejadian kecelakaan tersebut, upaya mitigasi terus-menerus dan massif di Dieng mutlak diperlukan. Mitigasi bertujuan mengurangi kerugian atau risiko korban jiwa dari bencana alam yang mungkin timbul di masa datang.

Dengan kondisi Dieng yang dinamis, padat penduduk, menjadi sentra produksi kentang, dan destinasi wisata yang ramai pengunjung, risiko jatuh korban menjadi semakin besar.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Sosialisasi, Edukasi dan Mitigasi

Letusan freatik kawah Sileri, Kepakisan, Dieng. (Liputan6.com/BPBD/Muhamad Ridlo)
Letusan freatik kawah Sileri, Kepakisan, Dieng. (Liputan6.com/BPBD/Muhamad Ridlo)

Upaya mitigasi yang akan dilakukan tergantung kondisi lokal setempat yang ada. Sebab setiap lapangan panas bumi sendiri memiliki karakter atau keunikan tersendiri yang berbeda dengan karakter lapangan panas bumi lain.

"Keunikan tersebut bukan saja dari sisi teknis tapi juga dari sisi sosial budaya masyarakat setempat," ujar dia.

Beberapa upaya mitigasi bencana di lokasi Dieng sudah dilakukan oleh Pemda setempat. Misalnya dengan sosialisasi dan edukasi masyarakat berupa papan pengumuman, penentuan jalur dan tempat evakuasi yang aman, membatasi jarak aktivitas masyarakat dari sumber keluaran gas berupa sumur pemboran atau keluaran gas dan lain-lain.

Pos Pengamatan Gunung api Dieng dengan perlengkapan sensor-sensor gas, seismometer atau detektor lainnya juga merupakan upaya mitigasi lain.

Namun selain itu, pengaturan waktu aktivitas masyarakat, terutama di daerah-daerah keluaran gas, juga perlu dilakukan.

"Dengan pertimbangan bahwa gas-gas pada pagi hari konsentrasinya akan lebih tinggi dibanding siang hari, karena adanya sinar matahari dan angin pada siang hari akan mendistribusi gas-gas lebih jauh sehingga konsentrasi gas-gas lebih rendah," ujarnya.

Pola pertanian masyarakat yang sebagian besar berupa tanaman kentang juga menjadi kewaspadaan. Perlu pola tumpang sari atau variasi tanaman jenis lain yang lebih besar dan tinggi untuk menghambat laju alir gas jika gas keluar.

Hal tersebut pernah diupayakan beberapa tahun yang lalu, melalui upaya perselingan tanaman kentang dan kopi.

"Lahan juga tidak dibiarkan gundul, karena gas-gas akan mudah mengalir ke atas jika tidak ada penahan tanaman di permukaan," tuturnya yang saat ini sedang studi lanjut S3 di Teknik Geologi UNPAD, Bandung.

 

Tumbuhan Penangkal Polusi

Kawah Sileri usai meletus pada 2 April 2018 . (Foto: Liputan6.com/BPBD Banjarnegara/Muhamad Ridlo)
Kawah Sileri usai meletus pada 2 April 2018 . (Foto: Liputan6.com/BPBD Banjarnegara/Muhamad Ridlo)

Di tempat-tempat yang rawan keluaran gas yang tinggi, seperti kawah, juga perlu penanaman tumbuhan penangkal polusi yang telah teruji sebelumnya.

Jika perlu, lakukan penelitian untuk mengetahui efektivitas tanaman-tanaman tersebut dalam menangkal gas-gas beracun.

Penelitian-penelitian yang dilakukan di lokasi panas bumi juga perlu terus-menerus dan lebih masif dilakukan untuk mendapatkan informasi yang lebih rinci terkait karakter sistem atau lapangan panas bumi.

Informasi-informasi tersebut diperlukan untuk pengelolaan lapangan panas bumi yang lebih akurat, termasuk upaya mitigasi bencana untuk masyarakat yang lebih baik.

"Akhirnya, upaya mitigasi perlu melibatkan masyarakat agar program dan strategi yang yang dilakukan mendapat dukungan yang lebih luas," ucap lulusan S2 ITB dengan tesis tentang Geokimia Panas Bumi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya