Cerita 'Blandong' Blora, Ironi Nasib Terseok-seok di 'Surga' Jati Dunia

Saat menjalankan profesinya tersebut, diakuinya dapat upah yang kurang layak. Padahal, hutan Blora terkenal penghasil kekayaan hutan jati dengan kualitas terbaik di dunia.

oleh Ahmad Adirin diperbarui 14 Jun 2022, 09:00 WIB
Diterbitkan 14 Jun 2022, 09:00 WIB
Penebangan pohon jati di wilayah kerja Perum Perhutani KPH Blora. (Liputan6.com/Ahmad adirin)
Penebangan pohon jati di wilayah kerja Perum Perhutani KPH Blora. (Liputan6.com/Ahmad adirin)

Liputan6.com, Blora - Sutarman (60) merupakan eks tenaga penebang kayu alias blandong di hutan jati salah satu wilayah kerja Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Blora. Saat menjalankan profesinya tersebut, dia mengakui mendapat upah yang kurang layak. Padahal, hutan Blora terkenal penghasil kekayaan hutan jati paling melimpah dengan kualitas terbaik di dunia.

Dirinya blak-blakan mengungkap sekilas tentang caranya mendapatkan sampingan alias ceperan saat menjadi tukang blandong. Serta kejanggalan tidak adanya Alat Pelindung Diri (APD) untuk keamanan pekerja.

"Tenaga senso teng mriko niku (tukang gergaji disana itu) khususnya yang tebang potong itu ada dua," ungkap Sutarman kepada Liputan6.com, Minggu (12/6/2022).

Berdasarkan upah kerja yang didapatkan, dia menyebut hanya mendapat Rp20 ribu per kubik, dengan rata-rata dalam sehari sebanyak tujuh kubik yang bisa diangkut per armada truk. Sementara dalam seharinya, rata-rata ada tiga armada truk yang mengakut kayu gelondongan.

"Tiga mobil itu 21 kubik. Ya boleh dikatakan rata-rata dalam sehari 16 kubik lebih itu sudah pastilah," katanya.

Menurutnya, upah per tenaga tebang dalam seharinya kurang lebih sekitar Rp100 ribu. Pekerjaan tersebut tak jarang dilakoninya sampai petang hari dan hasilnya belum lagi dipotong bahan bakar, oli, serta rantai gergaji senso.

Sutarman menerangkan dalam seharinya biaya yang harus dikeluarkan untuk memenuhi 2 alat tebang, kurang lebih sekitar Rp150 ribu. Tentu, penghasilan tersebut dianggap jauh dari kata "layak" bagi pekerja di daerah penghasil kayu jati andalan yang terkenal di seluruh dunia.

"Mboten cucok jane, nggeh perkarane wong butuh penggawean, (Tidak layak sebenarnya, ya perkaranya orang butuh kerjaan)," terangnya.

Ia bercerita, beberapa bulan lalu sempat ikut jobs training tebang. Saat itu, dirinya sempat diajak tanya jawab dengan wartawan dari Perhutani. Belum selesai diwawancarai malah sudah mendapat amukan oleh pihak Perhutani karena terlalu jujur dengan wartawan.

"Kulo ditanya wartawan kan cerita apa adanya, lha ditanya senso itu siapa punya, ya pekerja sendiri yang punya. Lha terus kulo lhak usul, mbok yao pak upah bagi pekerja ini nggak sesuai, saya minta tolong barangkali ada bantuan rantai atau apa untuk senso, (Saya ditanya wartawan kan cerita apa adanya, lha ditanya senso itu siapa yang punya, ya pekerja sendiri yang punya. Terus saya usul terkait upah bagi pekerja ini tidak sesuai, saya minta tolong barangkali ada bantuan rantai atau apa untuk senso)," katanya.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

Ungkap di Hadapan Media

Penebangan pohon jati di salah satu wilayah kerja Perum Perhutani KPH Blora. (Liputan6.com/Ahmad adirin)
Penebangan pohon jati di salah satu wilayah kerja Perum Perhutani KPH Blora. (Liputan6.com/Ahmad adirin)

Usulan yang disampaikannya itu tidak membuahkan hasil dan malahan selanjutnya diusir oleh pihak Perhutani. Dirinya tidak mengira jika mengalami nasib seperti itu, padahal dirinya mengaku jujur apa adanya sesuai yang dilakukannya dalam menjalani pekerjaan sebagai tukang blandong.

"Sak urunge urung diwenei ngerti, nek sak urunge diwenei ngerti ya aq tidak usul, (sebelumnya tidak dikasih tahu, kalau sebelumnya dikasih tahu ya saya tidak usul)," ucap Sutarman.

Ia membeberkan selain mendapat upah yang dianggap tidak layak, dia masih mendapat ceperan yang bisa dibagi bersama-sama dengan para pekerja lainnya yaitu berupa kayu rencekan alias ranting tebangan.

Menurutnya, upah yang diberikan untuk para blandong dari pihak Perhutani biasanya saat masih lancar diberikan dua minggu sekali. Namun, beberapa waktu terakhir dianggap sudah tidak pasti lagi.

"Kadang sebulan baru bayaran, kadang 20 hari baru bayaran. Tidak ada waktu setengah bulan bayaran, sudah tidak ada sekarang," terang Sutarman.

Lebih lanjut, diakuinya, pada saat mengikuti jobs training tebang, pihak Perhutani mengatakan akan memberikan APD. Namun, realisasinya ternyata jauh dari ekspektasi yang diharapkan.

"Waktu ada jobs training, pihak Perhutani bilang itu semua ada kan gitu, terutama kaca mata, masker, helm, dan lain-lain bilang dikasih, lha ternyata tidak ada," katanya.

Rasa penasaran mendorong Liputan6.com mengunjungi lokasi penebangan kayu hutan di salah satu wilayah KPH Blora secara langsung pada Sabtu (11/6/2022). Kondisi di lapangan, terlihat para pekerja blandong dan sejumlah petugas dari pihak Perhutani tampak panik hingga mendatangi awak media yang datang ke lokasi penebangan.

Aktivitas mereka tampak jelas kurang nyaman ketika didatangi. Bahkan, petugas Perhutani sempat melarang awak media ini untuk menggali informasi lebih jauh di lokasi penebangan. Kemudian, pihak perusahaan menyarankan agar mendalami informasi lewat KPH Blora lantaran mereka tidak berani menjawab pertanyaan awak media.

Untuk diketahui, kondisi saat ini di Kabupaten Blora kerap didapati informasi tentang banyaknya kayu tebangan hutan yang diperjualbelikan tanpa disertai dokumen yang sah.

Tanggapan Perhutani

Administratur Perhutani KPH Blora, Agus Widodo, saat diwawancarai Liputan6.com di ruang kantornya. (Liputan6.com/Ahmad Adirin)
Administratur Perhutani KPH Blora, Agus Widodo, saat diwawancarai Liputan6.com di ruang kantornya. (Liputan6.com/Ahmad Adirin)

Terpisah, Administratur Perhutani KPH Blora, Agus Widodo, saat dikonfirmasi menganggap bahwa terkait banyaknya peredaran kayu yang disinyalir dari tebangan Perhutani tanpa disertai dokumen yang sah adalah isu yang memang benar adanya.

Ia mengaku pernah turun ke lapangan memakai kendaraan bermotor untuk melakukan penyelidikan. Perhutani sendiri tidak bisa apa-apa, jika tidak ada bukti yang kuat untuk melakukan tindakan lebih lanjut lantaran wilayah Perhutani di Blora luasnya terbagi menjadi sejumlah kesatuan.

"Pernah ada juga muncul video begini, di Blora hutannya besar. Ternyata setelah ditelusuri itu Blora yang masuk wilayah Ngawi. Jadi kalau itu belum ada bukti, saya anggap masukan saja lho ya," kata Agus Widodo, saat ditemui Liputan6.com di ruang kantornya KPH Blora, Senin (13/6/2022).

Menurutnya, setiap kayu tebangan dari KPH Blora terdapat Standar Operasional Prosedur (SOP) yang jelas disertai dokumen sah. Apabila di lapangan didapati ada kejanggalan, maka hal tersebut dianggapnya sebatas persepsi saja.

"Ketika saya konfirmasi ke anak buah ya tidak begitu biasanya," terang Agus.

Dalam kesempatan ini, Agus mengatakan bahwa Perhutani KPH Blora dalam memberikan penjelasan kepada wartawan ketika ada temuan kejanggalan, hanya satu pintu, yakni melalui pimpinan. 

Termasuk memberikan penjelasan tentang cerita yang diketahui wartawan mengenai upah tenaga blandong yang tidak layak, ketidaktersediaan APD, cara blandong mendapatkan ceperan alias sampingan, dan adanya blandong yang mengaku sempat dimarahin pihak Perhutani ketika terlalu jujur di hadapan wartawan.

Terkait adanya petugas yang kondisi di lapangan tidak mengerti peran wartawan, pucuk pimpinan KPH Blora ini berkomitmen akan melakukan pembinaan. Baginya, wartawan dianggap adalah mitra kerja Perhutani.

"Mungkin karena belum kenal saja, kalau sudah kenal pastinya tidak. Untuk pemecatan petugas bukan kewenangan kami, tapi nantinya ini akan kita lakukan pembinaan," kata Agus, yang juga menuturkan bahwa informasi tersebut dianggapnya tidak semuanya benar.

"Kami mohon maaf jika di lapangan terjadi seperti itu," dia menandaskan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya