Mahasiswa, Jurnalis, dan Aktivis di Bandung Sepakat RKUHP Ancaman Bagi Kebebasan Sipil

Sejumlah kalangan di Bandung berpendapat jika Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) mengancam kebebasan sipil.

oleh Dikdik Ripaldi diperbarui 06 Agu 2022, 03:00 WIB
Diterbitkan 06 Agu 2022, 03:00 WIB
Mural Tolak RUU KUHP Terpampang di Rawamangun
Mural bertulis 'Menolak RKUHP Bukan Menunda' terpampang pada dinding di Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta, Selasa (1/10/2019). Mural tersebut respons dari seniman Jakarta terhadap RUU KUHP yang dinilai mencederai tatanan demokrasi. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Liputan6.com, Bandung - Kritik atas Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih terus disampaikan berbagai kalangan. Jurnalis, mahasiswa hingga aktivis bantuan hukum di Bandung pun urun suara. Sejumlah pasal dalam RKUHP dianggap dapat menggerus kebebasan sipil, termasuk kebebasan pers.

Ketua Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, Ahmad Fauzan mengatakan, pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP rawan jadi alat untuk memidanakan jurnalis. Beberapa di antaranya seperti Pasal 264 terkait pemidanaan terhadap mereka yang dianggap menyiarkan berita tak lengkap, Pasal 218 soal penghinaan presiden dan wakil presiden, juga Pasal 240 pemidanaan terhadap penghina pemerintah yang sah.

"Jurnalis yang mengkritik, lalu kritiknya itu dianggap menghina maka bisa dikriminalisasi," kata Fauzan saat diskusi daring bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH Bandung) dan mahasiswa, bertajuk 'RKUHP dan Senjakala Kebebasan Berekspresi di Indonesia', Kamis, 4 Agustus 2022.

Fauzan menyatakan, RKUHP bakal menambah rentan posisi jurnalis yang kini pun kerap terancam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), serta bakal tumpang tindih dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

"Lewat UU ITE saja sejumlah jurnalis dilaporkan, dipenjara," jelas Fauzan, "Kami menentang RKUHP yang turut mengancam kebebasan pers. Semua bisa kena dampak RKUHP".

Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Padjadjaran (Unpad), Virdian Aurellio Hartono menyampaikan bahwa aliansi BEM se-Unpad sudah melakukan kajian bersama untuk menyikapi RKUHP. Mereka tak hanya mengkritisi pasal per pasal, RKUHP dilihat sebagai watak politik hukum yang mementingkan kekuasaan. Agar kekuasaan bisa berjalan, pemerintah memaksakan stabilitas atau ketertiban dengan cara menebar ketakutan lewat ancaman pidana.

"Tak apa menjadi dibenci, yang penting mereka (rakyat) takut. Enggak berani demo, enggak berani kritik," kata Virdian, "RKUHP itu bagi kami artinya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Penguasa".

Revanka Mulya, perwakilan dari Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (KM ITB), berpendapat bahwa RKUHP bukan proses mengeliminasi pasal-pasal lapuk peninggalan zaman kolonial, tapi malah memutakhirkannya. Konsekuensi RKUHP adalah semakin sempitnya hak dan kebebasan sipil, seperti kebebasan berpendapat dan berekspresi.

"Kalau kita mengkritik presiden kemudian mereka dengan subjektif menganggapnya sebagai penghinaan, kita bisa dipidana. Ini sangat bahaya. Kita tidak bisa bersikap bodo amat terhadap RKUHP, rekayasa sosial yang mengatur hidup kita," tuturnya.

 

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Mural Tolak RUU KUHP Terpampang di Rawamangun
Mural bertulis 'Menolak RKUHP Bukan Menunda' terpampang pada dinding di Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta, Selasa (1/10/2019). Mural tersebut respons dari seniman Jakarta terhadap RUU KUHP yang dinilai mencederai tatanan demokrasi. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Mengusik Hak Privat

Heri Pramono, Staf Kampanye LBH Bandung mengatakan, melalui RKUHP negara mengusik hak-hak privat, seperti pasal terkait zina dan kohabitasi.

"Bentuk penghormatan negara (terhadap sipil) itu dengan membatasi dirinya agar tidak masuk ke lingkup hak privat. Nah, dalam RKUHP sebaliknya, negara malah berperan aktif mendobrak dimensi itu," katanya.

Heri juga berpendapat bahwa masalah RKUHP terletak pada nihilnya pelibatan publik dalam proses penyusunan undang-undang. Masyarakat sipil yang bakal jadi pihak paling terdampak dari produk hukum itu malah diabaikan.

"Hukum pidana ini memiliki dampak luas. Masyarakat sipil menjadi yang paling terdampak. Seharusnya yang paling terdampak itulah yang paling harus didengar," tandasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya