Liputan6.com, Jakarta - Himpunan Pengusaha Pertashop Indonesia (HIPSI) meminta pemerintah menyesuaikan harga BBM nonsubsidi seturut turunnya harga minyak mentah dunia beberapa waktu terakhir ini.
Salah satu yang menjadi sorotan adalah disparitas harga BBM subsidi dengan nonsubsidi, terutama pertalite dengan pertamax.
Saat ini tren harga minyak mentah dunia terus menurun. Karena itu, pemerintah didorong untuk melakukan penyesuaian harga BBM nonsubsidi, agar disparitas harga terpangkas.
Advertisement
Dengan begitu, migrasi konsumen BBM nonsubsidi ke BBM subsidi bisa dihentikan dan meringankan beban APBN untuk subsidi BBM.
Baca Juga
Ketua umum HIPSI, Wawan mengatakan, disparitas harga antara pertalite dan pertamax yang mencapai Rp4.500 menyulitkan pengusaha Pertashop. Kini, sudah banyak pertashop yang tutup dan sebagian lainnya beromzet kurang dari 100 liter per hari.
"Namanya disparitas harga sampai Rp4.500. Kan agak sulit ya kalibrasi turun atau pertalite naik apalagi ya,” katanya, Selasa (27/9/2022).
Saat ini kondisi pertashop di seluruh Indonesia sangat memprihatinkan. Padahal, pertashop adalah program pemerintah untuk menyalurkan BBM ke pedesaan.
Disparitas yang tinggi menyebabkan pertashop sulit bertahan. Terlebih, banyak bbm subsidi jenis pertalite yang bocor dan dijual secara ilegal oleh pengecer (pertamini). Karena itu, pemerintah dan pertamina didorong untuk melakukan pengawasan dan penindakan semaksimal mungkin.
"Jadi tetap mendorong, pencetus program ini (pertashop), pemerintah terutama, untuk bertanggung jawab program ini. Karena keberadaan kita ini kan membantu pemerintah," ucap Wawan.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Tren Harga Minyak Mentah Dunia Turun
Akhir pekan lalu, harga minyak tergelincir sekitar lima persen ke level terendah sejak Januari pada akhir perdagangan Jumat (Sabtu pagi WIB), karena dolar AS mencapai posisi terkuatnya dalam lebih dari dua dekad serta meningkatnya kekhawatiran bahwa pengetatan bank sentral yang agresif dapat menyebabkan resesi dan merugikan permintaan energi.
Dikutip Antara, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman November merosot 4,75 dolar AS atau 5,7 persen, menjadi menetap di 78,74 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange. Untuk minggu ini, harga acuan minyak mentah AS anjlok 7,1 persen.
Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman November kehilangan 4,31 dolar atau 4,8 persen, menjadi ditutup di 86,15 dolar per barel di London ICE Futures Exchange. Untuk minggu ini harga acuan minyak global ini anjlok 5,7 persen.
Kemerosotan tajam tersebut merupakan penurunan mingguan keempat berturut-turut, pertama kali ini terjadi sejak Desember. Harga minyak secara teknis berada di wilayah oversold, dengan WTI di jalur untuk penyelesaian terendah sejak 10 Januari dan Brent untuk terendah sejak 14 Januari.
Bensin dan solar AS juga turun lebih dari lima persen. Federal Reserve AS menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin pada Rabu (21/9/2022). Bank-bank sentral di seluruh dunia mengikuti dengan kenaikan mereka sendiri, meningkatkan risiko perlambatan ekonomi.
"Minyak jatuh karena kekhawatiran pertumbuhan global mencapai mode panik mengingat komitmen bank-bank sentral untuk memerangi inflasi. Tampaknya bank-bank sentral siap untuk tetap agresif dengan kenaikan suku bunga dan itu akan melemahkan aktivitas ekonomi dan prospek permintaan minyak mentah jangka pendek," kata Edward Moya, analis pasar senior di perusahaan data dan analitik OANDA seperti dikutip Reuters.
Advertisement
Terendah 9 Bulan Terakhir
Harga minyak stabil di awal perdagangan Asia pada Selasa pagi, karena indikasi bahwa aliansi produsen minyak OPEC+ berusaha untuk menghindari jatuhnya harga bersama dengan sedikit pelemahan dolar AS, meredam aksi jual tajam sebelumnya.
Minyak mentah berjangka Brent terdongkrak 26 sen atau 0,3 persen, menjadi diperdagangkan di 84,32 dolar AS per barel pada pukul 00.33 GMT, Sementara itu, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS naik 19 sen menjadi diperdagangkan di 76,90 dolar AS per barel.
Kedua harga acuan minyak merosot sekitar dua dolar AS per barel pada Senin (26/9/2022), sebagian besar karena penguatan dolar AS.
Menteri Perminyakan Irak Ihsan Abdul Jabbar pada Senin (26/9/2022) mengatakan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya termasuk Rusia, yang dikenal sebagai OPEC+, sedang memantau situasi harga minyak, ingin menjaga keseimbangan di pasar.
"Kami tidak ingin kenaikan tajam harga minyak atau keruntuhan," katanya dalam sebuah wawancara di TV pemerintah Irak.
Komentar Abdul Jabbar membantu mendukung minyak, yang menetap di posisi terendah sembilan bulan, sebagian besar karena melonjaknya dolar AS.
OPEC+ telah meningkatkan produksi tahun ini setelah rekor pemotongan dilakukan pada 2020 karena penurunan permintaan yang disebabkan oleh pandemi COVID-19. Namun dalam beberapa bulan terakhir, organisasi gagal memenuhi peningkatan produksi yang direncanakan.
Pelonggaran dolar AS, yang diperdagangkan secara terbalik dengan minyak, membantu mendukung harga. Tetapi sementara dolar AS melemah dalam perdagangan pasca-penyelesaian, pada Senin pagi (26/9/2022) dolar mencapai level terkuatnya sejak Mei 2002.
Ketidakpastian atas gangguan pasokan yang disebabkan oleh perang Rusia-Ukraina, serta pengetatan kebijakan moneter di seluruh dunia yang mengancam kelesuan ekonomi, juga membuat harga tidak bergerak lebih tinggi.