Marga: Menerabas Sekat Agama di Singkil

Persoalan rumah ibadat dan sentimen agama di Singkil masih menunggu untuk diselesaikan. Simak bagaimana Liputan6.com menemukan nilai-nilai di sana yang selama ini jarang muncul ke publik.

oleh Rino Abonita diperbarui 24 Mar 2023, 14:58 WIB
Diterbitkan 30 Sep 2022, 03:00 WIB
Suasana penuh keceriaan di pesta pernikahan yang melampaui batas-batas keyakinan di SIngkil (Liputan6.com/Rino Abonita)
Suasana penuh keceriaan di pesta pernikahan yang melampaui batas-batas keyakinan di SIngkil (Liputan6.com/Rino Abonita)

Liputan6.com, Aceh - Peristiwa bernada SARA di Singkil, Aceh, telah mencapai usia enam tahun. Diwarnai dengan aksi pembakaran rumah ibadat serta menyebabkan satu orang meninggal dunia pada Oktober 2015, masalah di sana belum mencapai titik terang sampai saat ini.

Karena berlatar agama, perkara di Singkil kian terasa sensitif serta sulit diurai dengan cara-cara biasa apalagi ditempuh dengan jalan legal formal.

Apa yang terjadi di Singkil harus diselesaikan dengan pendekatan yang jauh lebih mengakar.

Seperti yang diketahui, peristiwa 2015 digadang-gadang berakar pada persoalan keberadaan rumah ibadat umat Kristen yang tidak memiliki izin pendirian bangunan.

Terjadi penggalangan ratusan massa diiringi aksi bakar gereja di Suka Makmur sampai adanya insiden berdarah di Dangguran.

Situasi mencekam dan sempat memicu lahirnya gelombang pengungsi terutama dari kalangan umat Kristen.

Peristiwa senada ternyata pernah terjadi pada 1979.

Haidlor Ali Ahmad dalam jurnal Resolusi Konflik Keagamaan di Aceh Singkil dalam Perspektif Budaya Dominan (2016) menjelaskan bahwa peristiwa itu dimulai dengan mencuatnya rencana pembangunan Gereja Tuhan Indonesia (GTI) di Singkil.

Rencana pembangunan GTI ternyata diwarnai isu kristenisasi yang berbuntut aksi pembakaran gereja.

Muncul gelombang pengungsian ke luar Aceh untuk menghindari terjadinya pelampiasan dendam yang memicu kekerasan berlatar SARA karena rumornya satu orang meninggal dunia.

Situasi pada akhirnya diredam melalui ikrar bersama diwakili pemuka agama yang digelar di lapangan Meriam Sipoli, Rimo.

Namun, aksi vandalisme yang menyasar rumah ibadat milik umat Kristen juga sempat terjadi beberapa kali sebelum 2015.

Yakni, pada 1995, 2001, 2006, bahkan juga terjadi selang satu bulan sebelum pembakaran gereja pada Oktober 2015.

Tak bisa dipungkiri belasan gereja bermunculan seiring bertambahnya jumlah jemaat sejak 1979.

Data Konsolidasi Bersih (DKB) Semester I Tahun 2020 Provinsi Aceh menyebut Kristen dan Katolik di Singkil berjumlah 14,065 dan 1,164 jiwa, sementara jumlah penduduk muslim sebanyak 111.878 jiwa.

Sayangnya, jumlah gereja tidak berjalan lurus dengan pemahaman masyarakat nonkristen bahwa jemaat di Singkil terdiri dari lima denominasi atau persekutuan yang berbeda prinsip satu sama lain.

Tidak seperti umat Islam yang bisa saja berada dalam satu masjid kendati berasal dari golongan yang berbeda, umat Kristen beribadah di gereja sesuai denominasi karena adanya perbedaan yang mendasar antara mereka.

Denominasi yang tersebar di Singkil yakni, Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD), Huria Kristen Indonesia (HKI), Jemaat Kristen Indonesia (JKI), Gereja Majelis Injil Indonesia (GMII), dan Katolik.

Ketidaktahuan tentang adanya diversitas di tubuh umat Kristen memperkuat gagasan bahwa di Singkil sedang terjadi kristenisasi yang diartikan dengan ekspansi atau bertambahnya jumlah gereja.

Sebelum 2015, kelompok penentang keberadaan gereja kukuh bahwa umat Kristen hanya boleh punya satu gereja dan empat undung-undung sesuai kesepakatan 1979 dan 2001.

Sebagai catatan, kata undung-undung sendiri menurut seorang jemaat HKI yang penulis temui dinilai mendiskreditkan.

Undung-undung dimaknai sebagai rumah ibadat yang bentuknya jauh lebih kecil dari gereja.

Namun, bagi umat Kristen tidak dikenal undung-undung. Setiap rumah ibadat yang di dalamnya berlangsung peribadahan layak disebut gereja.

Dalam catatan Veryanto Sitohang berjudul Kronologi Rencana Pemkab Aceh Singkil Pembongkaran Gereja dan Rumah Minoritas (2012), tertulis bahwa pada 2012 Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil menyegel 15 gereja dan 1 rumah ibadah aliran kepercayaan.

Gereja HKI yang dibakar pada 2015 juga masuk dalam daftar penyegelan.

Rencana pemerintah untuk membongkar rumah-rumah ibadat di Singkil diawali dengan penyegelan akibat adanya tekanan dari sekelompok ormas, demikian tulis Veryanto.

Adapun gereja yang diakui oleh pemerintah berdasarkan perjanjian 1979 serta surat kesepakatan bersama tahun 2001 semuanya milik denominasi GKPPD.

Pada 2015, sepuluh gereja tanpa IMB dirubuhkan, sementara sebelas lagi diberi kesempatan untuk mengurus izin.

Marga: Melampaui Sekat Agama

Dinding gereja Huria Kristen Indonesia (HKI) di Gunung Meriah yang dibakar oleh massa pada Oktober 2015 (Liputan6.com/Rino Abonita)
Dinding gereja Huria Kristen Indonesia (HKI) di Gunung Meriah yang dibakar oleh massa pada Oktober 2015 (Liputan6.com/Rino Abonita)

Masalah belum selesai. Untuk mendirikan gereja harus mengikuti syarat sesuai Qanun No. 4 Tahun 2016.

Antara lain, mampu mengajukan paling sedikit 140 nama pengguna asal penduduk setempat dan paling sedikit 110 nama penduduk di luar pengguna yang ikut mendukung pendiriannya.

Selain itu, harus dapat rekomendasi secara tertulis dari pihak pemerintahan mulai tingkat desa hingga kecamatan.

Lorong-lorong yang harus dilewati ini bisa jadi sangat politis, mudah diintervensi oleh pihak-pihak yang tidak setuju.

Pada 2020 lalu, perwakilan umat Kristen menemui Komnas HAM di Jakarta untuk melaporkan keberatan mereka karena regulasi pendirian rumah ibadat dinilai mempersulit.

November di tahun yang sama, Pemerintah Aceh membentuk tim khusus bernama Tim Terpadu Penyelasaian Masalah Tempat Ibadah di Aceh Singkil. Entah apa hasilnya.

Dalam masalah Singkil, pemerintah juga terkesan mengambil jarak jika tidak disebut mendiamkan.

Ini bukan tindakan bijak tetapi membuatnya jadi konflik laten bisa saja meledos sewaktu-waktu.

Pendekatan birokratis yang selama ini diambil pun terkesan tidak menghasilkan apa-apa.

Egosentrisitas yang bersemayam pada elite kedua belah pihak banyak berperan.

Harus ada format baru dalam upaya penyelesaian masalah Singkil karena templat yang ada terkesan stagnan.

Seperti yang diketahui, entitas penduduk di Singkil berbeda dari daerah lainnya di Aceh.

Menurut Haidlor (2016), karena mayoritas berasal dari etnis Batak, maka penduduk di Singkil, baik muslim maupun Kristen, banyak yang memiliki fam atau bermarga.

Tidak sedikit penduduk yang datang dari latar agama berbeda namun ternyata dipersatukan oleh ikatan marga.

Seorang bermarga tertentu bisa ditemukan dalam klan Islam atau Kristen pada saat bersamaan.

“Adik saya tiga yang masuk Islam, kami lima yang Kristen,” sebut Rasmen Manik, yang saya temui bersama beberapa teman jurnalis beberapa waktu lalu.

Di Singkil, keluarga yang di dalamnya terdapat dua penganut agama berbeda tidak lagi dipandang baru.

Saya ingat betul kata-kata pak tua Rasmen bahwa, “agama tidak bisa dipaksakan. Itu tumbuh dari hatinya.”

Rasmen sendiri merupakan penganut Kristen Protestan yang tercatat sebagai jemaat Huria Kristen Indonesia (HKI).

Kami bertemu dengan Rasmen di dekat bekas bangunan gereja HKI yang dibakar massa pada 2015 silam.

Bekas rumah ibadat tersebut dibiarkan dengan kondisi lantai terbuka seperti reruntuhan tua yang telah ditinggalkan dengan dinding bata telanjang setinggi pinggang yang telah memudar.

Di depan tersisa dinding limasan tipis dengan salib besar dari pipa besi yang telah berkarat.

Di sebelah kanan tergantung lonceng besi karatan yang dulu sering dibunyikan untuk memberi tanda kepada jemaat bahwa waktu beribadah telah dimulai.

Kini, jemaat HKI beribadah di bawah teratak dari besi yang mereka dirikan tidak jauh dari bekas gereja yang dibakar.

Ikatan marga menurut Rasmen melampaui sekat-sekat keagamaan di antara penduduk.

Intervensi ikatan marga jauh lebih kuat sebab dipersatukan oleh darah.

Menguji Dialog Berbasis Marga

Tenda yang dulunya digunakan umat Kristen GKPPD di Desa Sanggaberu sebagai pengganti gereja sejak rumah ibadat mereka dirobohkan padaa 2015 (Liputan6.com/Rino Abonita)
Tenda yang dulunya digunakan umat Kristen GKPPD di Desa Sanggaberu sebagai pengganti gereja sejak rumah ibadat mereka dirobohkan padaa 2015 (Liputan6.com/Rino Abonita)

Dialog berbasis marga layak dicoba menurut tokoh agama yang berkiprah di Dayah Muta’alimin Tanah Merah Singkil, Ustaz Umma Abidin.

”Tetapi (dengan catatan) kedua belah pihak mau menuju ke satu titik, yaitu pencerahan ke depan Aceh Singkil ini jangan terus seperti ini, tertinggal segala macam akibat dianggap intoleran dengan pembangunan payah,” kata Umma, dalam sesi wawancara di sebuah kafe di Singkil, yang difasilitasi oleh KontraS Aceh beberapa waktu lalu.

Perwakilan yang diajukan tiap-tiap marga harus dijamin egaliter dan berorientasi pada penyelesaian masalah.

Umma Abidin juga berharap umat muslim di Singkil legawa dengan kemajemukan yang ada di daerah itu.

Seirama dengan Umma, Wakil Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Singkil, Mustafa, mengatakan potensi keberhasilan jika mendudukan sentimen keagamaan di Singkil melalui dialog antarmarga cukup besar.

“Mereka memegang kuat marga, mereka tidak membedakan mana agama, yang penting suku ini satu. Kalau melalui jalur ini, mungkin potensi untuk mereka sepakat mungkin besar,” kata Mustafa, ditemui di tempat terpisah.

Sementara itu, Divisi Riset dan Pengembangan KontraS Aceh, Fuadi Mardhatillah, berharap ikatan marga bisa mendorong dialog yang dapat menghadirkan satu cara pandang yang lebih arif.

Bahwa pembangunan rumah ibadat bagi umat Kristiani merupakan sebuah kebutuhan, bukan keinginan semata.

Pernyataan Fuadi sepenarian dengan pendapat antropolog Muhajir Al-Fairusy bahwa rumah ibadat menjadi kebutuhan rohani yang niscaya, sulit dielak, dan dibendung.

Karena itu, upaya umat Kristiani di Singkil untuk mendapatkan hak beribadah di bawah rumah ibadat yang layak yogianya dilihat sebagai ejawantah perabdian sebagai mahkluk beragama.

Selain satu di bawah marga, nilai-nilai keberagaman di Singkil sebenarnya dapat dilihat melalui kearifan lokal bagahan yang bisa ditemukan dalam acara seperti pesta pernikahan.

Haidlor (2016) mengatakan bagahan mirip parsubang dalam masyarakat Batak.

Bagahan atau parsubang merupakan budaya memberlakukan dua prasmanan dengan menu berbeda untuk tamu dari kalangan Kristen maupun Islam.

Dari adat ini dapat dilihat adanya pengakuan terhadap perbedaan yang disertai dengan penghormatan terhadapnya.

“Kami sebenarnya di sini rukun dan beragama itu nampak dari adat itu memang (bagahan). Enggak ada nampak perselihan antara Islam dan Kristen,” kata Rasmen Manik.

Saya dan beberapa teman jurnalis berkesempatan menyaksikan pesta pernikahan milik keluarga Manik beragama Kristen yang digelar di Desa Keras, Kecamatan Suro Makmur, Singkil.

Hari itu adalah kesempatan bagus untuk menangkap momen kemajemukan di Singkil yang adiwarna.

Kerumunan yang terdiri dari tetamu beragama Kristen dan Islam seolah lebur tanpa had.

Suasana hiruk pikuk pesta begitu kental. Orang-orang manortor dengan ceria, diiringi organ serta pukulan gendang yang membahana.

Di tengah-tengah pesta, kami disambut oleh seorang lelaki tambun mengenakan setelan hitam perlente serta ulos. Namanya Boas Tumangger.

“Kalau mau makan, di sana ada meja khusus buat orang kita muslim,” ujar Boas. Tempat yang dimaksud hanya beberapa meter. Inilah rupa bagahan.

Sedari tadi Boas tampak sibuk menggenggam mikrofon, berbicara dalam bahasa Pakpak di tengah-tengah para tetamu.

Ia mirip wasit lomba lari yang memegang peluit. Tarian dimulai setelah aba-aba darinya.

Divisi Riset dan Pengembangan KontraS Aceh, Fuadi Mardhatillah, mengatakan kepada saya bahwa Singkil mesti dilihat secara holistis.

Generasi Damai: Memutus Warisan Konflik

Dua tetamu undangan sebuah pesta pernikahan di Singkil menunjukkan keberagaman yang ada di sana (Liputan6.com/Rino Abonita)
Dua tetamu undangan sebuah pesta pernikahan di Singkil menunjukkan keberagaman yang ada di sana (Liputan6.com/Rino Abonita)

Selang sehari setelah kunjungan kami ke Desa Keras, kami membuat janji bertemu dengan dua kelompok pemuda Singkil di sebuah kafe di Rimo, Kecamatan Gunung Meriah, usai magrib.

Kami membagi pertemuan dalam dua sesi. Abdul Berutu dan Abdul Dawi datang lebih dulu sebelum meja tempat mereka duduk gantian diisi oleh Robi Tumangger cum suiz.

Saya tidak menangkap adanya roman permusuhan di antara anak-anak muda ini.

Ketika duo Abdul beranjak, mereka saling bertegur sapa dengan Robi dan teman-temannya dengan wajah semringah.

Abdul Dawi bahkan menepuk bahu seorang anak laki-laki yang datang bersama Robi.

Itu bukan tepukan biasa, tetapi tepukan yang lazim dilakukan kepada orang dekat.

Namanya adalah Debora Manik, beragama Kristen dan berteman baik dengan Abdul Dawi. Keduanya tinggal di Desa Siompin.

Debora berkarakter lebih pendiam. Cerita tentang kemajemukan di Desa Siompin lebih banyak saya dapat dari Abdul Dawi.

Dawi bercerita sempat bahwa pasca kerusuhan 2015 anak-anak Desa Siompin yang muslim pernah terlibat bentrok antarkampung demi membela teman satu desa mereka yang nonmuslim dirisak di sekolahnya.

Desa Siompin juga menjadi tuan rumah perlombaan balap sepeda yang diiniasi oleh pemuda pada 2018-2019.

Perlombaan ini sengaja digelar terbuka untuk menunjukkan bahwa di desa itu, pemuda muslim dan Kristen bersatu sekalipun lomba tersebut diadakan dalam rangka memeriahkan Idulfitri.

“Artinya kita tampakkan kepada seluruh kalangan yang mau ikut berkonstestan di sini, ini lho keberagaman kami sebenarnya,” ujarnya.

“Satu semua, pemuda orang tua, mendukung semua. Lebaran kemarin itu,” Debora membenarkan cerita temannya secara terpisah.

Namun, perlombaan tersebut tidak lagi digelar karena pandemi.

Malam itu, Robi Tumangger mengungkapkan keinginannya yang berencana membentuk sebuah perkumpulan yang diisi oleh pemuda lintas agama.

“Dengan syarat, perkumpulan itu tidak membahas tentang agama,” kata Robi.

Ia ingin melalui perkumpulan itu, pemuda dari latar agama yang berbeda bisa melakukan kegiatan yang menembus batas-batas perbedaan itu.

Sementara itu, nama Abdul Berutu mengingatkan saya pada Masariani Berutu, seorang ibu yang mengabdikan dirinya sebagai sintua di Gereja HKI Gunung Meriah,

Saya penasaran, kalau mereka bertemu, Abdul Berutu yang jauh lebih muda akan menyapa Masariani Berutu dengan sebutan apa.

Pertemuan dengan para pemuda tersebut membenarkan kata-kata Fuadi Mardhatillah soal melihat Singkil secara menyeluruh.

Orang-orang ini berharap konflik rumah ibadat di Singkil tidak direplikasi sehingga menjadi warisan yang terus hidup. Mata rantainya harus segera diputuskan.

“Paling tidak, kearifan lokal ini hendaknya bisa jadi kekuatan penyeru bagi segenap masyarakat Singkil untuk terus jaga kondusifitas, terutama sepakat untuk tidak ada politisasi agama di tahun-tahun politik mendatang. Ini yang mendesak harus dilakukan,” demikian Fuadi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya