Liputan6.com, Manado - Tarian tradisional menjadi salah satu budaya yang dimiliki oleh setiap daerah di Indonesia, tak terkecuali Kabupaten Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara. Salah satu tarian tradisional yang dimiliki Kabupaten Minahasa Utara adalah tari kite murik.
Mengutip dari direktoripariwisata.id, tarian ini melambangkan semangat para leluhur dalam kegiatan mapalus atau gotong royong. Kegiatan mapalus yang dimaksud adalah kegiatan yang bertujuan untuk membuka hutan yang akan dijadikan lahan untuk menanam padi.
Tari kite murik umumnya diperagakan oleh empat pasangan muda-mudi. Setiap gerakannya melambangkan cara nenek moyang saat melakukan pekerjaan menanam.
Advertisement
Baca Juga
Menurut Tua Kampung Liwutung Meng Kuhu, dahulu, para leluhur bersama masyarakat membuat kesepakatan, yakni hutan yang telah dibuka akan dijadikan kebun adat. Alhasil, semakin banyak masyarakat di Liwutung yang berkumpul dan setiap sukunya sepakat untuk membuka lahan baru atau yang disebut barintis.
Saat para leluhur sepakat dan melakukan barintis, mereka pun melaksanakan berbagai upacara adat, mulai dari pembukaan kebun, menanam, hingga memanen. Tak lupa, mereka melakukan semua kegiatan tersebut dengan budaya mapalus yang masih ada hingga sekarang.
Adapun upacara yang dilakukan sebelum menanam adalah upacara ima tuntun kite makinawi. Upacara tersebut merupakan bentuk meminta restu melalui doa kepada Tuhan agar dapat memberkati benih-benih yang ditanam, sehingga dapat memberikan hasil terbaik.
Saat itu, mereka banyak menanam padi, cengkeh, kelapa, dan jagung. Para leluhur pun bersama-sama mengurus kebun hingga masa panen tiba.
Saat masa panen tiba, mereka akan menyiapkan tempat berupa lumbung, gubuk, atau sabuah untuk menampung hasil panen. Tak lupa, mereka juga mengucap syukur kepada Tuhan untuk hasil panen yang telah diperoleh.
Hingga saat ini, tari kite murik masih dipentaskan oleh para pemuda-pemudi di desa setempat. Umumnya, tarian ini dipentaskan dalam upacara-upacara besar sebagai bentuk hiburan sekaligus edukasi sejarah.
Â
Penulis: Resla Aknaita Chak