Perjuangan Guru Honorer di Magelang, Nyambi Jadi Kuli Angkut Batu Saat Libur Mengajar

Ali mengawali kariernya sebagai operator di SDN Kejabang, Serang, Banten.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 02 Jun 2023, 13:00 WIB
Diterbitkan 02 Jun 2023, 13:00 WIB
Muhammad Ali Imron
Muhammad Ali Imron, yang kini sudah menjadi P3K, di SMPN 1 Borobudur. (Foto, Hermanto Asrori)

Liputan6.com, Magelang - Muhammad Ali Imron bisa tersenyum lega. Penantiannya selama 10 tahun honorer tidak sia-sia.

Ia resmi dilantik menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) Kabupaten Magelang, Rabu (31/5/2023).

“Alhamdulillah akhirnya saya bisa diangkat menjadi P3K, sekarang saya ingin segera pulang ke Serang untuk bertemu ibu saya,” ujar Ali yang ternyata sudah empat tahun tidak pulang ke rumahnya karena belum memiliki uang.

Ali mengawali kariernya sebagai operator di SDN Kejabang, Serang, Banten. Pada 2018, ia sempat mengadu nasib ke Kabupaten Magelang.

Di sini, ia memperoleh kesempatan menjadi operator di SMP Muhammadiyah Tempuran. Ia rajin mengukuti ujian atau seleksi CPNS kala itu. Sayangnya, belum beruntung.

Ali tidak patah arang. Ia tetap gigih mewujudkan impiannya dan melamar menjadi guru tidak tetap (GTT) di SMP Negeri 1 Borobudur.

Ia pun diterima dan bekerja sebagai guru agama sekaligus petugas nonteknis. Di sinilah perjuangan Ali kian terlihat.

“Honor tidak cukup untuk biaya hidup,” ucap Ali.

Ia pun mencari cara untuk membuat dapur rumahnya tetap mengebul. Buah hatinya yang mengidap down syndrome pun menjadi penyemangat hidup.

Untuk biaya terapi anaknya saja, ia harus membayar Rp 500.000. Padahal, honornya ketika itu hanya Rp 550.000.

Jika sedang libur atau tidak ada kegiatan mengajar, bapak dari tiga anak ini mencari tambahan pendapatan engan menjadi kuli angkut batu bata. Sebagai kuli, ia bisa menghasilkan minimal Rp 40.000 sehari.

“Tergantung dari fisik kita aja, karena upah itu untuk setiap angkutan per mobil colt. Menaikkan dan menurunkan batu bata itu,” kata Ali.

Saat ia merasa terhimpit kebutuhan, tebersit keinginan keluar dari pekerjaannya sebagai GTT. Namun ia sadar hidup tidak selalu soal uang.

Ali tidak memungkiri ada rasa kasihan terhadap murid-muridnya jika ia memilih keluar dari pekerjaannya dan beralih ke pekerjaan lain.

“Wajah murid-murid yang selalu ada di pikiran saya, dari situ saya berpikir kalau guru itu harus kuat dan harus bisa mengatasi situasi yang sulit, karena guru itu panutan. Saya juga yakin kalau semua pasti ada jalannya,” tutur Ali.

(Hermanto Asrori)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya