Liputan6.com, Magelang - Para biksu yang menjalani ritual jalan thudong atau jalan kaki rencananya tiba di Magelang pada 30 Mei 2023. Mereka akan mengikuti perayaan Hari Tri Suci Waisak di Candi Borobudur.
Sebanyak 32 biksu yang berasal dari berbagai negara ini juga akan singgah di TITD (Tempat Ibadat Tri Dharma) atau Kelenteng Liong Hok Bio Magelang.
Mereka bakal disambut dengan prosesi pembasuhan kaki oleh perwakilan umat Buddha. Setelah itu, mereka kembali melanjutkan peribadatannya yaitu, pembacaan parita atau mantra-mantra suci dari kitab suci agama Buddha secara singkat.
Advertisement
Baca Juga
Lantas seperti apa sejarah keberadaan kelenteng di Magelang itu? Menurut Wakil Ketua Pengurus Harian TTID Liong Hok Bio Gunawan, kelenteng tersebut didirikan pada 1864 oleh Kapiten Be Koen Wie atau Be Tjok Lok.
Pada 1740, pemerintah Belanda melarang kedatangan imigran dari Tiongkok, tentunya larangan ini menimbulkan keresahan bagi orang-orang Tionghoa.
"Sebagai akibatnya, sekitar 10.000 orang Tionghoa di Batavia dibunuh dan dianiaya,” ujar Gunawan, Minggu (28/5/2023).
Untuk menyelamatkan diri, banyak orang Tionghoa lari dari Batavia ke berbagai kota di pesisir timur laut Jawa Tengah, seperti ke Semarang, Jepara dan Lasem dan Rembang.
Situasi dan kondisi yang tidak berpihak pada warga Tionghoa ini memaksa sekolompok kecil di antara mereka untuk menerobos pegunungan Menoreh, Salaman, Magelang yang saat itu masih berupa hutan. Setelah berhasil melewati perbukitan terjal, mereka akhirnya sampai di Magelang.
Sebagian rombongan tinggal dan menetap di Magelang. Sisanya, memilih melanjutkan perjalanan menuju Parakan dan Temanggung.
Kemudian, rombongan yang menetap di Magelang memilih tinggal di Ngarakan, yang berada di sebelah barat Pecinan, yang sekarang menjadi Jalan Daha.
Diberi Tanah
Pada 1930 atau setelah perang Diponegoro, seorang Tionghoa dari Solo, bernama Be Koen Wie atau Be Tjok Lok yang juga seorang hartawan memberikan tanah yang dimilikinya untuk dibangun sebuah tempat ibadah bagi masyarakat Tionghoa di Magelang.
Oleh karena itu, setelah kelenteng berdiri, sebagai bentuk penghormatan diberi nama, Liong Hok Bio.
Seiring kemajuan zaaman, jumlah masyarakat Tionghoa yang beribadah di kelenteng semakin bertambah. Mereka menghimpun dana untuk membeli sebidang tanah supaya bisa memperluas kelenteng.
Semula kelenteng dikelola yayasan Kong Kwan sampai 1906, lalu didirikan Yayasan Tiong Hwa Hwee Kwan atau THHK sebagai pengelola selanjutnya. Kelenteng Liong Hok Bio kembali dibangun dengan megah seperti sekarang ini, setelah sempat mengalami kebakaran pada 2014.
(Hermanto Asrori)
Advertisement