Liputan6.com, Magelang - Sungai Progo yang membentang, menjadi batas dua wilayah Kecamatan Windusari dan Secang, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, merupakan tempat atau lahan mata pencaharian bagi warga desa sekitar. Tak sedikit warga sekitar sungai Progo yang mengandalkan mata pecahariannya sebagai penambang manual batu dari sungai itu.
Mereka membuat gubuk-gubuk kecil untuk berteduh, mengumpulkan dan memecahkan batu yang telah mereka ambil sebelumnya dari sungai Progo. Para pencari batu ini biasanya mencari batu yang dapat dimanfaatkan sebagai hiasan atau dekorasi taman.
Namun, sebagian batu mereka hancurkan menjadi ukuran yang lebih kecil yang bisa digunakan sebagi bahan bangunan. Bahkan, ada yang hanya mencari batu lalu dikumpulkan. Biasanya pencari batu kali ini, mencari batu yang ukurannya jauh lebih besar karena peruntukannya sebagai bahan pondasi bangunan.
Advertisement
Baca Juga
Tak jarang, mereka harus mengangkatnya dari dasar sungai dan menerjang derasnya arus sungai Progo. Para pencari batu ini harus bisa membedakan jenis batu yang cocok untuk dijadikan bahan bangunan atau hiasan rumah. Mereka juga harus memperhitungkan ukuran, bentuk, dan warna batu agar sesuai dengan kebutuhan pasar.
Bu Aliyem, ibu 3 anak ini sudah 17 tahun mencari nafkah dengan mengakais batu yang ada di sungai Progo.
Pukul 6 pagi ia mulai berangkat dari rumahnya di Mlahar, Banjarsari, Kecamatan Windusari. Dengan peralatan sederhana, sebuah ban dalam bekas truk, yang diikat di bawah bambu-bambu, hingga menyerupai perahu, Bu Aliyem mulai mengambil batu yang mampu diangkatnya.
"Batu-batu ini nanti saya pecah kecil-kecil. Kemudian saya kumpulkan di gubuk, sambil menunggu kalau ada yang beli. Tapi untuk batu yang bentuknya bagus, saya kumpulkan sendiri, saya masukkan ke dalam karung-karung kecil," urjarnya dalam bahasa Jawa.
Sepanjang 400 meter, sebelum jembatan sungai Progo, yang masih merupakan wilayah Kecamatan Secang, terlihat gubuk-gubuk kecil yang digunakan sebagai tempat berteduh, mengumpulkan, sekaligus tempat untuk memecahi batu. Mereka membayar Rp 100 per ember kecil setara ukuran 5 kilogram atau satu tenggok (keranjang kecil yang terbuat dari bambu) untuk setiap batu yang laku, kepada pemilik tanah yang tempatnya mereka gunakan untuk mendirikan gubuk tersebut.
"Kalau batu yang sudah dipilihi, dimasukkan ke dalam karung kecil. Dijual harganya Rp15.000 biasanya untuk taman," kata Aliyem.
Ada sekitar 50 orang pencari batu di sungai Progo ini. Mereka rerata berasal dari Mlahar, Windusari meski ada beberapa orang yang berasal dari luar Mlahar, tetapi mereka hanya mencari batu dan mengumpulkannya untuk dijual.
Sementara itu, Slamet dalam sehari rata-rata mampu mengumpulkan batu yang ia ambil dari Progo, sebanyak 10 tenggok atau bakul kecil. Para pencari batu ini terpaksa libur, tidak bisa mengambil batu saat sungai Progo banjir atau hujan.
"Ya kalau pas banjir kita gak berani turun ke Progo, paling mecahin batu yang sudah kita kumpulkan sebelumnya. Tapi kalau pas hujan gede, kita malah biasanya libur karena gubuknya juga biasanya bocor," kata Slamet yang sudah lebih dari 20 tahun menjalani pekerjaan tersebut.
Â
Â
Penulis: Hermanto Asrori